Ketidakpastian Panjang Pandemi Covid-19

Ilustrasi: Etsy
Ilustrasi: Etsy

Apakah berbagai ledakan ulangan meroketnya kasus penularan Covid-19 di berbagai negara di dunia  menunjukkan pandemi ini akan mengulangi cerita flu Spanyol awal abad ke 20? Banyak ahli yang belum memberikan kata akhir tentang dugaan ini. Akan tetapi kenaikan kasus yang mendadak di  banyak negara di dunia telah memberikan bukti-bukti awal bahwa penurunan kasus penularan yang signifikan untuk kemudian terjadi lonjakan kembali adalah signal yang sangat patut diwaspadai. Memang awalnya di beberapa tempat, kemudian berkembang dengan sangat cepat dan marak.

Praktis sampai dengan hari ini, kecuali Cina, Vietnam, dan New Zealand, hampir seluruh dunia telah dan sedang mengalami gelombang pandemi yang berulang. Uniknya, sampai dengan hari ini belum ada kesimpulan yang solid apakah gelombang yang silih berganti itu akibat perilaku manusia, mutasi pandemi, atau kedua-duanya? Lihat saja angka-angka terakhir pandemi di negara-negara Eropah seperti Inggris dan Perancis yang meroket dan memaksa  otoritas untuk kembali menerapkan jurus keras lockdown.

Perkembangan pandemi dalam minggu terakhir menunjukkan terjadinya kecepatan penulatan yang tidak biasa dengan jumlah kasus baru global pada angka 845,412 kasus perhari pada tanggal 8 januari 2021. Lima negara besar India, Amerika Serikat, Brazil, Turki dan Perancis adalah lima penyumbang besar kasus baru global.

Perkembangan kecepatannya memang tidak persis sama. Amerika Serikat misalnya semakin menunjukkan grafik yang semakin mendatar. Sementara itu Brazil menunjukkan lonjakan kenaikan yang drastis, sementara  India, Turki, dan Perancis berada pada posisi diantara kedua negara itu.

Memang ada sedikit perbedaan terminologi di antara para ahli tentang kejadian perkembangan pandemi dalam kategorisasi gelombang. Sebagian mengatakan dunia sedang memasuki gelombang ke tiga pandemi Covid-19, sementara sebagian mengatakan dunia sedang mengalami gelombang kedua Covid-19 yang belum selesai. Yang satu menggunakan musim semi dan musim gugur 2020, dan musim semi 2021 sebagai gelombang pertama, kedua, dan ketiga. Sementara yang satu lagi menganggap gelombang kedua Covid-19 yang terus menaik semenjak musim gugur 2020 sampai dengan hari ini.

 Apa yang sedang terjadi saat ini, sesungguhnya lebih berkaitan dengan dua hal utama. Pertama, telah lahir sejumlah varians baru Covid-19 yang merfeleksikan proses  alamiah mutasi virus yang ditemukan di berbagai tempat di dunia dengan sifat penyebaran yang cepat dan lebih mematikan.

Bersamaan dengan itu, semenjak terjadinya penurunan kasus pada pertengahan  tahun, bahkan sampai dengan kuartal ketiga tahun 2020, banyak negara di dunia yang telah mengendurkan pengendalian pandemi. Prilaku kesehatan publik yang sebelumnya telah mulai bertransformasi kepada minimalisasi pandemi, tidak berlangsung lama.

Hampir di seluruh dunia, dengan pengecualian Cina, Vietnam, dan New Zealand, perilaku kesehatan publik pasca menurunya kasus penularan semenjak musim panas tahun lalu telah kembali, nyaris hampir sama dengan perilaku sebelumnya. Bersamaan  dengan itu telah terjadi pula kejadian reinfeksi, yakni kejadian penularan yang dialami oleh sebagian kecil anggota masyarakat yang telah menjalani vaksinasi.

Tidak hanya itu, ditemukan pula orang-orang yang pernah mengalami infeksi Covid-19 kemudian sembuh, namun tidak mempunyai kekebalan untuk berhadapan dengan serangan infeksi berikutnya. Telah ditemukan kasus-kasus yang jumahnya cukup memadai untuk sebuah kesimpulan bahwa vaksinasi itu penting, namun vaksinasi sampai dengan hari ini bukanlah segalanya.

Banyak ahli yang sepakat terlalu awal untuk memberikan vonis tentang pertanyaan efektivitas vaksin. Apalagi publik, khususnya publik nasional menjadi tergoncang ketika ada pemberitaan yang berbeda tentang efektivitas vaksin Sinovac Cina. Kasus terakhir misalnya menyebutkan laporan dari Brazil menyebutkan vaksin Sinovac kurang efektif, sementara Turki dan Chili menyatakan sebaliknya. Persoalannya menjadi lebih rumit ketika Cina melalui otoritas resminya mengakui bahwa  vaksin Sinovac memang lebih rendah daripada yang disangkakan sebelumnya.

Persoalannya hari ini sesungguhnya terletak pada adu balapan antara kecepatan mutasi virus, seperti yang telah terbukti dengan temuan vaksin yang mampu menghadapi bebagai perkembangan baru dari pandemi Covid-19. Kalau kita berkaca kepada fenomena balapan virus dengan upaya pengendalian manusia melalui vaksin yang ampuh, maka setidaknya diperlukan waktu yang relatif lama .

