Jika Terus Salah Kelola, Utang Pertamina Tak Bakal Lunas dalam 300 Tahun

Salamuddin Daeng. Foto: net.
Salamuddin Daeng. Foto: net.

Peneliti Asosisasi Ekonomi Politik Indonesia, Salamuddin Daeng, mengatakan proyeksi laporan keuangan PT Pertamina tak punya pola. Bahkan dia menilai data yang ada cenderung direkasayasa. 


Salamuddin mengatakan, pada 2012, pendapatan Pertamina bisa mencapai USD 70 miliar. Setelah itu, pendapatan semakin menurun hingga mencapai level paling rendah, yakni USD 42,9 miliar pada 2017 dan USD 41,5 miliar pada 20202. 

“Bagaimana bisa penurunan penjualan atau pendapatan menurun hampir separuh,” kata Salamuddin Daeng, Jumat, 4 Februari 2022.  

Kondisi ini, kata Salamuddin, disebabkan Pertamina tidak konsisten dalam menentukan biaya atau beban usaha. Terkadang, biaya sangat tinggi meski penjualan menurun. Sering pula sebaliknya.  

Laba Pertamina juga tidak ditentukan oleh besarnya penjualan, namun ditentukan oleh biaya. Rumitnya biaya bisa berubah secara independen. Contoh pada 2013, penjualan USD 70,1 miliar dolar dengan laba USD 5,1 miliar dolar. Namun pada 2018, penjualan USD 57 miliar dolar dan lama mencapai USD 5,7 milliar dolar. 

Salamuddin juga mengatakan laporan keuangan Pertamina itu tidak bisa dibangun simulasi ekonometriknya. Dalam statistik, ekonometrik seharusnya berkorelasi antara utang, investasi, revenue, biaya, laba itu kuat dalam jangka panjang. Tapi di Pertamina tidak linier sama sekali. 

Pertamina, kata dia, tidak dapat memproyeksikan penjualan dan tidak dapat mengukur kemungkinan laba. Faktor-faktor yang membangun laporan keuangan semuanya independen. Penjualan berdiri sendiri, biaya berdiri sendiri, laba juga berdiri sendiri. 

Laporan keuangan Pertamina juga sulit dibaca sebagai cerminan sehat atau tidaknya perusahaan. Misalnya, dalam analisis lembaga rating, peringkat Pertamina stabil. Tapi Pertamina juga disebut sangat bergantung pada dukungan pemerintah. 

“Jadi yang sehat dan tidak sehat itu siapa? Pertamina atau pemerintah,” kata Salamuddin. 

Salamuddin juga mengatakan laporan keuangan Pertamina tidak berbasis perencanaan keuangan. Laporan itu tidak dapat menunjukkan utang berkaitan dengan kemampuan ekspansi perusahaan atau utang dapat menciptakan laba. 

Bukan hanya masalah utang, masalah investasi, masalah revenue, masalah laba, sepertinya tidak terjelaskan berbasis perencanaan. Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan bahwa Pertamina berutang sebelum mempunyai rencana.  

Utang jangka pendek Pertamina dalam satu tahun mencapai Rp 50 triliun. Kondisi ini sangat bergantung pada kemampuan mendapatkan utang baru untuk membayar. Sumber global bond Pertamina tidak dapat diharapkan lagi di masa mendatang. Pertamina mendapatkan dana tambahan lewat IPO. 

Jadi, kata Salamuddin, jika kinerja keuangan Pertamina terus menurun dalam penjualan dan laba, dan biaya terus meningkat, utang Pertamina tidak akan mungkin lunas dalam 300 tahun ke depan. Dia berharap Presiden Joko Widodo dapat mengatasi hal ini.