Kemiskinan dan Cinta Dunia

Ilustrasi: A. Derenne.
Ilustrasi: A. Derenne.

PERNYATAAN di spanduk yang bertuliskan pemberian selamat kepada Pemerintah Aceh terpapang di Jalan Daud Beureuh, persis di depan kantor Gubernur Aceh. Ini adalah ucapan atas pencapaian Aceh sebagai juara bertahan provinsi termiskin di Sumatera; satire.

Semua berawal dari data Badan Pusat Statistik Aceh yang melansir data terbaru mengenai kemiskinan. Aceh menjadi juara dengan tingkat kemiskinan 15 persen atau mencapai 810.000 jiwa. Di Indonesia, jumlah ini menjadi ranking keenam sebagai provinsi termiskin.

Meski masih mengundang pro dan kontra, sudah seharusnya pemerintah dan warga Aceh mencermati, menilik dan memikirkan langkah-langkah strategis agar angka kemiskinan ini menurun. Salah satu langkah yang patut dipertimbangkan adalah dengan jalan Tasawuf.

Mengapa tasawuf? Ajaran ini mengandung ilmu yang membentuk etika kerja, menjaga dari sifat khianat, dan menumpas sifat individualistis, materialistis dan hedonis.

Kerajaan Aceh di masa Sultan Iskandar Muda pernah mengalami puncak kejayaan dengan menjadikan ajaran tasawuf sebagai dasar-dasar pemerintahan. Dari sinilah ulama sufi dan ajaran tasawuf berkembang pesat dan menyebar ke seluruh nusantara.

Dalam tasawuf, manusia didorong menjadi sadar akan diri dan mengenali Allah. Sehingga ini menjadi dasar yang memangkas jarak kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Tasawuf sejati bukan tidak memiliki dunia. Tasawuf mengajarkan insan untuk tidak dimiliki oleh dunia. Tasawuf tidak melarang umat untuk mengumpulkan harta. Tasawuf mengajarkan harta yang dikumpulkan itu ditempatkan sebagai jalan, bukan sebagai tujuan.

Pengarang Kitab Hikam Syeik Ibnu Ataillah, penulis terkemuka tarekat syaziliah, lebih menggunggulkan orang kaya yang pandai bersyukur dan dermawan ketimbang orang fakir yang sabar. Sementara Imam Muhammmad Ghazali, dalam kitab Rakaiz Al-Imam Baina Al-Aqal Wa Al-Qulub, berujar, “ketika suatu negeri dilanda kemiskinan, tasawuf bisa jadi penawar.”

Salah satu resep yang ditawarkan oleh Imam Ghazali adalah sikap zuhud. Kata ini berarti menjauhi segala yang haram, tidak berlebihan dalam perkara yang halal dan meninggalkan apa saja yang dapat memalingkan diri mereka dari mengingat Allah serta tulus mendahulukan orang-orang yang sangat memerlukan. Dari pernyataan tersebut dapat kita pahami bahwa zuhud merupakan solusi terbaik dalam mengatasi kemiskinan dan korupsi yang ada di negeri kita ini.

Sifat zuhud akan mengembalikan pusat kehidupan seseorang dari egosentris ke teosentris. Sehingga zuhud akan menghapus sikap mementingkan diri sendiri, kikir, rakus, cinta dunia serta tidak peduli pada lingkungan dan manusia di sekelilingnya.

Jika di Indonesia, khususnya Aceh, masyarakat mampu mempraktikkan sikap zuhud dalam kehidupan sehari-sehari, maka tidak ada lagi anak yatim piatu yang berkeliaran di jalan dan menjadi pengemis karena mereka disantuni oleh saudara-saudara mereka yang lebih berada. Inilah salah satu cara untuk menekan angka kemiskinan.

Ide ini sangat mudah untuk disampaikan, namun berat dipraktikkan. Jangankan orang biasa, ulama sekalipun sulit untuk menerapkan sifat tirakat tersebut. Karena untuk menjadi zuhud, orang tidak hanya dituntut untuk memahami makna. Orang tersebut harus pula mampu menjalankan sifat zuhud dalam kehidupan.

Namun jelas, bahwa agama Islam sebenarnya menunjukkan kepada umat manusia betapa sikap zuhud hartawan mampu mengangkat harkat dan martabat kaum fakir miskin. Sehingga kemiskinan dapat berkurang. Bahkan pada masa khalifah Umar Bin Abdul Aziz, sangat sulit menemukan orang yang mau menerima zakat karena rata-rata masyarakat di era itu hidup sejahtera.

Di samping menekan angka kemiskinan, sifat zuhud juga mampu menyelamatkan para pejabat untuk melakukan korupsi, Karena sejatinya, zuhud melahirkan optimisme dalam mencari harta melalui usaha-usaha halal, sekaligus menghindari berbagai usaha ilegal, seperti syubhat dan haram, dengan meletakkan harapan pada kemahakuasaan Allah SWT.

Mental pelaku korupsi identik dengan mental serakah. Sementara zuhud mengajak orang untuk berusaha dengan cara-cara yang diridai Allah SWT. Maka, melalui nilai-nilai tasawuf, terutama zuhud, dapat menjadi solusi dari dalam diri setiap aparatur negara dalam mengatasi kemiskinan.

Dengan kata lain Aceh akan mampu mengelola semua anggaran dengan tepat di saat kecerdasan intelektual diseimbangkan dengan kecerdasan spiritual. Sehingga Aceh, yang dikenal kaya dan istimewa, tak terus jadi bahan olok-olok karena salah dikelola.

| Penulis adalah santri Dayah Raudhatul Hikmah Alwaliya, Pango Raya