Kebebasan Pers Dalam Tantangan

Ilustrasi: Multimedia Center
Ilustrasi: Multimedia Center

TANGGAL 3 Mei setiap tahun diperingati sebagai “World Press Freedom Day” (Hari Kebebasan Pers Sedunia). Tema  tahun ini adalah “Information as a Public Good” atau “Informasi sebagai Barang Publik.”  Tema ini biasanya berubah setiap tahun dan setiap negara juga biasanya menetapkan tema tersendiri dan memperingati hari penting ini dengan bermacam cara.

Pada setiap kali peringatan Hari Pers Sedunia ini, ada evaluasi yang dilakukan terhadap perjalanan kebebasan pers di suatu negara.  Kegiatan peringatan sekaligus juga dimanfaatkan untuk membangun kesadaran tentang pentingnya kebebasan pers dan sekaligus mengingatkan pemerintah terhadap tugas mereka untuk menghormati dan menegakkan kebebasan berekspresi sebagaimana disebutkan dalam Pasal  19 Deklarasi Umum HAM.

Makna penting dari pasal tersebut adalah bahwa kebebasan berekspresi dijamin secara global oleh hukum hak asasi manusia internasional. Karena itu, jurnalis dan sumber berita harus dilindungi oleh hukum internasional dan juga hukum nasional dalam rangka memberikan informasi kepada publik.

Dalam proses demokrasi atau di negara yang demokratis, kebebasan berekspresi merupakan nilai yang sangat penting, Nilai ini memastikan orang dapat berdiskusi, bertukar, dan memperdebatkan ide. Hak asasi ini memungkinkan individu dan komunitas untuk menemukan informasi yang penting bagi mereka dan membagikannya dengan orang lain, tanpa sensor atau pembatasan.

Di dalam Kovensi Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP), kebebasan berekspresi mencakup “kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam segala jenis, tanpa memandang batas negara, baik secara lisan, tertulis atau cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain apa pun. pilihan orang.”

Ancaman

Tetapi kebebasan pers terancam setiap hari secara global atau nasional, tak terkecuali di Indonesia. Pada akhir tahun 2020 misalnya, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), satu lembaga independen yang antara lain memantau kebebasan pers, menyatakan kebebasan pers di Indonesia pada tahun 2020 memburuk dengan adanya 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Pada tahun sebelumnya (2019), AJI Indonesia mencatat ada 53 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Catatan kasus kekerasan pada tahun lalu itu menjadi semakin suram karena upaya penegakan hukum yang berjalan lambat. Bahkan, tahun 2020 juga diwarnai oleh serangan siber (pada jurnalis dan media) yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Menurut AJI, keadaan di daerah tertentu seperti Papua dan Papua Barat, kekerasan terhadap wartawan sering tak tercatat karena keterbatasan sumber daya manusia untuk memverifikasinya.

Bagaimana tahun 2021? Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Herlambang P Wiratraman dalam diskusi virtual bertajuk Kebebasan Ekspresi, Hukum, dan Dinamika Perkembangannya, pada 14/4/2021 lalu menyebutkan kondisi kebebasan berekspresi dan demokrasi dinilai memburuk. Salah satu indikatornya adalnya pola pembungkaman kritik yang disampaikan melalui media massa maupun media sosial.

Menurut Herlambang, pembungkaman itu semakin kompleks karena tidak lagi dilakukan dengan menutup atau mencabut izin penerbitan media melainkan cenderung berupa serangan digital. Misalnya, doxing atau pembongkaran serta penyebaran data pribadi. Di sisi lain, upaya sensor, persekusi, dan pemenjaraan juga masih terjadi, atau dibalas dengan serbuan informasi yang tidak relevan.

Mungkin ada yang masih ingat bahwa pada Agustus 2020 lalu, portal Tempo.co dan Tirto.id juga mengalami peretasan. Pemimpin Redaksi Tirto.id, Sapto Anggoro, mengungkapkan pelaku meretas akun email editor Tirto.id, lalu masuk ke sistem manajemen konten dan menghapus tujuh artikel Tirto.id, termasuk artikel yang kritis tentang klaim obat corona. Sedangkan pelaku peretasan terhadap Tempo.co berusaha mematikan server meski tidak berhasil. Namun peretas bisa mengubah tampilan laman Tempo.co. Sejumlah orang juga tak lagi bisa mengakses akun twitternya atau pembukaan akun twitter oleh seseorang.

Hormati Kekebasan

Tidak diketahui siapa yang pelaku dalam beberapa kasus di atas. Namun satu hal sudah jelas, bahwa serangan-serangan itu memang ada, termasuk kepada wartawan. Beberapa bulan lalu misalnya ada serangan secara fisik kepada wartawan Majalah Tempo yang sayangnya sampai saat ini belum jelas hasil proses hukumnya.

Namun, kebebasan berekspresi atau berbicara bukanlah hak mutlak dan dapat dibatasi jika diperlukan dan dilakukan secara proporsional. Di dalam KIHSP disebutkan bahwa kebebasan berekspresi hanya dapat dibatasi oleh hukum dan jika perlu untuk menghormati hak atau reputasi orang lain; atau untuk perlindungan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan atau moral masyarakat.

Artinya, penguasa dan pihak lain di luar penguasa, harus mengacu kepada hukum sebagai bentuk penghormatan kepada kebebasan berekspresi dalam segala bentuknya. Transparansi dan keadilan dalam proses hukum harus mendapat perhatian. Menggunakan cara-cara nonhukum, atau meminjam tangan elemen tertentu untuk melakukan pengbungkaman, hanya meruntuhkan integritas Indonesia sebagai negara penganut demokrasi dan negara hukum berdasarkan Pancasila.

Akhir kata, selamat Hari Pers Sedunia, semoga kondisi tahun-tahun mendatang menjadi lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya dan tahun ini. Freedom of the press is a precious privilege that no country can forego (Mahatma Ghandi).  

| Penulis adalah dosen pengasuh mata kuliah hukum dan HAM pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.