Intelektual Tukang

Moch Eksan. Foto: Ist.
Moch Eksan. Foto: Ist.

PROF Dr Jimly Ashiddiqie, SH, MH menyebut para ahli di sekitar Presiden Joko Widodo adalah intelektual tukang stempel. Mereka yang membenarkan presiden mengeluarkan Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Padahal, apa yang dilakukan presiden melanggar konstitusi, yang berpotensi dimakzulkan di tengah jalan. Sebuah pelanggaran yang sangat serius yang bisa dijadikan alasan hukum untuk meng-game over Presiden Jokowi.

Lepas dari perdebatan Perppu Cipataker melanggar hukum atau tidak, yang menarik dari lontaran Prof Jimly adalah tentang Intelektual Tukang. Istilah ini bukan istilah baru. Istilah yang pertama kali digulirkan oleh KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Diskursus tersebut muncul bersamaan dengan berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 7 Desember 1990. Di mana, para intelektual kampus berbondong-bondong masuk ke organisasi yang dibidani oleh Prof Dr Ing BJ Habibie, Presiden ke-3 Republik Indonesia.

Gus Dur adalah tokoh yang menentang berdirinya ICMI dan mendirikan Forum Demokrasi bersama dengan para tokoh intelektual oposan Orde Baru lainnya.

Mereka adalah Gus Dur, Bondan Gunawan, Rahman Tolleng, Todung Mulya Lubis, Daniel Dhakidae, Marsillam Simanjuntak, Tri Agus Susanto, Khatibul Umam Wiranu, Rocky Gerung, Benny Tidayoh, Kemala Atmojo, dan lain sebagainya.

Sesungguhnya, istilah intelektual tukang merupakan kritik terhadap para ilmuwan kampus yang berperan sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah. Meskipun, kebijakan itu merugikan rakyat banyak. Mereka lebih berpihak pada kepentingan penguasa daripada rakyat.

Peter Drucker, penulis dan bapak manajemen modern asli Wina, Austria, menyebut intelektual tukang dengan knowledge worker (pekerja pikiran). Mereka para ilmuwan kampus yang sibuk mengajar di kelas, jadwal padat dengan proyek penelitian, nyambi sebagai staf ahli dari penguasa atau pengusaha, dan berorientasi memperoleh cuan sebanyak-banyaknya.

Para cerdik pandai semenjak zaman Yunani sampai sekarang, merupakan sumber kepemimpinan daerah dan nasional. Banyak di antara mereka yang menjadi pejabat publik. Sebab, keberpihakannya pada rakyat dalam vis a vis dengan rezim penguasa yang lalim.

Independensi intelektual adalah sifat utama dalam menjalankan Tridarma perguruan tinggi, baik dalam pengajaran, penelitian maupun pengabdian masyarakat. Siapapun tak boleh mencaplok kemerdekaan mimbar kampus dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sayangnya, tak banyak intelektual kampus yang merdeka dalam mengembangkan gagasan. Terutama yang berkaitan dengan public policy dan public budgeting. Sebab, ini langsung menohok jantung rezim penguasa.

Sebagai sang pencerah, para intelektual kampus sangat paham terhadap peta jalan penyelesaian masalah publik. Berbagai inovasi kebijakan dan anggaran publik dikantonginya. Tinggal, mau atau tidak, rezim penguasa mengambil hasil penemuan perguruan tinggi yang disumbangnya.

Pengarusutamaan hasil penelitian perguruan tinggi, nyaris banyak yang belum ditindaklanjuti dalam pengambilan kebijakan dan penggunaan anggaran. Terlebih, peran dan fungsi perguruan tinggi seperti menara gading tak bersentuhan dengan dinamika problematika bangsa dan rakyat.

Ditambah, setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2007 tentang Guru dan Dosen, terjadi peningkatan kesejahteraan sekaligus orientasi intelektual. Kompetisi material dalam koleksi mobil dan kepemilikan rumah mewah, merupakan efek samping tak terelekkan di kalangan mereka.

Kampus seperti showroom mobil dengan merk terbaru. Sementara, tugas pokok dalam pengembangan intelektualisme sangat melemah. Ini dibuktikan dengan hasil karya intelektual tak berbanding dengan jumlah intelektual kampus yang ada.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah dosen di Indonesia pada 2022 sebanyak 265,5 ribu orang. Jumlah tersebut berada di kampus negeri sebanyak 82,6 ribu dan kampus swasta sebanyak 182,8 ribu.

Perpustakaan Nasional pada 2021 mengeluarkan permintaan pelayanan ISBN sebanyak 147,4 ribu judul. Ini berarti dosen yang produktif hanya 55,5 persen. Selebihnya, 44,5 persen dosen justru tak mengeluarkan karya apapun.

Padahal, beberapa perguruan tinggi memberikan insentif penerbitan buku bagi dosen yang produktif berkarya.

Semisal UII, bagi buku utuh yang diterbitkan oleh penerbit internasional, insentifnya sebesar Rp 15 juta. Bagi yang sebagian bab dalam buku yang diterbitkan penerbitan kelas dunia, diberi insentif sebesar Rp 4 juta.

Sedangkan, dosen menerbitkan buku ajar yang diterbitkan oleh penerbit nasional, diberikan insentif sebesar Rp 5 juta.

Berbagai data di atas masih kuantitatif, belum bicara kualitatif. Apalagi memperbincangkan pengaruh efektifnya terhadap dunia di luar kampus. Sama sekali belum menyentuh hal itu.

Dari segi jumlah saja sudah cukup bukti untuk menguak lemahnya produktivitas para dosen, apalagi dari segi mutu dan pengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan peradaban dunia.

Jadi, kritik Prof Jimly bisa dipahami, bila para intelektual kampus disebut dengan intelektual tukang. Kondisi intelektualisme di Tanah Air, masih jauh dari kata ideal. Perlu langkah simultan dalam membenahinya.

Sebagai kata akhir, saya kutipkan cuplikan pendapat dari Sayyid Husein Nasr sebagai warning bagi kita semua, sebagai berikut ini: "bahwa tidak sedikit manusia modern – tak terkecuali kalangan intelektualnya – yang rela menjual keabadian demi “menyembah” kemajuan duniawi yang bersifat fana".

|Penulis adalah Pendiri Eksan Institute