Jokowi Perlu Kata Kunci

Ilustrasi: REDComm.
Ilustrasi: REDComm.

KATA kunci bagi Pemerintahan Joko Widodo dalam mengatasi pandemi ini adalah transparansi. Kata kunci itu akan membuka peluang bagi pemerintah untuk meraih banyak uang.

Dapat menggunakan angaran secara efektif, dan tepat sasaran, tentu saja sejalan dengan kemauan globalisasi untuk menghentikan peredaran uang kotor. Baik yang berasal dari masa lalu maupun yang dihasilkan di era pandemi Covid-19.

Uang kotor adalah sampah dalam dalam ekonomi. Uang kotor ibarat asap akibat kebakaran hutan yang menggangu jarak pandang. Jika uang kotor masih banyak, maka manusia tidak bisa memandang ke depan dengan baik. 

Uang kotor ibarat virus Covid-19. Uang kotor merusak sendi-sendi dasar kemanusiaan, yakni hubungan antarmanusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan penciptanya. Uang kotor itu sumber chaos.

Khusus dalam era ekonomi covid seperti sekarang ini, komitmen pemerintah Jokowi terhadap transparansi akan ditunjukkan oleh seberapa giat mereka dalam mentransparankan anggaran APBN dalam menangani Covid-19. Mulai dari ketersediaan anggaran, penggunaan anggaran, sasaran dan fokus anggaran, hingga pengawasan dan evaluasi dalam penggunaan anggaran. 

Semua harus dijalankan secara super inklusive sesuai dengan tema zaman, yakni keterbukaan. Mengapa? Karena keterbukaan akan memandu masa depan. Keterbukaan merupakan peta jalan dalam membangun tatanan dunia yang baru. To build a world a new

Transparansi akan menghasilkan banyak uang bagi Pemerintahan Jokowi. Sebagaimana dikatakan oleh Sri Mulyani dalam artikelnya Dirty Monet and Development bahwa ada banyak sekali uang kotor yang beredar di dunia yang diperlukan dalam rangka mengentaskan kemiskinan. 

Uang kotor ini disimpan di rekening rekening rahasia. Tentu saja uang ini menjadi beban bagi dunia dalam mencapai keseimbangan baru. Menurut Sri Mulyani uang itu sebagian besar berasal dari kekayaan negara negara miskin dan berkembang yang diambil secara tidak legal menurut aturan global.

Jika bicara kekayaan alam yang diambil secara tidak sah maka dunia akan mengarahkan pandanganya kepada kasus Indonesia. Mengapa? Inilah negara dengan kekayaan alam paling lengkap di dunia. Indonesia adalah tempat orang mencari harta, namun cara yang dilalukan selama ini ilegal. 

Lihat saja praktik leluasa ekspor ilegal, manipulasi perhitungan data pajak, dana bagi hasil dan lain sebagainya. Lalu uangnya disimpan di rekening rekening rahasia di luar negeri. 

Selama puluhan tahun dana dana ini menumpuk dan sekarang menjadi beban ekonomi dunia, beban bagi usaha penataan sistem keuangan, beban bagi membentuk keseimbangan baru, beban bagi upaya menjalankan transisi dalam sistem moneter dan keuangan. 

Ingat ya, bahwa uang banyak namun tidak bisa berputar itu adalah beban ekonomi. Beban paling berat.

Jadi kalau ada asumsi bahwa uang kotor itu sebagian besar milik Indonesia. Maka kesimpulannya uang ini akan kembali kepada Indonesia sebagai pemiliknya. Kembali kepada negara Indonesia, bukan kembali kepada bandit-bandit yang dulu mencuri dari Indonesia. 

Bagaimana caranya? Ini yang harus ditangkap, ditelaah dan dicermati oleh Pemerintahan Jokowi. Ini adalah rejeki yang besar bagi pemerintahan Jokowi. Apa itu pada saat pihak global sedang terdesak oleh keadaan dan dengan sangat terpaksa harus membersihkan uang kotor dari permukaan bumi, eh....pada saat yang sama ternyata ribuan triliun rupiah uang kotor itu ternyata punya Indonesia. 

Uang ini harus kembali kepada hutan-hutan Indonesia yang dirusak selama berpuluh-puluh tahun. Uang ini harus kembali kepada alam Indonesia agar menjadi paru-paru dunia kembali. Uang ini harus kembali kepada anggaran Indonesia agar bisa menolong dunia dalam mengatasi perubahan cuaca ekstrim,.

Uang ini juga harus digunakan untuk menghadapi wabah Covid-19. Caranya dengan gotong royong, bukan dengan jual beli. Wabah, jika dihadapi dengan jual beli, maka virus akan menjadi alat utama untuk memasarkan wabah. Itulah rezeki besar yang ada di tangan pemerintahan ini, yakni rezeki prikemanusiaan dan prikeadilan.

| Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia.