Keseriusan Pemerintah Bangun Pembangkit Listrik Ramah Lingkungan

Ilustrasi
Ilustrasi

ADA dua isu besar berkaitan dengan perubahan iklim yang akan dibahas di G20 nanti. Yakni isu transisi energi dan deforestasi sebagai bagian tak terpisahkan usaha global menekan emisi. 

Sebagai Presidency G20, Indonesia harus memastikan kepeloporanya dalam isu ini. Masalah deforestasi di Indonesia adalah masalah paling kunci yang dipelototin oleh dunia. 

Bahkan Inggris memberikan gelar Indonesia sebagai "Climate Super Power", akan tetapi di satu sisi laju eksploitasi sumber daya alam yang tinggi mengakibatkan terjadinya kecepatan kerusakan hutan yang luar biasa. Di sisi lain hal ini tak bisa dihentikan karena sebagian besar sumber daya alam Indonesia ada di kawasan hutan.

Eksplotasi yang paling dahsyat saat ini adalah pengerukan batubara dan penebangan hutan bagi penanaman sawit. Dua sumber energi paling utama Indonesia. Ke depan sawit bahkan telah menjadi komponen pokok dalam energi BBM Indonesia karena menjadi bahan utama pencampuran solar hingga 100 persen biodisel.

Tapi tampaknya Indonesia tidak rela berkorban untuk menekan usaha penggalian batubara yang tahun 2022 ini telah ditarget 650 - 700 juta ton. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai eksportir batubara terbesar di dunia yang konon menikmati pendapatan ekspor ribuan triliun. Tapi uangnya entah kemana? 

Indonesia sepertinya juga tidak mau berkorban mengurangi penebangan hutan untuk tanaman sawit. Karena sawit merupakan salah satu sumber keuangan paling utama bersama batubara bagi  kekuasaan saat ini. Produk sawit juga disubsidi melalui minyak goreng dan program biodiesel andalan pemerintah Jokowi. 

Bahkan di dalam rencana energi nasional, batubara masih akan menjadi kontributor paling besar. Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum menunjukkan keseriusannya dalam menguranginya batubara sebagai sunber utana energi nasional selain untuk ekspor. Demikian juga halnya dengan sawit yang akan menjadi bahan bakar pengganti solar selain untuk diekspor. 

Kedua hal ini tidak akan pernah dikorbankan ditengah-tengah upaya global yang secara serius menjadikan isu climate change sebagai agenda utama setiqp negara. Karena mengorbankan ini akan membuat asam lambung penguasa naik.

Hal ini dapat dilihat dalam postur APBN 2022, dimana usaha memaksimalkan batubara sebagai sumber energi didukung oleh anggaran APBN, termasuk terus membangun pembangkit pembangkit batubara. Padahal saat ini kondisinya sudah over kapasitas. 

Bahkan pemerintah juga melakukan penjaminan dan bahkan penyertaan modal di BUMN untuk terus menggenjot pembangunan pembangkit batubara. Demikian kuga halnya dengan swasta Indonesia yang juga terus ditopang oleh bank untuk membangun pembangkit batubara. 

Padahal Perusahaan Listrik Negara (PLN) menghadapi masalah  oversupply listrik. Ini semakin menunjukkan jika bisnis listrik meruoakan bisnis yang dimiliki oligarki batubara. 

Sehingga dalam isu climate change tampak sekali pemerintah Indonesia hanya mau bagi bagi rezeki. Di mana pemerihtah langsung bergerak ke hilir dengan BUMN-BUMN melalui program elektrifikasi kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga. 

Program ini lebih memungkinkan untuk bagi bagi lapak diantara pengusaha nasional yang notabene sekarang komandannya adalah pengusaha batubara. Maka tidak bisa dipungkiri jika hal ini akan memperluas gurita hingga  importir mobil atau peralatan rumah tangga. 

Langkah ini akan lepas dari tujuannya mengurangi emisi akan tetapi mencapai tujuan yang lain yakni kemapanan bisnis oligarki. Padahal yang benar menurut alur kesepakan sejak COP 26 Glasgow dan Komitmen G20  adalah Indonesia bergerak ke hulu, membenahi pembangkit-pembangkit listrik ramah lingkungan. Misalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang tersebar di seluruh Indonesia, serta memaksimalkan usaha - usaha menjaga aliran sungai dan menjaga tutupan hutan. 

Jika ini dilakukan maka hutan seluruhnya haruslah dipulihkan bagi kelestarian PLTA tersebut secara inclusive. Dengan PLTA saja Indonesia sudah menang banyak, belum lagi jika seluruh potensi pembangkit ramah lingkungan yang lain. Seperti panas bumi, angin di maksimalkan sesuai kemampuan local content industri nasional. 

Karena sikap tak mau berkorban ini, di mana hanya mau bagi-bagi jatah diantara oligarki. Maka Indonesia sebagai G20 Presidency membuat dunia geli. Hal ini dikarenakan memgkamoamyekan mobil listrik impor yang sumber energinya 70 persen dari pembangkit batubara. 

Jadi bagaimana pula mau bicara transisi energi, jika sampai saat ini belum ada anggaran untuk transisi energi dan usaha deforestasi. Dua  isu ini juga tersedia anggarannya di APBN 2022.

| Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia.