Kepala DLHK Aceh Sebut Penanganan Konflik Manusia dan Satwa Liar Tupoksi KLHK 

Kadis LHK Aceh, A Hanan. Foto: Merza/RMOLAceh.
Kadis LHK Aceh, A Hanan. Foto: Merza/RMOLAceh.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, A Hanan menyebutkan bahwa penanganan konflik manusia dan satwa liar bukan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) DLHK Aceh, melainkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).


"Artinya jangan dibentur-benturkan, saya ingin menjelaskan terkait dengan tupoksi dasarnya penanganan satwa liar adanya di Kementerian dalam hal itu perpanjangan tangan ke BKSDA," kata A Hanan kepada Kantor Berita RMOLAceh, Senin, 6 Maret 2023.

Hal tersebut disampaikan Hanan untuk menanggapi pernyataan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Sulaiman yang menyebutkan dinas bahwa dinas yang dia pimpin, tidak serius menangani persoalan konflik manusia dan satwa liar.

Menurut Hanan, dalam penanganan konflik manusia dan satwa liar di Aceh, DLHK Aceh hanya bisa memberikan dukungan terhadap dampak yang terjadi. Apalagi DLHK tidak dapat mendanai penanganan satwa liar secara keseluruhan.

"Nomenklatur anggaran kita, kita tidak boleh masuk ke sana, karena itu Tupoksi kementerian, tapi karena itu dampaknya dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi, di situ la kita coba tangani," ujar Hanan.

Lebih lanjut Hanan mengungkapkan bahwa DLHK Aceh telah melakukan beberapa kegiatan penanganan konflik manusia dan satwa liar. DLHK Aceh mengadakan sosialisasi dan pemeliharaan dengan membuat kawat kejut dan pemeliharaan parit bagi gajah. Dalam kegiatan pihaknya berkoordinasi dengan BKSDA dan lembaga mitra. 

Selain itu menurut Hanan, DLHK Aceh  bersama Conservation Response Unit (CRU) menangani gajah liar yang masuk kedalam kawasan Areal Penggunaan Lain (APL).

"Kami ada anggaran bagaimana CRU bisa menangani gajah jinak, kalau ada gajah liar masuk dihalau, cuma sebatas ada mercon jangan masuk ke pemukiman," kata Hanan.

Terkait penetapan strategi dan rencana aksi penanganan satwa liar yang diatur dalam Qanun nomor 11 tahun 2019 tentang penanganan satwa liar, DLHK Aceh sudah melakukan sosialisasi ke beberapa daerah. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membuka koridor gajah.

"Yang di APL perlu dilakukan kesepakatan bersama dengan pemerintah kabupaten/kota, itulah yang dilakukan selama ini sosialisasi, di Pidie, Pidie Jaya, Bireuen dan Aceh Jaya," ujar Hanan.

Menurut Hanan, jika semua daerah sudah menyetujui rencana aksi penanganan satwa liar, barulah DLHK Aceh akan mengajukan agar dapat menerapkan strategi dan rencana aksi tersebut. 

"Pada saat selesai di sepakati baru kemudian ini kita ajukan ke sana, kita tidak bisa melakukan persetujuan kebersamaan semua pihak, yaitu penanggungjawab ini sendiri, agar nanti tidak terjadi komplain di masyarakat," ujar Hanan.

Respon A Hanan Terkait Permintaan Pengunduran Diri dari Jabatan Kadis LHK Aceh 

Sementara itu, saat ditanya terkait pernyataan Sulaiman agar A Hanan mengundurkan diri dari jabatan Kadis LHK Aceh, Hanan hanya menjawab agar dipelajari dulu Tupoksi.

"Pelajari sama-sama Tupoksi, kita pelajari tupoksi, dari situ kita lihat apa kewenangan pemerintah Aceh, apa kewenangan Kementerian," ujarnya singkat.

Sebelumnya diberitakan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Sulaiman, meminta A Hanan mundur dari jabatan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh. Menurutnya DLHK Aceh terkesan abai dalam menangani konflik antara satwa liar dan manusia.

"Kita mengharapkan Kadis DLHK Aceh tidak main-main dengan persoalan satwa liar Aceh, segera selesaikan turunan dari Qanun tersebut. Jika tidak mampu, silahkan mundur supaya amanah tersebut dapat dijalankan oleh orang-orang yang bertanggung jawab," kata Sulaiman dalam keterangan tertulis, Senin, 6 Maret 2023.

