Jenderal Dagang Narkoba dan Catatan Delapan Tahun Revolusi Mental Jokowi

Ilustrasi. Foto : net.
Ilustrasi. Foto : net.

JENDERAL polisi dengan bintang dua dan baru saja ditunjuk menjabat Kapolda Jawa Timur, jabatan prestisius, Teddy Minahasa, menjadi pedagang narkoba, yang berhasil dibongkar pihak kepolisian Jakarta.

Ini berita terheboh sepanjang sepekan ini, disamping soal isu ijazah palsu Jokowi, yang menjadi perbincangan publik.

Bersamaan dengan munculnya berita Teddy Minahasa, beberapa perwira polisi yang diundang Jokowi ke istana, ditemukan sedang positif mengkonsumsi narkoba. Situasi ini berbarengan dengan laporan media, terjadinya peningkatan peredaran narkoba saat ini.

Bahkan, setelah rezim Jokowi mengumandangkan "War on Drugs". Luar biasa hancurnya moral polisi kita.

Harapan atas keberadaan polisi semakin mengecil. Presiden, anggota DPR, dan masyarakat ramai-ramai mengecam polisi selama beberapa bulan belakang ini.

Setidaknya sejak kasus Sambo, sebagaimana merujuk CNN Indonesia dalam berita "Ramai Kritik Kasus Polri: Sambo, Kanjuruhan Hingga Teddy Terseret Sabu", 15/10, baik anggota DPR oposisi (Demokrat) maupun pendukung pemerintah (PDIP) melihat polisi seperti tiada harapan lagi bagi perbaikan bangsa. Dalam berita ini bahkan presidenpun sepertinya sudah putus harapan.

Bagi Jokowi tentu saja lebih mengerikan. Sebab, reputasi Jokowi sebagai pemimpin sebuah negara yang akan menggelar perhelatan G20, yang bulan depan akan dilangsungkan di Indonesia, dapat dipertanyakan dunia.

Bagaimana mungkin mengamankan sebuah event raksasa jika pengamanan dilakukan oleh polisi yang kini justru perlu diamankan?

Revolusi Mental Yang Gagal

Dalam tulisan saya dua bulan lalu berjudul "Rektor Koruptor dan Gagalnya Revolusi Mental", saya telah membahas kegagalan revolusi mental ini. Kembali pada kesempatan ini saya mengutip makna revolusi mental yang dimaksud Jokowi, yakni "suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala" (sumber situs Keminfo) dan "Revolusi mental Jokowi ditandai dengan prinsip integritas, etos kerja dan gotong royong" (situs Kemendikbud).

Melihat pengertian di atas sudah sepantasnya Jokowi bercermin bahwa revolusi mental itu sudah jauh dari harapan. Keinginan Jokowi yang disampaikan pada polisi di istana kemarin, yakni jangan bermewah-mewah di antara penderitaan rakyat saat ini, seperti pepatah mendulang air ke muka sendiri.

Sebab, dengan besarnya kekuasaan polisi dalam naungan Jokowi, tentu artinya itu cermin diri Jokowi sendiri, sebagai sebuah kesatuan.

Persoalan Sambo, pembantaian tragedi Kanjuruhan, dan terakhir kasus Teddy Minahasa, menunjukkan spektrum kerusakan mental yang luas pada kepolisian kita. Sehingga selama 8 tahun pemerintahan Jokowi, baik ketika polisi memakai istilah Promoter, lalu kini Presisi, sebagai acuan (budaya) kerja mental mereka semakin terpuruk.

Tentu saja kita mengapresiasi adanya elit-elit polisi yang masih berani melakukan perbaikan, seperti dalam kasus Sambo, di mana diberitakan ada jenderal berbintang 3 mengancam mundur jika Sambo tidak dipenjara (lihat: "Diminta Buka Sosok Jenderal Bintang 3 yang Ancam Mundur di Kasus Sambo, Mahfud: Saya Tidak Bisa Dipaksa" , Kompas,  22/8).

