Karena Aku Cinta Kau dan Gajah

Hendra, sedang memberi makan gajah di CRU Trumon, Aceh Selatan. Foto: Irfan Habibi
Hendra, sedang memberi makan gajah di CRU Trumon, Aceh Selatan. Foto: Irfan Habibi

UCAPAN selamat datang dalam bahasa Aceh keluar dari mulut Hendra, seorang pawang gajah, saat menyambut kedatangan sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Forum Jurnalis Aceh ke kawasan Conservation Response Unit (CRU) Trumon. 


"Saleum Teuka,” kata Hendra, Selasa lalu. Hendra adalah pawang senior di CRU itu. Usianya 38 tahun dan dia mengabdikan diri di CRU itu sejak 2012, sejak awal CRU itu dibuka. Sebelumnya, Hendra bertugas di CRU Saree, juga sebagai pawang gajah. 

Segera, setelah berbincang singkat, Hendra, dengan gerakan yang tangkas, mengarahkan para jurnalis memasuki hutan yang berjarak sepelemparan batu dari gerbang CRU untuk melihat gajah-gajah yang dipelihara di tempat itu. 

CRU Trumon memiliki empat individu gajah, yaitu Tuah (35), Bayu (33), Siska (31), dan Nanik (29). Semua individu gajah itu didatangkan dari Sare, Aceh Besar. Siska pernah melahirkan namun bayi yang dinamai Intan Setia tak berumur panjang. Intan mati karena menderita herpes. 

“Kehilangan Intan juga kesedihan bagi kami di CRU,” kata Hendra.

Hendra menawarkan kepada para jurnalis untuk melihat langsung gajah bermain air di sungai yang berada sekitar satu kilometer dari kantor CRU. Di akhir pekan, atau hari-hari libur, banyak warga yang datang untuk naik gajah dengan tarif per orang Rp 10.000. 

Para jurnalis memilih untuk berjalan kaki, alih-alih menunggangi gajah, untuk melihat perjalanan hewan langka itu. Dari CRU, gajah-gajah itu melintasi aspal hitam menuju sebuah sungai kecil di sisi Jalan Trumon-Medan. Orang-orang yang melintas, terutama yang membawa anak, kerap berhenti untuk melihat gajah-gajah jinak itu.

Gajah sedang melintasi jalan Trumon-Medan menuju pemandian. Foto: Irfan Habibi

Hendra mengatakan Naca ialah dibuat sebagai tempat tinggal gajah liar yang bertugas mengatasi konflik gajah dengan manusia di kawasan itu. Saat tak bertugas, gajah-gajah ini menjadi objek ekowisata dan dikembangbiakkan untuk menekan penyusutan populasi gajah.

Hampir semua hal di CRU ini diurus sendiri oleh Hendra dan para pawang. Dan saat ini, di tengah pandemi, mereka dihadapkan dengan masalah kekurangan asupan makanan gajah karena mereka tidak memiliki dana operasional yang cukup. 

Gadang mau dimandikan. Foto: Irfan Habibi

Bahkan dalam dua tahun terakhir, tidak ada bantuan daya. "Tidak ada program yang mendukung. Kami kayak anak tiri. Semua urus sendiri," kata Hendra. Padahal gajah-gajah ini membutuhkan kacang-kacang, pisang, dan nanas, untuk asupan gizi. Mereka sedikit tertolong dengan bantuan warga yang memberikan bantuan pisang dan tebu. “Itu tidak selalu ada.” 

Selain untuk mencukupi kebutuhan gajah-gajah di CRU itu, para mahout juga membutuhkan uang untuk melakukan patroli keamanan hutan. Sayang, kran anggaran ke CRU ini sangat minim. Padahal tanpa anggaran, jangankan gajah, para mahout saja kesusahan. 

"Kalau untuk operasional memang tidak ada. Kalau kami mahout adalah sedikit diberikan oleh BKSDA. Kalau asisten, kalau tidak ada program pendonor, tidak ada gaji," kata Hendra. “Saat ini, gajah-gajah ini terlihat kurus.”

Namun Hendra senang merawat si belalai panjang. Dia mengaku jatuh cinta pada gajah-gajah ini. Bahkan, saking cintanya kepada gajah, Hendra memilih mengurusi Siska, yang saat itu akan melahirkan Intan, ketimbang mengantarkan istrinya untuk melahirkan di puskesmas. 

CRU Trumon, Aceh Selatan. Foto: Irfan Habibi

Hendra mengatakan istrinya terpaksa pergi ke puskesmas dengan diantar kerabat. “Bukan saya tak cinta istri. Tapi saat itu, Siska dan Intan lebih butuh bantuan saya. Tapi setelah mengurusi Siska dan Intan, saya langsung lari ke puskesmas,” kata Hendra kejadian itu.

Dalam keteratasan, Hendra berupaya menjaga gajah-gajah ini agar tetap hidup dan berkembang biak. Dia mengatakan gajah adalah penyeimbang alam. Tanpa gajah, hutan Aceh akan punah dan yang tersisa bagi orang-orang yang menetap di Aceh adalah kesengsaraan.