Ironi Pohon dan Satu Keserakahan

Ilustrasi: the independent.
Ilustrasi: the independent.

SAAT kita terlahir ke dunia ini, doa yang kerap dimintakan kepada Allah SWT untuk kita hanya, umumnya, menyangkut dua hal. Pertama agar kita selamat di dunia dan akhirat. Kedua agar kita mendapatkan rezeki yang luas. Tak perlu banyak, yang penting cukup: sederhana. Maka kelak, kita menjadi orang-orang yang bahagia.

Kesederhanaan adalah ajaran para nabi. Ini tidak hanya sebagai bentuk syukur. Hal ini juga menjadi modal manusia untuk hidup di dunia. Termasuk dalam mengelola sumber daya alam. Hal ini diwariskan oleh para endatu kita. Jejak-jejak warisan itu masih kita rasakan hingga saat ini.

Saat di daerah ini berdiri Kerajaan Aceh Darussalam, 400 tahun lalu, Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam membuat pondasi kebijakan pada pengelolaan alam secara arif dan bijaksana. Peraturan tersebut dituangkan dalam aturan adat istiadat. Kebijakan ini bertujuan untuk membangun umat dalam menjaga keanekeragaman hayati, baik dalam menjaga hutan, sungai dan laut. 

Aturan-aturan ini dibuat berlandaskan sebuah pemikiran sederhana pula: bahwa apa yang kita lihat di sekeliling saat ini merupakan titipan dari Allah SWT untuk dipergunakan dengan bijaksana. Semua yang diciptakan Allah adalah sempurna menurut kadarnya. Manusia sebagai kalifah di dunia diminta untuk menjaga alam dan isinya dan sumber daya alam dapat dimanfatkan dengan baik untuk generasi akan datang. 

Menurut Ahli Sejarah Aceh, Tgk A Rachman Kaoy, dalam sebuah seminar pengelolaan daerah aliran sungai di Aceh Jaya, pada 2007, dia menceritakan tentang upaya Kerajaan Aceh mengelola hutan, sungai dan laut secara arif dan bijaksana. 

Kerajaaan Aceh membangun lima zonasi perlindungan pengelolaan sumber daya air. Pertama Zona Perlindungan Mata Ie (sumber mata air). Di wilayah ini, dalam radius 1.200 depa (enam  juta meter keliling) dari sumber mata air, pepohonan dan tumbuhan tidak boleh ditebang. Kerajaan juga melarang aktivitas pemanenan pohon. Sebaliknya, kerajaan menganjurkan penanaman pohon di kawasan hutan. Bahkan penebangan pohon untuk raja atau atas nama raja dilarang. Raja menaati peraturan ini. 

Kedua, Zona Perlindungan Krueng (sungai besar). Pohon di wilayah dalam jarak radius 120 depa, di sisi kiri dan kanan sungai-sungai, tidak boleh ditebangi. Areal ini juga tidak boleh dimiliki oleh individu. Wilayah di sisi sungai hanya boleh dikuasai lewat hukum adat dan dimanfaatkan sebagai kawasan penyangga bencana. Untuk menghindarkan permukiman warga dari banjir dan tanah longsor.

Ketiga, Zona Perlindungan Lueng (sungai kecil dan tali air). Dalam jarak radius 60 depa, pepohonan di wilayah kiri-kanan lueng tidak boleh ditebang pohon. Bahkan warga saat itu disarankan untuk menanami pohon dan menjaga kelestarian kawasan itu bersama-sama. 

Pohon adalah elemen penting dalam seluruh sistem kehidupan kita. Pohon menyerap air hujan. Sedangkan dedaunan yang gugur menahan agar tanah yang ada tak tergerus air yang mengalir deras ke sungai yang lebih rendah. 

Keempat, Zona Perlindungan Pantee (pesisir pantai). pada kawasan ini, dalam jarak radius 1.000 depa dari pinggir laut laut (satu setengah kilometer), pepohonan tidak boleh ditebang. Pihak kerajaan menyarankan untuk menanam pohon. Pepohonan di pinggir laut adalah benteng alami yang menahan laju angin dan gelombang pasang laut. 

Kerajaan menanami garis pantai dengan pohon aron (cemara laut), pohon bangka dan pohon kelapa. Bahkan--hal ini masih bisa kita saksikan hingga saat ini--dalam resepsi pernikahan adat istiadat Aceh, seorang linto baro (mempelai laki-laki) diminta membawa 5 batang pohon kelapa saat mendatangi dara baro (pengantin wanita). Pohon kelapa tersebut harus ditanami. Pohon kelapa yang tumbuh di sepanjang pesisir Aceh merupakan warisan dari para nenek moyang Aceh (endatu geutanyo). Pohon kelapa tersebut setidaknya menahan kita dari gelombang tsunami 2004.

Kelima, Zona Gunong (pegunungan). Di kawasan ini, kerajaan melarang penebangan pohon di puncak gunung dan daerah lereng serta deerah terjal. Hal ini untuk mencegah tanah longsor dan banjir bandang. Sangat sederhana, namun efektif. 

Lantas, “ayat-ayat mana lagi yang kita dustakan”. Semua hal dalam pengelolaan sumber daya alam ini telah diatur dengan cara sederhana, yang tak membutuhkan pemikiran ruwet atau simposium kebencanaan yang menghabiskan anggaran, oleh adat istiadat Aceh yang islami. 

Bencana yang terus menerus terjadi di Aceh adalah buah dari kepentingan individu atau kelompok yang mengabaikan cara hidup sederhana. Pemerintah Aceh membuka pintu terhadap keserahakan yang menyebabkan jutaan jiwa di Aceh sengsara. Memberikan lampu hijau kepada indovidu-individu untuk hak hidup orang lain lewat kebijakan yang tak berpegang pada pengetahuan tentang alam yang diwariskan oleh para endatu. 

Pohon adalah pelindung manusia dari bencana alam. Fitrah sebatang pohon adalah melindungi manusia. Sebaliknya, manusia juga wajib melindungi pohon. Mahatma Gandhi berkata, “dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi tidak akan cukup untuk keserakahan manusia.” 

| Penulis adalah pemerhati satwa liar.