Atau keberanian Polda Metro membongkar jaringan penjual narkoba yang melibatkan Jenderal Teddy, dan juga tentu Kapolri yang mendukung reformasi kepolisiankepolisian (misalnya juga ketika langkah cepat Kapolri mencopot Kapolda Jatim atas kasus Kanjuruhan).

Namun, segelintir elit polisi yang ingin perubahan ini pastinya menghadapi hambatan yang sangat besar, baik karena kerusakan mental tadi maupun tantangan eksternal dari pihak-pihak yang berhasrat menjadikan kepolisian hanya sebagai alat, baik para bandar, cukong-cukong, dan juga para politisi.

Revolusi Akhlak

Bila Jokowi sudah menyaksikan sendiri kemerosotan mental polisi, khususnya terkait statemen-statemennya pada saat menerima kedatangan seluruh perwira polisi kemarin di istana, maka sesungguhnya perlu dicari jalan keluar yang tepat.

Pembenahan struktur polisi agar berorientasi pada pelayanan masyarakat dapat dilakukan oleh Jokowi dan Kapolri secara sistematis. Namun, itu tidak akan berhasil jika perombakan kultural tidak dilakukan.

Perombakan kultural ini hanya bisa dimulai dengan sebuah tobat besar-besaran dan dilanjutkan dengan memperbaiki moral atau akhlak polisi. Sebagai penegak hukum polisi harus masuk pada pepatah "membersihkan yang kotor tidak mungkin dengan sapu yang kotor".

Polisi harus mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka harus jadi teladan. Mereka harus bersyukur atas apa yang mereka peroleh sebagai rezekinya.

Nasihat Jokowi untuk tidak silau dengan kemewahan, dalam situasi yang serbamemuja benda saat ini, hanya bisa dilakukan dengan mendekatkan diri pada ajaran agama. Polisi harus dekat dengan ulama, kiai, masjid, pendeta, gereja, dan lain-lain sesuai dengan agamanya.

Apabila moralitas polisi sebagai penegak hukum mendapatkan kepercayaan rakyat, melalui perbaikan akhlak, maka cita-cita Jokowi dalam Nawacita, menciptakan Indonesia yang aman dan nyaman tentu dapat terjadi.

Penutup

Kepolisian kita diambang kehancuran moral dan mental. Jokowi telah mengundang seluruh perwira polisi ke istana kemarin lalu dan memberi petuah agar jajaran polisi tidak silau kemewahan, bekerja jangan terlalu menjelimet seperti yang digambarkan Presisi, dan kembali menjadikan polisi untuk kepentingan rakyat.

Semua kejadian terakhir, Sambo, Kanjuruhan, dan kasus Teddy Minahasa, menunjukkan Revolusi Mental Jokowi telah gagal. Jokowi dan Kapolri harus bekerja keras untuk mereformasi kepolisian agar kembali pada fungsinya, mengayomi rakyat.

Namun, Jokowi dan Kapolri hanya bisa menyelesaikan masalah struktur, seperti memperbaiki renumerasi, jenjang karier atau lainnya. Namun tanpa perbaikan kultural, yakni akhlak dan moral, langkah ini tidak akan merubah banyak.

Saatnya Kapolri mendekatkan diri jajarannya pada ulama, pendeta, pusat-pusat ibadah dan lain sebagainya, untuk mengasah akhlak. Mengasah akhlak akan menjauhkan manusia dari serakah maupun kebendaan belaka.

Jajaran elit di sekitar Kapolri maupun para penasihatnya harus juga mengalami perombakan, ke arah perbaikan akhlak tadi. Langkah jajaran Polresta Malang yang melakukan sujud memohon ampun beberapa hari lalu, pasca-Tragedi Kanjuruhan, perlu dijadikan contoh awal yang perlu diapresiasi.

Semoga perbaikan institusi Kepolisian dapat berlangsung sukses.

| Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle (SMC).