Karena Gayo Bukan Batak, Bukan Karo

Aksara Gayo. Foto: Aceh Hebat.
Aksara Gayo. Foto: Aceh Hebat.

Dr Uli Kozok, peneliti dan pemerhati budaya, membantah isi sebuah artikel di surat kabar yang menyebut deoxyribonucleic acid (DNA) Karo dan Gayo 100 persen sama. Bahkan DNA seorang ibu dan anak saja, kata dia, tidak mungkin 100 persen sama.


“Membaca berita sensasi itu, saya harus tersenyum,” kata Uli, Rabu, 31 Maret 2021.

Pernyataan itu berasal dari survei yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Medan. Namun, kata Uli, masyarakat harus menunggu hingga data penelitian BALAR Medan keluar. Bahwa DNA Gayo dengan Karo atau Toba relatif mirip, dapat dipastikan karena memang hidup berdekatan. Namun eratnya hubungan DNA tidak harus berarti bahwa bahasanya pun harus dekat. 

Anggapan yang mirip juga terjadi saat sejumlah orang menganggap Gayo dengan Alas satu. Pada hal bahsa kedua suku itu jauh berbeda. Bahkan Alas memang berkerabat dekat dengan bahasa-bahasa Batak, sehingga termasuk di dalam kelompok Batak. Namun Gayo tidak.

Uli mengatakan semua bahasa yang dituturkan di Indonesia bagian barat saling berkerabat. Bahasa lain yang termasuk kerabat adalah Filipina, Maori, Hawai'i, Fiji, Malagassy, dan banyak bahasa lainnya yang semua termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. 

Bahasa-bahasa Austronesia yang tertua dituturkan di Taiwan. Di sanalah tempat asal bahasa-bahasa Austronesia. Sekitar 4.500 tahun lalu, penutur bahasa-bahasa Taiwan itu merantau ke selatan. Dimulai dari Filipina, lalu mereka ke Indonesia. Dari Indonesia timur mereka menyebar di seluruh Samudera Teduh.

Cabang yang bermigrasi ke Indonesia bagian barat tersebar ke hampir seluruh Indonesia bagian barat, terutama Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pesisir Sumatera (Melayu), Aceh, dan Sumatera bagian selatan. Ada pula sebuah cabang yang mendiami Sumatera Utara, Alas, Gayo, Nias, dan Mentawai. 

Bahasa-bahasa tersebut dianggap berkerabat berdasarkan perubahan-perubahan fonetis (bunyi bahasa). Salah satu pakarnya, kata Uli, adalah Profesor Nothofer dari Universitas Frankfurt. Nothofer mengatakan bahasa-bahasa tadi semua berkerabat.

Teori Nothofer masuk akal. Khususnya dalam hal bahasa-bahasa Batak yang memang semuanya cukup mirip satu dengan lain dengan tingkat kesamaan di atas 70 persen. Satu-satunya suku non-Batak yang bahasanya termasuk bahasa-bahasa Batak, kata Uli, adalah Alas.

Setelah nenek moyang orang Alas, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Toba tiba di Sumatera Utara, maka bahasa mereka berubah terus membentuk enam bahasa. Keenam bahasa tadi berubah menjadi dua cabang: cabang utara yang terdiri atas Alas, Karo, dan Pakpak, dan cabang selatan yang terdiri atas Simalungun, Toba, dan Mandailing. 

Kesamaan antar-bahasa di dalam sebuah cabang sangat tinggi. Tingkat kesamaan mencapai di atas 80 persen. Cirinya, kata Uli, seseorang tidak bisa langsung mengerti bahasa dari daerah yang lain. Tapi kalau berbicara pelan-pelan, seseorang tersebut bisa memahami maksudnya. 

“Namun kalau seorang penutur dari bahasa kelompok utara berbicara dengan penutur kelompok selatan maka percakapan pada umumnya tidak mungkin atau sangat sulit karena tingkat kesamaan terlalu rendah,” kata Uli. 

Uli juga mengatakan bahwa tingkat kesamaan antara Karo dengan Toba mencapai 70-75 persen. Artinya, kata dia, kedua bahasa berkerabat dekat walaupun tidak dapat saling dimengerti. Namun, orang Karo yang tinggal dekat wilayah penuturan bahasa Simalungun biasanya bisa mengerti bahasa tersebut tetapi tidak mengerti bahasa Simalungun yang dituturkan oleh orang-orang yang dekat dengan daerah penuturan Toba. 

Orang Simalungun yang tinggal dekat wilayah penuturan Toba, kata Uli, umumnya mengerti bahasa Toba. Demikian juga orang Toba yang tinggal dekat Angkola mengerti bahasa Angkola, dan orang Angkola mengerti bahasa Mandailing. Dengan demikian ada sebuah rantai dan semua mata rantai itu terkait.

Uli mengatakan tingkat kesamaan bahasa dengan orang di luar wilayah bahasa-bahasa Batak lebih rendah. Karo dengan Melayu, misalnya, hanya sekitar 30 persen. Artinya mereka masih berkerabat jauh. Demikian juga bahasa Karo dengan bahasa Jawa. “Ada persamaan, tetapi tidak terlalu banyak,” kata Uli. 

Semakin jauh, kata Uli, bahasa mereka semakin sedikit kesamaan. Bahasa Karo dengan bahasa Maori tingkat kesamaan di bawah 10 persen. Artinya masih berkerabat, tetapi kerabat sangat jauh. Namun bahasa Karo dengan bahasa Thai tingkat kesamaan 0 persen, artinya mereka tidak berkerabat karena memang lain rumpun.

Jadi, kata Uli, “apakah Gayo, Nias, Mentawai masih dianggap stau kelompok dengan bahasa-bahasa Batak?” Menurut Professor Nothoser, iya. Dia mendasarkan teorinya pada perubahan bunyi yang menunjukkan persamaan. Namun, bila dilihat dari segi leksikon, tingkat kesamaan Nias dengan bahasa-bahasa Batak sangat rendah. Demikian juga dengan Mentawai.

Gayo sendiri berbeda jauh dengan Alas. Namun, menurut disertasi Dardanilla, Karo, Alas dan Gayo merupakan tiga bahasa sekerabat yang erat relasi historisnya. Namun, tingkat kesamaan antara Gayo dan Karo hanya 43,5 persen. Jadi. tidak cukup dekat untuk memasukkan Gayo ke dalam kelompok-kelompok bahasa Batak. Dalam disertasi yang sama juga disebutkan bahwa tingkat kesamaan antara Gayo dan Alas pun tidak jauh lebih tinggi, hanya 52,5 persen.

Untuk tingkat kesamaan bahasa Nias dengan bahasa Batak belum ada data yang dapat diandalkan. Sherly Novita, dalam "Kekerabatan Kosa Kata Bahasa Karo, Bahasa Nias, dan Bahasa Simalungun di Kota Medan: Kajian Linguistik Historis Komparatif", yang diterbitkan Linguistika pada September 2018, memperhitungkan tingkat kesamaan 21 persen. Tetapi data yang dikumpulkan menurut Uli kurang dapat diandalkan.

“Kita harus menunggu hingga ada penelitian yang datanya lebih dapat diandalkan. Untuk sementara, tampaknya tingkat kesamaan Karo dengan Nias sangat rendah,” kata Uli.