Kebijakan Klenik Memberangus Corona

Ilustrasi: Mercopress.
Ilustrasi: Mercopress.

TAK ada hari tanpa penambahan jumlah warga yang tertular Covid-19 di Aceh. Hingga kemarin, data yang tercatat di Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat 8.919 orang warga terpapar corona. Saat ini, penderita yang dirawat mencapai 898 orang. 7.659 orang dinyatakan sembuh dan 362 orang meninggal dunia. 

Bahkan juru bicara satuan tugas penanganan Covid-19 Aceh, Saifullah Abdulgani alias SAG, 19 daerah lain di Aceh masuk dalam kategori oranye. Bahkan daerah risiko rendah (zona kuning) seperti Aceh Barat Daya, Bireuen, Aceh Timur, dan Aceh Tenggara, pun belum benar-benar aman dari ancaman virus corona. 

Makanya, sangat tepat jika SAG mengatakan selama pandemi Covid-19 belum berakhir, semua kalangan diimbau untuk menghindari kerumunan di tempat-tempat umum. Selalu menjaga jarak dengan orang lain minimal 1–1,5 meter. Mengenakan masker dan mencuci tangan sesering mungkin dengan memakai sabun adalah keniscayaan dalam masa pandemi ini. 

Penanganan Covid-19 memang seharusnya dilakukan berdasarkan kajian ilmu pengetahuan. Protokol kesehatan yang dilakukan sejak awal masa pendemi ini adalah hasil kajian para ilmuwan yang terus menerus menemukan hal-hal baru dalam penanganan Covid-19, terutama penularannya. 

Dan dalam kajian itu, tidak satupun yang menyebut bahwa penduduk yang berstatus aparatur sipil negara atau tenaga kontrak di Pemerintah Aceh adalah kelompok paling rawan tertular dan menularkan virus corona. Jadi instruksi Gubernur Aceh yang melarang aparatur sipil negara dan tenaga kontrak dilarang membuat, menghadiri pesta dan sejenisnya, adalah aturan klenik, yang sama sekali tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan. 

Aturan ini juga terkesan membodoh-bodohi masyarakat. Seolah-olah aparatur sipil negara adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab atas penularan atawa penyebaran Covid-19 di Aceh. Jika ini dasar pikirnya, seharusnya Pemerintah Aceh tidak boleh mengerahkan aparatur sipil negara dan tenaga kontraknya untuk mendatangi seluruh daerah di Aceh dan membagi-bagikan masker dalam sebuah program yang dinamai Gebrak Masker. 

Covid-19 harusnya mendorong Pemerintah Aceh, yang sebagia besar adalah orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi, untuk menata kebijakan publik berdasarkan ilmu. Dan hal itu perlu ekosistem pengetahuan yang jelas serta dan inovasi. 

Namun sejak awal, hampir tak ada kebijakan yang mendorong hal itu. Bahkan tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk penelitian yang, syukur-syukur, hasilnya dapat dijual dan Aceh mendapatkan keuntungan dari proses ini. 

Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, sendiri seharusnya belajar dari sejumlah kebijakan yang tidak mengena yang dibuat oleh bawahannya. Karena dari seluruh kebijakan itu, Nova adalah orang yang paling dituding karena dianggap membiarkan aturan-aturan aneh bermunculan. 

Gubernur Aceh perlu segera mencabut aturan itu. Menerbitkan aturan lain yang tidak hanya melarang ASN atau tenaga kontrak menggelar pesta pernikahan atau menghadirinya. Aturan ini harusnya juga diterapkan kepada semua masyarakat. Atau, Pemerintah Aceh tak perlu membatasi dan membiarkan saja aktivitas sosial berjalan seperti biasa. 

Jika aturan itu tidak segera dicabut, maka aturan itu akan semakin mengancam akal sehat yang setiap hari semakin digoyang oleh banyak peristiwa politik dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang aneh. Alih-alih mengedukasi dan mensosialisasikan tentang Covid-19, Pemerintah Aceh malah jadi bagian terbesar dari kampanye yang menjadikan Covid-19 sebagai lelucon.

| Penulis adalah wartawan.