KIP Perintahkan DJKN Buka Daftar Aset Bekas PT Arun dan Exxon Mobil

Aset PT Arun di Lhokseumawe. Foto: net.
Aset PT Arun di Lhokseumawe. Foto: net.

Komisi Informasi Pusat (KIP) memerintahkan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan mengungkapkan kepada publik daftar aset bergerak dan tidak bergerak bekas PT Exxon Mobil di Aceh dan PT Arun LNG/LGN. Aset ini berpindah tangan kepada Dirjen Kekayaan Negara melalui Lembaga Management Aset Negara.


Semua informasi itu, awalnya, masuk dalam kategori ditutup-tutupi. Namun KIP menegaskan bahwa  informasi itu bersifat terbuka, kecuali informasi yang berkaitan dengan aset vital milik negara. Perintah ini tertuang dalam putusan KIP terkait gugatan sengketa informasi yang dilayangkan Jaringan Advokasi Rakyat Indonesia (JARI) terhadap Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan dalam sidang yang digelar Kamis pekan lalu.

"...Memerintahkan termohon untuk memberikan informasi sebagaimana dimaksud dalam paragraf [6.2] kepada pemohon setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap," ucap Ketua Majelis Arif Adi Kuswardono dalam keterangan tertulis yang diterima Kantor Berita RMOLAceh, Selasa, 9 Maret 2021.

Gugatan ini diajukan oleh Ketua JARI, Safaruddin. Dia juga meminta agar negara membuka daftar harga sewa aset bergerak dan tidak bergerak bekas PT Exxon mobil dan PT Arun LNG, laporan keuangan penggunaan hasil dari daftar aset bergerak dan tidak bergerak bekas PT Exxon Mobil di Aceh dan PT Arun yang diserahkan kepada Dirjen Kekayaan Negara melalui Lembaga Managemen Aset Negara.

Karena ditolak oleh DJKN, JARI memutuskan untuk mengajukan hal ini sebagia sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat pada 2020 lalu.

Menurut Safaruddin, JARI ingin mendapatkan daftar aset tersebut sebagai wujud transparansi dalam pengelolaan aset negara, terutama pada aset bekas dari PT Arun LNG dan Exxon Mobil di Aceh yang telah di serahkan kepada negara dan dikelola oleh DJKN.

"Ini penting untuk diketahui oleh masyarakat Aceh. Karena aset tersebut dibeli dari hasil bumi yang ada di Aceh," kata Safaruddin.

Langkah ini juga diambil agar agar asset tersebut dikelola secara transparan dan digunakan untuk meningkatkan nilai kesejahteraan masyarakat Aceh. Selama ini, kata Safaruddin, publik tidak tahu apa saja aset dan keuntungan yang didapat dari aset tersebut. 

Jika sebuah aset telah dijual, misalnya, uang hasil penjualan itu harus diungkapkan kepada publik. Demikian pula jika aset itu disewakan, uang yang didapat dari penyewaan itu harus pula disampaikan kepada publik. 

Jangan sampai aset yang dibeli dari kandungan bumi Aceh, hasilnya tidak bisa dinikmati oleh masyarakat Aceh," kata Safaruddin.