Sulaiman juga mempertanyakan kinerja DLHK Aceh yang selama ini tidak menunjukkan keseriusannya dalam pengelolaan Satwa Liar di Aceh. Padahal beberapa waktu lalu pihak DLHK mengatakan bahwa dokumen strategi dan rencana aksi pengelolaan satwa liar aceh sudah tahap finalisasi.

“Jadi dimana dokumen itu sekarang, kenapa juga belum ditetapkan melalui Pergub? Finalisasi seperti apa yang dilakukan sehingga sudah dua tahun juga belum rampung," ujar Sulaiman yang juga politisi Partai Aceh (PA).

Menurut Sulaiman, Aceh punya Qanun tentang pengelolaan Satwa Liar yang telah disahkan pada 2019 lalu. Tapi sampai saat ini Peraturan Gubernur (Pergub) mengenai Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Satwa Liar belum juga ditetapkan. 

Padahal kata Sulaiman, dalam Qanun tersebut sangat jelas dikatakan bahwa Pemerintah Aceh harus menetapkan "Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Satwa Liar" paling lama satu tahun sejak Qanun tersebut diundangkan, yaitu pada 18 Oktober 2019.

“Dua tahun yang lalu sudah saya desak supaya Pemerintah Aceh segera mengimplementasikan Qanun Nomor 11 tahun 2019 tentang Pengelolaan Satwa Liar, namun sampai saat ini belum juga terealisasi," ujarnya.

Dalam pandangan Sulaiman, selama ini tidak ada acuan yang kongkrit dalam hal penanganan persoalan konflik manusia dan satwa liar. Menurutnya Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) memang punya Standar Operasional Prosedur (SOP) sendiri dalam pengelolaan dan penangganan konflik satwa liar secara nasional, tapi hal itu tidak dapat dijadikan acuan kongkrit dalam pengelolaan satwa liar di Aceh.

"Apalagi mengingat populasi satwa liar di Aceh lebih banyak dibanding dengan daerah lain di Indonesia” ujar Sulaiman.

Oleh karena itu, kata Sulaiman, pemerintah Aceh harus punya strategi dan rencana aksi tersendiri dalam pengelolaan satwa liar di Aceh. Hal itu semuanya sudah diatur dalam Qanun Aceh nomor 11 tahun 2019 tentang pengelolaan satwa liar di Aceh, tambah Sulaiman.

Minta Konflik Harimau dengan Pemilik Kambing di Aceh Timur diselesaikan secara Restorative Justice

Selain itu, Sulaiman juga berharap agar Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh dapat menyelesaikan kasus konflik harimau dengan pemilik kambing di Aceh Timur secara Restorative Justice. Mengingat hal itu terjadi karena belum adanya langkah kongkrit dalam pengelolaan satwa liar di Aceh.

"Apa yang terjadi di Aceh Timur saya berharap Kapolda Aceh dapat membuka mata hatinya untuk menyelesaikannya secara damai atau Restorative Justice” kata Sulaiman.

Sulaiman mengatakan sangat tidak adil jika pemilik kambing disalahkan secara sepihak, karena pada dasarnya dia juga dilindungi oleh negara. Negara tidak hanya melindungi harimau, tetapi negara juga melindungi setiap hak warga negara.

Negara harus hadir melindungi warganya dan menjamin kebutuhan hidupnya. Menurut Sulaiman, apa yang dilakukan oleh pemilik kambing tersebut bukanlah kejahatan yang luar biasa.

"Dia tidak memburu harimau tersebut untuk di perdagangkan kulitnya, tetapi dia hanya menunjukkan reaksinya dikarenakan harimau tersebut telah menerkam kambing miliknya," ujar Sulaiman.

Sulaiman berpendapat, jika perbuatan pemilik kambing tersebut harus dihukum karena melanggar aturan negara, maka negara juga harus melindungi hak hidup pemilik kambing. Hal tersebut sangat jelas termaktub dalam UUD 1945.

“Mungkin dalam hal ini merasa sama-sama terganggu, makanya harus ada acuan khusus dulu dalam penangganan satwa hidup berdampingan dengan manusia, baru kita bisa menyalahkan siapa” ujarnya.