Ketimpangan Antara PTN dan PTS

Ilustrasi: Baltic.
Ilustrasi: Baltic.

KESENJANGAN yang terjadi antara Perguruan Tinggi Negeri  (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) semakin menjadi-jadi belakangan ini. Ketimpangan terjadi mulai dari kualitas pendidikan, sarana dan prasarana, jumlah mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan dan sebagainya.

Memang ada di beberapa tempat PTS yang berkualitas baik sehingga sejajar dengan PTN unggulan namun ini jumlahnya sangat sedikit dan bukan hal yang umum. PTS yang sudah berdiri puluhan tahun pun banyak yang tidak mampu mengejar ketertinggalan dari PTN secara umum.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi telah disusun aturan yang sangat bagus dalam tata kelola perguruan tinggi baik PTN maupun PTS. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengaturan keduanya.

Pendirian dan pengelolaan PTN dan PTS saja yang berbeda namun semua hal-hal lain dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan memberikan kesempatan belajar kepada anak bangsa sama saja. Jadi sudah sewajarnya mutu PTN dan PTS kian hari kian sejajar, bukan sebaliknya seperti sekarang ini.

Coba kita lihat beberapa pasal dari UU No. 12 tahun 2012, yaitu Pasal 83 yang berbunyi (1) Pemerintah menyediakan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kemudian (2) Pemerintah Daerah dapat memberikan dukungan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Selanjutnya Pasal 89 yang berbunyi (1) Dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dialokasikan untuk:

PTN, sebagai biaya operasional, Dosen dan tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan; PTS, sebagai bantuan tunjangan profesi dosen, tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan pengembangan; dan  c. Mahasiswa, sebagai dukungan biaya untuk mengikuti Pendidikan Tinggi.

Kemudian pada poin selanjutnya disebut ; (5) Pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional PTN dari anggaran fungsi Pendidikan, (6) Pemerintah mengalokasikan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari dana sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk dana Penelitian di PTN dan PTS. Tidak ada hal yang jauh berbeda dalam pasal tersebut. PTN dan PTS mendapat bantuan anggaran dari Pemerintah. Berikut analisis situasi PTN dan PTS yang saat ini sedang terjadi di Indonesia.

Pendanaan dan Kualitas

Tetapi faktanya perlakukan oleh pemerintah sangat timpang  kepada PTN dan PTS. Pemerintah kurang memberikan bantuan dan fasilias kepada PTS sehingga banyak PTS yang susah payah menghidupi dirinya sendiri. PTN para dosen dan tenaga kependidikan digaji oleh pemerintah, kemudian diberikan bantuan untuk pengadaan prasarana dan sarana seperti gedung dan peralatan laboratorium. Sehingga lama kelamaan mutu pendidikan di PTN bisa terdongkrak dengan sendirinya. Kualitas yang meningkat berimplikasi kepada semakin banyaknya calon mahasiswa yang mendaftar ke PTN. Secara umum muncul asumsi bahwa PTN lebih bagus daripada PTS.

PTS harus menggaji dosen dan staf pendidikannya dari dana sendiri. PTS harus menyediakan bangunan dan peralatan laboratorium sendiri dengan menggunakan dana yang berasal dari mahasiswa. Bantuan dari pemerintah memang ada namun sangat minim dan bersifat sporadis.

Lama kelamaan PTS tidak sanggup mengangkat kualitas dirinya karena beban yang begitu besar ditambah lagi dengan karakter sebagian pengelola PTS yang buruk. Kualitas yang tak kunjung membaik ini berimplikasi dari semakin sedikitnya mahasiswa yang mendaftar kemudian menyebabkan keuangan pengelolaan PTS semkain memburuk. Hal lain yang terlanjut menjadi stereotype adalah PTS sama dengan kualitas yang buruk. Semakin enggan calon mahasiswa mendaftar kecuali mereka memang tidak punya pilihan lain.

PTN Semakin Banyak Membuka Program Studi

Program Studi yang semakin banyak dibuka oleh PTN mau tidak mau semakin menyedot calon mahasiswa. Kompetisi untuk mendapatkan mahasiswa semakin ketat namun PTN dengan jaringan penerimaan mahasiswa baru yang luas, jauh lebih mudah mendapatkan mahasiswa. Ditambah PTN yang dalam lima tahun belakangan ini gencar merekrut mahasiswa dengan membuka beragam jalur penerimaan, di luar seleksi regular. Prodi yang baru dibuka di PTN ini mudah mendapatkan dosen pengajar karena banyak dosen-dosen yang lebih memilih mengajar di PTN dengan harapan karir yang lebih baik.

Sebaliknya PTS semakin sulit mendapatkan mahasiswa dan harus lebih gencar melakukan promosi. Promosi ini membutuhkan biaya karena dilakukan secara mandiri sehingga banyak pengelola PTS kewalahan atau semampunya melakukan promosi. Dampaknya mahasiswa yang terjaring minim, itupun calon mahasiswa yang tidak  tertampung di PTN ataupun calon mahasiswa tersebut punya tujuan lain. Kalau dahulu PTS bersaing dengan PTS maka sekarang PTS juga bersaing dengan PTN. Daya tampung PTN semakin besar, “sisa” mahasiswa yang ditarget oleh PTS semakin kecil. Citra PTS pun semakin memburuk.

Standarisasi Yang Tidak Adil

Standarisasi adalah baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun standarisasi hendaknya dilakukan secara adil “apple to apple”. Artinya jika pemerintah telah memberikan bantuan kepada PTN dan PTS secara berkeadilan maka kedua pihak juga layak mendapat standarisasi dengan memakai parameter yang sama.

Artinya kepada PTN diberikan pendanaan dan fasilitas yang memadai, sementara PTS tidak mendapat fasilitas yang memadai namun keduanya disandingkan untuk mendapat standarisasi dengan parameter yang sama.Lagi-lagi hal ini dilakukan semakin memperburuk citra PTS karena dalam standarisasi atau lebih dikenal akreditasi, banyak Prodi PTS mendapat nilai  C. Ini bisa dimaklumi mengingat PTS tidak sanggup menyediakan fasilitas belajar mengajar secara mandiri. Implikasinya nilai C ini semakin membuat sedikit calon mahasiswa mendaftar ke PTS. Apalagi sekarang sejumlah perusahaan, instansi atau user mensyaratkan akreditasi lulusan perguruan tinggi minimal B untuk calon pekerjanya. Semakin terpuruk lah PTS.

Dari segi kualitas dosen PTN dan PTS sekarang tidak berbeda karena dosen-dosen di kedua tempat ini mendapat kesempatan yang sama menempuh pendidikan dengan beasiswa pemerintah. Namun sekali lagi, yang membuat perbedaan jauh adalah sarana dan prasarana kampus.

PTS yang bertebaran di seluruh pelosok Indonesia telah menciptakan lapangan pekerjaan yang sangat banyak bagi masyarakat. Ada ribuan dosen, tenaga kependidikan dan staf lain yang bekerja pada PTS. Tidak itu saja, ada ribuan masyarakat lain yang bergantung hidupnya dari keberadaan PTS seperti usaha kost, penjual makanan, usaha rental dan foto kopi dan sebagainya. Ini bukan jumlah yang kecil tapi jumlah yang sangat besar yang harus dijaga ekosistemnya agar semua masyarakat dapat menerima manfaat dari keberadaan PTS dan PTN secara berkelanjutan.

Insya Allah, jika PTS diberikan fasilitas yang sama atau tidak terlalu berbeda dengan PTN, maka kualitas keduanya dapat disetarakan. Ketika hal itu sudah terjadi maka seleksi alam lah yang berbicara. PTS yang tidak berkualitas harus segera ditutup dan digantikan dengan PTS lain yang berkualitas.

| Ketua Prodi Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah.