Keprihatinan Moral Era Reformasi

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

MORALITAS masih menjadi keprihatinan kita semua di zaman demokrasi multi partai sejak reformasi bergulir. Moralitas masih menjadi pekerjaan rumah untuk dipikirkan terus-menerus.

Harapan kita keterbukaan semua elemen dan pihak dalam atmosfir demokrasi ini akan menghasilkan kontrol pada semua lini. Dengan keterbukaan, kita semua saling melihat dan mengevaluasi apa yang tengah terjadi.

Sistem dan prosedur sudah dijalankan dengan berbagai peraturan dan perundang-undangan. Kita rasakan betapa para pengambil kebijakan sudah produktif dalam melahirkan berbagai macam peraturan.

Kita pun saksikan adanya berbagai aturan dan undang-undang yang kadangkala dimaksudkan untuk menopang berbagai rencana dan agenda. Karena jumlahnya aturan dan undang-undang itu, seringkali kita harus menyelaraskan dan mencari celah keselamatan, dibalik produktifnya aturan-aturan yang berbeda, dan kadangkala juga saling bertentangan.

Era demokrasi multi-partai ini juga ditandai dengan berbagai macam peraturan dari berbagai lini pemerintah yang berbeda jenjangnya, dari daerah hingga pusat. Namun, keprihatinannya bukan bagaimana mentatatinya, tetapi bagaimana mencari celah semua aturan itu untuk bermanuver.

Apakah semua pelaksanaan aturan itu mengarah pada moralitas bangsa dan efektifitas kinerja dan juga integritas kita semua? Pertanyaan ini sudah banyak mengganggu mereka yang waskita. Moralitas era reformasi membutuhkan banyak perenungan, dari situ mungkin muncul kesadaran bahwa moralitas kita dalam bahaya. Moralitas perlu perhatian. Moralitas pada lampu merah. Moralitas seharusnya menjadi fondasi demokrasi.

Moralitas yang menyangkut kejujuran, integritas, dan kebersihan menjadi bahan langka dalam suri tauladan, terutama pada publik dan generasi mendatang yang akan menjadi pemimpin.

Publik dipenuhi dengan berita-berita pelanggaran moral, bukan ketaatan moral. Yang viral adalah pelanggaran berat, dari pembunuhan, pelanggaran seks, korupsi, penyelewengan wewenang hingga kebohongan. Publik kurang dihiasi dengan berita kejujuran, integritas, kebajikan, dan kemulyaan akhlak.

Berita jelek dan pelanggaran jauh lebih menarik. Itu lalu menimbulkan huru hara, caci maki, dan saling menyudutkan. Publik tidak dibuat tertarik pada suri tauladan.

Teladan itu langka, atau tidak ada. Semoga yang pertama itu benar. Atau semoga semua prasangka buruk salah, teladan itu masih ada, namun perlu dimunculkan saja.

Bagi para pendidik, guru dan dosen, baik di level dasar, menengah dan perguruan tinggi, agak sulit menerangkan pada para peserta didik, mana yang harus kita tiru saat ini? Siapa yang menjadi acuan kita? Adakah tokoh, ilmuan, agamawan, seniman, olahragawan, kaum professional yang diangkat di publik? Siapakah contoh nyata, role model, dan teladan kita?

Tentu ada, kita harus menumbuhkan terus rasa optimis dan berusaha terus menghibur diri bahwa suri tauladan itu tetap ada tersembunyi entah dimana. Orang baik-baik dan biasa saja mungkin tidak popular, sebagaimana tokoh-tokoh negatif yang sering ditampilkan media dengan konotasi pelanggaran dan penyimpangan. Berita negatif jauh lebih menarik daripada berita positif.  

Tentu ini sebuah kenaifan, produktifitas peraturan luar biasa, setiap saat keluar aturan baru, tetapi yang ada adalah berita pelanggaran aturan. Pelanggaran aturan dan perundang-undangan dilakukan dengan sengaja. Kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang menjadi hal biasa. Kita membutuhkan model yang bisa digunakan sebagai bahan ajar, dan dijadikan acuan bagi para siswa dan generasi mendatang.

Jika digali secara serius tentu banyak contoh orang-orang yang mempunyai integritas dan keteladanan, tetapi dimana mencarinya? Dalam bentuk apa keteladanan itu dimunculkan? Apakah berita tentang keteladanan itu akan menjadi viral?

Kenyataannya kasus penghilangan nyawa, pelanggaran dan penyalahgunaan seks, penyimpangan-penyimpangan dengan sengaja dan transaksi-transaksi ekonomi jauh lebih menarik di mata publik.

Berita negatif mempunyai energi yang lebih besar dari berita positif. Berita negatif seperti lubang hitam yang menarik semua benda, bahkan cahaya kejernihan pun tidak bisa lari dari tarikan kuat itu, semua sirna dalam berita negatif.

Kondisi seperti ini tidak baik untuk dunia pendidikan kita. Dunai pendidikan tidak mendapati suri tauladan yang nyata untuk diceritakan di hadapan kelas. Para siswa dan mahasiswa ditarik pada gerakan-gerakan popularitas dan pengulangan kepahlawanan semu. Kejernihan dan kejujuran dalam melihat keadaan dan bersikap obyektif menjadi barang langka.

Sangat sedikit, jika ada, kabar tentang mereka yang serius mencari ilmu, mengharapkan karir di masa depan, menempa diri untuk menghadapi era global yang bertambah kejam itu. Tetapi sekali lagi, berita negatif jauh lebih menarik daripada berita positif. Tidak ada berita berarti baik-baik saja. Ada celah berita negatif berarti peluang untuk bermanuver.

Banyak yang membutuhkan panggung, sekadar mencela dan melampiaskan kebencian. Bukankan media sosial kita sudah juara dalam hal ini? Komentar-komentar media sosial kita banyak memeperkeruh suasana dan tidak memberi ketenangan.

Kita membutuhkan moralitas dalam era demokrasi multi-partai ini. Semoga harapan itu tetap ada. Semoga kita menyadari adanya lobang hitam penuh grafitasi ini. Semoga kita segera menyadari pentingnya kesunyian, ketenangan, kediaman, dan kedalaman. Semoga kita segera menghindari riak, arus, dan ramai dalam kedangkalan.

| Penulis adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga.