Ketika Pembajakan Menjadi Industri

Ilustrasi. Foto: net
Ilustrasi. Foto: net

WORK From Home di era pandemi virus corona ternyata memberikan efek sangat signifikan.

Berdasarkan data dari Analytics Firm Muso, streaming ilegal untuk film saja, di era Covid-19 justru meningkat hingga 33 persen (1). Semakin perlunya hiburan di era Covid-19 dan ekonomi yang merosot ikut  mendorong publik luas mencari film yang bisa ditonton gratis, walau dengan cara pembajakan.

Kerugian yang diakibatkan oleh maraknya pelanggaran copy rights untuk streaming sungguh mencolok. Hanya di Amerika Serikat saja, kerugian per tahunnya mencapai 30 billions dolar AS. Itu setara dengan 420 triliun rupiah (2).

Jika diperluas termasuk di dunia non-streaming, kerugian akibat pembajakan di era digital pertahunnya mencapai 229 billions dolar AS. Itu setara dengan sekitar 3.200 trilyun rupiah.

Pembajakan ini merugikan secara langsung bagi 2,6 juta penduduk Amerika Serikat yang bekerja di dunia kreatif industri.

Sejak tahun 2011, para aktivis copy rights dibantu ahli hukum sudah mengajukan pengesahan UU melawan ini. Antara lain: Protect Property Act (PPA) dan Stop Online Piracy Act (SOPA).

Kini 10 tahun sudah proses legalisasi itu dijalankan, tapi belum kunjung berujung pada hasil memuaskan. Penyebabnya justru begitu banyak publik luas merasa diuntungkan dengan kemudahan pembajakan di era digital ini.

Inilah ironi kisah pembajakan. Para kreator justru berhadapan dengan publik luas. Lebih ironi lagi jika politisi dan aparat hukum bersikap pasif saja.

***

Indonesia mengalami kompleksitas pembajakan di era digital yang serupa. Bisa kita baca data yang disampaikan IKAPI, hanya untuk dunia perbukuan.

Di tahun 2019, IKAPI menerima laporan tentang pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit. Nilai potensi kerugian hanya dari 11 penerbit akibat pelanggaran hak cipta mencapai angka Rp 116,050 miliar. (3)

Data yang dikumpulkan, dari buku yang beredar, sebanyak 54,2 persen penerbit menemukan buku produksi mereka dibajak. Para pembajak itu bahkan melenggang menjualnya secara online.

Penerbit asli tak akan mampu bersaing dengan pembajak. Di samping pandai mengemas produk bajakan itu, mereka pun berani menjualnya kurang dari separuh harga resmi.

Kesulitan permanen dari kultur pembajakan ini, apalagi di Indonesia, karena publik luas memang merasa diuntungkan. Sementara UU yang ada menjadikan kasus pembajakan ini hanya delik aduan.

Aparatur hukum hanya bertindak jika ada aduan. Perusahaan online yang ikut menyediakan lapak bagi pelaku bajakan hanya diwajibkan menghapus lapak itu dari platform mereka, jika terbukti itu memang karya bajakan.

***

Di era konvensional ataupun digital berlaku prinsip yang sama. Mereka yang berkarya secara kreatif perlu dilindungi. Mereka berhak memperoleh reward ekonomi dari hasil karya mereka.

Harus ada badan dan lembaga yang bekerja untuk melindungi kerja kreatif warga negara dari pembajakan.

Sejak hari pertama saya dipilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Persatuan Penulis Satu Pena dan Himpunan Penulis Hati Pena, isu pembajakan menjadi perhatian utama.

Dalam 7 Program Unggulan yang saya canangkan, puncaknya membentuk Tim Kerja yang khusus dan fokus. Tim ini hanya berupaya sebisanya ikut menciptakan iklim penulis yang sehat dari persoalan pembajakan, royalti, dan pajak.

Demikianlah Tim Kerja ini dibentuk.

TIM KERJA 7: Tim untuk Ekosistem yang Sehat bagi Penulis

A. Tujuan:  

Mengidentifikasi masalah yang berhubungan dengan pembajakan, royalti, pajak, dan kerjasama dengan badan lain, untuk melakukan kegiatan menciptakan dunia penulis di Indonesia yang kondusif.

B. Personel

1. Penanggung Jawab: Dr. Cita Citrawinda Noerhadi, SH, MIP

(Berpengalaman dalam hukum kekayaan intelektual secara akademik ataupun kerja nyata)

2. Koordinator harian: Aji Sulaeman

(Latar belakang hukum dan banyak mengkaji dunia digital)

3. Tim diskusi dan referensi

Ini tim yang diajak berdiskusi tentang kebijakan yang akan kita ambil: Chappy Hakim, Bachtiar Aly, Azyumardi Azra, Didin S Damanhuri, Ilham Bintang, Wina Armada, Manuel Kaisiepo, Nasir Tamara.

C. Kisi kisi

Produk yang diharap

1.  Membuat narasi persoalan (Academic Paper): bagaimana tepatnya aturan soal pembajakan, pajak penulis, dan royalti penulis dalam UU dan aturan hukum kita, dan praktik bisnis penerbitan.

2. What next: menentukan bentuk kebijakan yang ingin kita ubah yang realistik bisa dicapai (perubahan bertahap hingga ideal).

3. MoU kerjasama.

Setelah jelas apa yang ingin kita ubah dan realistik tercapai, kita buat semacam kerjasama lembaga civil society (stakeholders) yang berkepentingan dengan isu itu (pembajakan, pajak penulis, royalti)

Misalnya dengan IKAPI, dengan asosiasi lawyer yang menangani copy rights, dsb.

Produk: MoU kesepakatan yang ditandatangani. Satupena-Hati Pena menjadi salah satu penandatangannya.

4. Konferensi Pers sikap bersama:

MoU itu diumumkan ke publik agar mendapat simpati dan dukungan yang meluas.

5. Jumpa Menteri dan lembaga pemerintah terkait.

Jika perubahannya ada di tangan menteri (Mendikbud, Menkeu, Menkoinfo, dll), audiensi dan lobi kita lakukan. Pertemuan itu juga di konferensi-perskan agar menjadi catatan publik.

6. Jika diperlukan: jumpa DPR (hanya untuk perubahan UU).

Ini juga dikonferensi-perskan untuk memperkuat tekanan publik.

7. Kampanye publik.

Yang akan kita ubah mulai kita kampanyekan dengan berbagai salurannya.

Dengan 7 produk di atas, Tim Kerja 7 sudah terasa kontribusinya berikhtiar melakukan perbaikan ekosistem penulis.

Ini yang digariskan pula oleh Dr. Cita Citrawinda Noerhadi, yang menjadi penanggung jawab Tim Kerja 7 ini. Menurut Cita:

“Pelanggaran Hak Cipta karya tulis di Indonesia masih marak terjadi dan bahkan semakin masif. Pelanggaran Hak Cipta berupa penggandaan buku sangat merugikan pencipta/penulis dan pemegang Hak Cipta serta mengganggu ekosistem Penulis.”

***

Perkembangan teknologi kini justru memudahkan kerja pembajakan. Bahkan skala pembajakan itu di era digital bisa berkembang semakin massif.

Persatuan penulis dilahirkan untuk berdiri pada prinsip yang benar. Sekecil apapun, gerakan dan program melawan pembajakan harus dicanangkan.

Kita menyadari, ini bukanlah kerja sprint 100 meter. Ini lari marathon yang perlu stamina panjang. Tapi kepak sayap pertama tetap harus dimulai.

| Penulis adalah Ketua Umum Persatuan Penulis Satu Pena dan Himpunan Penulis Hati Pena