JMSI Sebut Puluhan Pasal di RUU KUHP Ancam Kemerdekaan Pers

Ilustrasi logo JMSI. Foto: net.
Ilustrasi logo JMSI. Foto: net.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Hukum Pidana (KUHP) akan dirampungkan dalam waktu dekat. Pemerintah berharap, agar Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) segera mengesahkan RUU KHUP secepatnya.


Namun kemunculan RUU KUHP ini menuai polemik dari berbagai elemen masyarakat tanpa terkecuali dari Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI). Ketua Bidang Organisasi Pengurus Pusat JMSI Dino Umahuk mengatakan, sejak awal JMSI dan keluarga masyarakat Pers mengkritik terkait RUU KUHP tersebut.

"Ada ancaman kemerdekaan pers pada draf RUU KUHP," ujar Dino Umahuk, dalam keterangan tertulis, Ahad, 20 November 2022.

JMSI kata Dino, meminta agar pasal-pasal yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik, dan bertentangan dengan yang terkandung dalam UU Pers 40/1999 dihilangkan. Karena dalam Pasal 2 UU Pers 40/1999 berbunyi: Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

“Freedom of press lahir karena kualitas pers yang baik. Mari kita sama-sama membuat pers kita lebih baik lagi, sehingga semakin memanfaat bagi masyarakat,” ujar Dino.

Dino mengatakan, dalam konteks kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers, RUU KUHP menjadi ancaman. Menurutnya RUU tersebut bukan saja karena tetap dipertahankannya pasal haatzaai artikelen melainkan juga penetapan sejumlah pasal dengan menggunakan delik formal. 

"Misalnya menyangkut ketentuan penyebaran kabar bohong dan berita tidak pasti; dengan pasal tersebut seorang wartawan bisa dihukum hanya karena dugaan “menyebarkan kabar yang diketahui akan menimbulkan keonaran," ujarnya.

Menurut Dino, jika RUU ini disahkan, akan berdampak semakin dipenjarakannya wartawan yang kritis. Selain itu, pasal-pasal dalam RUU KUHP tidak hanya mengancam pers tetapi juga kepada masyarakat yang sedang berunjuk rasa, pembicara diskusi, penceramah, ilmuwan, dan seniman.

Lebih lanjut Dino menyebutkan, adanya ketentuan pidana tambahan dalam RUU KUHP berupa pencabutan hak menjalankan profesi—yang memiliki kode etik--juga terasa berlebihan. Profesi jurnalis (sebagaimana pengacara, dokter, akuntan, dan sebagainya) dapat dicabut oleh negara, jika negara memandang terjadi pelanggaran profesi.

"Padahal, semestinya  pencabutan profesi merupakan domain organisasi profesi, bukan wilayah yang diatur oleh negara," ujarnya.

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan segera disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada Desember 2022.

Nantinya, Mahfud akan melaporkan terlebih dahulu kepada Presiden Joko Widodo sebelum akhirnya disahkan melalui Rapat Paripurna di DPR RI.

Hal ini disampaikan Mahfud saat memberikan sambutan dalam seminar Pembahasan Masukan Dewan Pers tentang RKUHP, Rabu, 16 November 2022.

“Dengan demikian, diharapkan sebelum masa sidang DPR ini berakhir pada bulan Desember mendatang, kita sudah punya KUHP baru yang menjadi revisi dari KUHP yang sudah berumur 200 tahun lebih, yang di negara asalnya sudah diganti, dan sudah 59 tahun kita bahas,” ujar Mahfud dalam keterangan tertulisnya.

Mahfud menuturkan, sedianya RKUHP akan disahkan sebelum 17 Agustus 2022 sebagai hadiah peringatan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, saat itu Presiden menginginkan supaya seluruh aspirasi masyarakat terkait RUU KUHP ditampung.

Untuk itu, kata dia, pemerintah pun menggelar dialog dan diskusi publik di 11 kota sesuai perintah Presiden untuk melibatkan dan memberi ruang bagi masyarakat terkait RKUHP.

“Saya sendiri hadir di sejumlah kota untuk membuka dan memberikan materi dan arahan pada dialog publik itu,” terang Mahfud.

Dalam perjalanannya, Mahfud menyebut pembahasan RKUHP telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Ia menyebut tidak mungkin RKUHP baru akan disahkan dengan menunggu semua pihak sepakat.

Ia menegaskan bahwa demokrasi memberi hak memberikan pendapat semua kalangan. Namun, konstitusi juga menentukan proses pengambilan keputusan apabila proses agregasi atau pengumpulan tidak bulat.

“Hukum adalah produk resultante, produk rakyat dan pemerintahnya. Suara-suara kelompok masyarakat, termasuk Dewan Pers juga sudah didengar,” ujarnya.

Di samping itu, Mahfud mengatakan, pemerintah mengapresiasi berbagai elemen masyarakat yang menyampaikan masukan dan aspirasi, termasuk Dewan Pers terkait RKUHP.

Menurut Mahfud, pemerintah tidak hanya menampung 22 materi, tetapi 69 materi dan sudah diolah oleh tim di pemerintah. Ia juga menyatakan bahwa pembahasan panjang RKUHP telah melibatkan berbagai lapisan masyarakat ini, mengakomodasi berbagai kepentingan, hingga berbagai aliran.

Menurutnya, masukan dari berbagai lapisan masyarakat tersebut juga telah dirajut menjadi satu dengan harapan segera menghasilkan KUHP yang baru.

“Yang merupakan agregasi yang luar biasa, titik temu dan penyatuan pandangan setelah berdiskusi selama 59 tahun terakhir,” imbuh dia.