Kejati Aceh Tetapkan Enam Tersangka Kasus SPPD Fiktif DPRK Simeulue  

Konferensi pers di Kejaksaan Tinggi Aceh. Foto: Muhammad Fahmi/RMOL Aceh.
Konferensi pers di Kejaksaan Tinggi Aceh. Foto: Muhammad Fahmi/RMOL Aceh.

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menetapkan enam orang tersangka kasus dugaan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Simeulue tahun anggaran 2019.


Mereka yang ditetapkan tersangka ialah, berinisial M menjabat sebagai Ketua DPRK Simeulue 2014-2019; IR dan PH, selaku anggota DPRK Simeulue aktif; Kemudian PH, anggota DPRK Simeulue aktif dan juga sempat menjabat Wakil Ketua DPRK Simeulue 2019-2021.

Lalu, Pengguna Anggaran (PA) pada sekretariat DPRK berinisial A; MEP selaku pejabat pengelola keuangan, serta R selaku bendahara pengeluaran.

“Penetapan enam orang tersangka kasus perjalanan dinas tersebut setelah dilakukan serangkaian penyidikan dan ditemukan penyimpangan penggunaan anggaran APBK 2019 pada sekretariat DPRK Simeulue,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh,  Bambang Bachtiar, saat konferensi pers di Kejaksaan Tinggi Aceh, Jumat, 22 Juli 2022.

Pada tahun 2019 SKPK DPRK Simeulue melalui Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran (DPPA) SKPK Nomor : DPA : 4.01.04.01/DPA_SKPK/2019 tanggal 23 Oktober 2019 mengalokasikan anggaran untuk kegiatan meliputi: Belanja perjalanan dinas luar daerah sebesar Rp 5.571 miliar, dan Belanja kursus-kursus singkat/pelatihan Rp 504 juta.

“Para tersangka ini diduga melakukan penyimpangan anggaran perjalanan dinas dari APBK total anggaran selebihnya Rp 6 miliar," kata Bambang.

Para tersangka, kata Bambang, melakukan kegiatan fiktif dan mark up uang perjalanan dinas seperti tiket pesawat, biaya penginapan hotel serta sertifikat Bimbingan Teknis (Bimtek). Bahkan, ada kegiatan yang tidak dilakukan.

"Kegiatan kursus singkat Bimtek telah dilaksanakan, namun biaya tiket dan penginapan tidak dapat dipertanggungjawabkan," kata Bambang.

Bambang juga mengatakan, berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI ditemukan kerugian keuangan negara pada alokasi anggaran konsultasi, koordinasi kementerian lembaga dan dinas Provinsi pada sekretariat DPRK Simeulue sebesar Rp 2,8 miliar. "Dari hasil audit ditemukan kegiatan yang tidak dilaksanakan. Namun, anggaran tetap dibayarkan sebesar Rp 2,8 miliar lebih," sebut Bambang.

Sebelumnya, kata Bambang, kasus ini ditangani Kejaksaan Negeri Simeulue, namun diambil alih oleh Kejati Aceh. "Pengusutan kasus ini sempat terhambat karena penyidik harus mendapatkan izin pemeriksaan Gubernur Aceh. Sebab, dua pihak dalam kasus ini menjabat Anggota DPRK Simeulue 2019-2024," sebut Bambang Bachtiar.