Itu artinya, proses membuat dan menjadikan  manusia berada jauh di depan virus dalam konteks balapan survival yang berakhir dengan pengendalian, masih memerlukan waktu, mungkin satu, dua, tiga, bahkan beberapa tahun. Sementara itu, sekalipun efektivitas vaksinnya belum sangat mamadai, pilihan yang ada saat ini hanya bertumpu pada dua hal, vaksin, dan perilaku kesehatan individu dan kesehatan publik.

Realitas yang ada hari ini menunjukkan masih sangat sedikit penduduk yang baru menjalani proses vaksinasi, dan itupun terkonsentrasi di negara-negara industri maju. Sampai dengan tanggal 14 April 2021 rekaman Universitas Oxford (2021) menunjukan bahwa pada tingkatan global vaksinasi telah dijalani oleh 841 juta penduduk, atau sekiar 11 orang per 100 penduduk bumi.

Secara geografis penyebaran vaksinasi itu sangat timpang dimana Amerika Utara-AS dan Kanada, dan benua Eropah berada pada liga papan atas dengan liga papan bawah adalah benua Afrika. Secara lebih spesifik laporan universitas Oxford (2021) itu juga menyebutkan rasio perseratus penduduk yang menjalani vaksinasi di bebagai belahan dunia sebagai berikut, AS dan Kanada 37, Europa 22, Amerika Selatan 13, Asia 8,3, Oceania 3,2, dan Afrika 1.

Apa arti dari angka-angka itu terhadap ancaman pandemi yang belum berakhir?. Seandainya dalam 6 bulan sampai dengan satu tahun kedepan populasi global belum mencapai vaksinasi secara mayoritas, maka kelompok negara berkembang dan negara miskin adalah populasi terbesar yang  mengalami peluang terbesar untuk berhadapan dengan  varian baru Covid-19 yang lebih cepat menyebar dan lebih  mematikan dari varian sebelumya.

Dalam konteks global, ketika hal itu terjadi, maka secara keseluruhan negara industri maju yang kaya, dan yang telah selesai dengan proses vaksinasinya juga dpastikan belum akan aman. Ini artinya adigium utama pengendalian pandemi yang menyebutkan seorangpun tidak akan aman dari pandemi, sampai semuanya aman dan terkendali sangat berpeluang akan terjadi.

Tanpa harus terkejut dengan apa yang sedang terjadi pada tingkat global, yang kini juga sedang berproses di tingkat nasional, Aceh harus kembali mengevaluasi secara cepat dan cermat terhadap capaian dan kelemahan yang telah dan sedang terjadi selama ini. Dengan melihat kepada berbagai perkembangan yang ada, terlihat bahwa semenjak tanggal 11 April terjadi konsistensi kenaikan kasus penularan perhari dengan jumah yang sangat signifikan.  

Kenaikan dari 7 kasus, lalu bertengger beberapa hari pada angka duapuluhan untuk kemudian melejit ke angka 40 pada tanggal 15 April sepertinya sinyal besar untukmencurigai perkembangan selanjutnya. Dengan melihat kepada kenaikan itu, ataupun pada grafik yang terus menerus fluktuatif, secara akal sehat dapatlah disimpulkan bahwa situasi pandemi di Aceh sama sekali belum pada taraf pengendalian yang semestinya. Oleh karenanya sebuah persiapan  yang solid untuk menghadapi skenario terburuk dari pandemi ini mesti dipersiapkan.

Pertama, sekalipun vaksin Sinovac telah melahirkan berbagai laporan kemanjuran yang berbeda, proses vaksinasi harus tetap berjalan dan perlu akselerasi yang kuat. Upaya harus berlanjut kecuali ada dampak yang sangat fatal terhadap kehidupan individu yang sejauh ini belum ada laporan. Kita tidak punya opsi lain dalam hal vaksinasi publik, kecuali menggunakan Sinovac walaupun tingkat keampuhannya relatif kurang dibandingkan dengan beberapa merek lain.

Kedua, perilaku kesehatan individu dan kesehatan publik yang pada bulan-bulan awal sudah mulai terbentuk, untuk kemudian menjadi lebih rileks dan bahkan menurun perlu diperkuat kembali. Pemerintah daerah pada berbagai tingkatan masih sangat perlu secara terus menerus menerapkan upaya pengendalian secara lebih intense dan sistematis.

Sejumah protokol Covid-19 yang kini sudah mulai banyak ditinggalkan sudah selayaknya dikomunikasikan dengan berbagai pemangku kepentingan untuk memaksimalkan pengendalian, sehinga variabel mutasi virus misalnya, tidak akan berjalan beriringan dengan perilaku kesehatan publik yang abai dengan berbagai kebiasan protokol yang seharusnya.  

Ketiga, kemungkinan situasi terburuk dari Covid-19 dengan berbagai kemungkinan, seperti kecepatan penyebaran, pergeseran kelompok umur, dan tingkat morbiditas, dapat saja semuanya menjadi lebif serius dan fatal. Pertanyaannya sekarang, kalau itu terjadi secara tiba-tiba dan massal, apakah daerah ini sudah sangat siap? Ini artinya skenario terburuk perkembangan Covid tetap saja mesti diperhitungkan dan dipersiapkan sejumlah langkah-langkah untuk mengatasinya.

| Penulis adalah sosiolog dan guru besar fakultas pertanian Universitas Syiah Kuala