Ketua Komnas HAM RI Diminta Evaluasi Komnas HAM Aceh

Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Muhammad Qodrat (kanan). Foto: Merza/RMOLAceh.
Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Muhammad Qodrat (kanan). Foto: Merza/RMOLAceh.

Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Muhammad Qodrat, menganggap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Aceh permisif terhadap dugaan pelanggaran HAM yang terjadi. Dia menduga ada keberpihakan dalam mengambil kebijakan.


"Tanpa keberpihakan itu, perlindungan HAM masyarakat lemah hanya akan menjadi omong kosong," kata Qodrat, dalam keterangan tertulis, Sabtu, 21 Januari 2023.

Komnas HAM RI, kata Qodrat, harus mengevaluasi kinerja Komnas HAM Aceh. Karena, dia menilai Komnas HAM Aceh tidak professional dan tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

Kepala Komnas HAM Aceh saat ini, kata Qodrat, sudah menjabat dalam waktu cukup lama dari sejak 2003. Seharusnya, menurut Qodrat ada penyegaran.

“Agar roda organisasi tetap dapat berjalan sehat dan tidak gampang ‘masuk angina’. Kami mempersilakan yang bersangkutan untuk mengundurkan diri secara sukarela apabila yang bersangkutan sadar diri,” ujar Qodrat.

Menurut Qodrat, jika kepala Komnas HAM Aceh saat ini mengundurkan justru lebih baik. Karena menjadi contoh teladan bagi masyarakat.

Di samping, Qodrat mengaku tak pernah diundang dalam mediasi bersama Kodam IM terkait sengketa tanah di Asrama PHB, Gampong Bandar Baru, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Jika pernah Komnas pernah menyebutkan LBH Banda Aceh pernah diundang, kata dia, itu bohong.

Qodrat menilai, mediasi yang dilakukan tanpa melibatkan LBH Banda Aceh itu melanggar prosedur. Karena LBH Banda Aceh, merupakan kuasa hukum warga di sana.

Prosedural tentang mediasi itu tertuang dalam Pasal 20 Peraturan Komnas HAM Nomor 001/KOMNAS HAM/IX/2010 tentang Standar Operasional Prosedur Mediasi HAM (Peraturan Komnas HAM Nomor 1 Tahun 2010). Di dalamnya disebutkan, Komnas HAM terlebih dahulu mempersiapkan draft surat pernyataan tertulis yang berisi kesediaan para pihak untuk dimediasi.

"Mediasi baru dapat dilakukan setelah adanya pernyataan tertulis dari para pihak bersengketa mengenai kesediannya untuk mediasi,” sebut Qodrat.

Ironinya, kata dia, Komnas HAM Aceh tidak pernah meminta persetujuan warga untuk dimediasi. Seharusnya, kata dia, Komnas HAM Aceh memahami maksud dari kata koordinasi sesuai dengan konteksnya. “Jangan hanya asal bicara," ujar Qodrat.

Qodrat menilai, pertemuan antara Komnas HAM dan Kodam IM bukanlah koordinasi. Kondisi ini menggiring opini public seolah-olah terjadi kartel.

"Di mana warga berkedudukan sebagai pengadu, sementara Kodam IM berkedudukan sebagai teradu,” kata dia. “Ketika Kodam IM sebagai teradu diundang oleh Komnas HAM dalam rangka pemeriksaan atau penyelesaian pengaduan, maka dalam konteks ini, hubungan antara Komnas HAM dengan Kodam IM bukanlah suatu hubungan yang koordinatif.”

Lebih lanjut, kuasa hukum warga ini juga mengatakan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 21 huruf e Peraturan Komnas HAM Nomor 1 Tahun 2010 menentukan, dalam hal mediasi tidak dapat dilakukan atau penyelesaian sengketa dihentikan/ditutup, maka Komnas HAM harus memberitahukannya kepada pengadu. Namun sayangnya pihak Komnas HAM bungkam dan tidak memberikan pemberitahuan apapun kepada LBH Banda.

Seharusnya sebagai lembaga yang memfasilitasi rakyat, ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh Komnas HAM salah satunya mengeluarkan rekomendasi dalam sengketa tanah tersebut. "Termasuk misalnya rekomendasi agar tidak dilakukannya penggusuran sepihak sampai dengan selesainya proses hukum yang tengah ditempuh warga," ujarnya.