Kisah Junaini, Melawan Kanker Demi Menemani Masa Tua Ibunda

Junaini, penyintas kanker saat sedang beristirahat setelah menjalani kemoterapi. Foto: Helena Sari/RMOLAceh. 
Junaini, penyintas kanker saat sedang beristirahat setelah menjalani kemoterapi. Foto: Helena Sari/RMOLAceh. 

Suasana rumah Singgah Blood For Life Foundation (BFLF) pagi ini terlihat ramai,  beberapa orang penghuni terlihat sedang sibuk di dapur memasak sebagian lainnya bercengkrama. Diantara beberapa penghuni tampak seorang wanita sedang fokus memilih-milih obat-obatan yang ingin diminum.


Wanita tersebut bernama Junaini. Dengan tangan sudah tampak keriput termakan usia dan berat badan yang semakin turun, ia lalu meneguk obat obatan itu bersama air putih hangat.

Junaini merupakan pasien penderita kanker payudara stadium akhir. Wanita asal Gampong Buket Panjang, Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang tersebut sudah sejak 2017 silam tinggal di rumah singgah yang berada di Gampong Laksana, Kuta Alam, Banda Aceh. 

Protokol kemoterapi (pengobatan) kanker menyebabkan Junaini harus bolak-balik dari kampungnya ke Rumah Sakit Umum Dokter Zainoel Abidin (RSUDZA) dengan didampingi ibu kandungnya bernama Fatimah (70), sampai akhirnya dia mendapatkan tempat istirahat menginap di BFLF.

“Hari ini Ibu saya tidak ikut mendampingi, biarlah ia dirumah saja. Sayang juga perjalanan dari sana kemari jauh sekali, Ibu sudah tua. Saya pun, Alhamdulillah sudah ada kemajuan dalam pengobatan,” kata Junaini saat ditemui wartawan Kantor Berita RMOLAceh di Rumah singgah BFLF, Sabtu 4 Februari 2023.

Kepada RMOLAceh, Junaini  menunjukkan beberapa berkas rahasia milik rumah sakit tentang proses pengobatan yang dijalaninya, baginya perjuangan sejak dirinya mulai sakit 5 tahun lalu, sungguh luar biasa. Dari yang awalnya bahkan duduk serta bernafas pun harus dipapah oleh sang ibu, hingga saat ini bisa berobat ke Banda Aceh sendirian.

“Semua penyintas seperti kami pasti punya tujuan yang sama, yaitu ingin sembuh dan kembali menjalani hidup seperti dulu lagi,” kata Junaini dengan nada suara lemah lembutnya.

Menurut Junaini semangatnya untuk sembuh semata-mata hanya untuk menemani masa tua sang Ibu.

Penyakit kanker payudara yang diderita Junaini berawal pada tahun 2017 silam atau lima tahun lalu. Saat itu dirinya sedang mengerjakan sholat fardhu. Tepat saat ingin sujud ia merasa seperti ada kejanggalan pada bagian dada, kemudian perlahan tubuhnya melemah dan tidak bisa digerakkan sedikitpun. 

“Saya kira badan berangin, saya memaksa sujud tapi badan sudah tak sanggup. Saat itu juga saya sudah terbaring di lantai, meski suara udah sanggup lagi, saya memaksa diri memanggil orang di rumah untuk minta tolong,” ujar Junaini membuka kisah lamanya.

Dalam kondisi lemah, Junaini dihampiri oleh Ibunya. Melihat kondisi anaknya, sang ibu menjadi sangat panik. Kesadaran menurun dan nafas sudah tak karuan. Junaini kemudian langsung dilarikan ke rumah sakit setempat.

“Saat itu, sepengetahuan saya, Ibu langsung membawa saya ke rumah sakit, dibantu oleh para tetangga yang masih sanak saudara juga,” ujar Junaini.

Saat tiba di rumah sakit, tubuh Junaini tidak lagi mau bergerak, kakinya sudah tidak bisa berjalan lagi. Junaini akhirnya diagnosa menderita malignant neoplasm of breast, unspecified atau kanker payudara.

“Penyakit Ibu sudah melebar sampai ke tulang,” kata Junaini menirukan ucapan dokter.

Mendengar itu, sang ibu langsung memeluk Junaini. Sembari menangis Junaidi hanya mampu memikirkan bagaimana caranya untuk ikhlas menerima kenyataan tanpa membenci keadaan.

“Menghadapi kenyataan, siapapun tidak mudah untuk menerima, saya akhirnya dirujuk ke RSUDZA, Ibu selalu mendampingi saya,” ujarnya.

Selama di RSUDZA, Junaini menjalani kemoterapi dengan penuh kesabaran, efek kemo yang terkadang membakar kulit hingga membuat seluruh bulu di badan rontok tidak membuatnya pasrah.

“Setiap keluar jadwal untuk kemoterapi, Ibu selalu menyemangati saya, padahal sudah tua tapi semangatnya mengalahkan saya,” ujar Junaini dengan mata sedikit berkaca mengenang perjuangan awal-awal saat dirinya dinyatakan sebagai penyintas kanker.

Bagi Junaini, berjuang untuk sembuh merupakan prioritas, sebab dirinya ingin membalas jasa orang tua. Belasan proses kemoterapi sudah dijalani, kini Junaini sudah bisa berjalan sendiri meski secara perlahan.

“Saya sudah menikah, dulu Allah menitipkan amanah pada rahim saya namun ternyata Allah punya rencana lain, sungguh Allah menguji siapapun sesuai mampunya hamba,” kata Junaini, suaranya terdengar lemah namun mengandung kekuatan luar biasa.

Kini, meski belum dinyatakan sembuh total, Junaini sudah bisa menjalani hidup lebih baik. Semangatnya bertambah.

Kebaikan hati pihak rumah singgah BFLF membuat terbantu selama menjalani kemoterapi. Sebelumnya penghasilan dari berdagang di kios kecil, habis untuk transportasi dan biaya makan selama berobat. Kekhawatiran akan proses berobat yang belum usai membuat Junaini kesusahan. 

“Saya cari informasi, taunya ada rumah singgah BFLF ini, yang bisa menampung saya dengan ibu gratis. Kami juga dapat makan, malah ibu bisa bebas masak sendiri kalau rindu dengan masakan khas daerah kami yang ngak dijual di Banda. Kalau saya ingat-ingat tentang BFLF saya merasa menjadi orang beruntung, meski sakit saya nggak tanggung-tanggung,” kata Junaini.

Junaini berharap, pada peringatan Hari kanker Sedunia ini, masyarakat dapat meningkatkan kesadaran akan penyakit kanker dan gejalanya. Tidak pantang menyerah dalam berobat dan selalu memprioritaskan kemoterapi.

“Kita harus bekerjasama untuk mencegah apa yang tidak diinginkan, semoga pemerintah selalu memperhatikan kami para penyintas kanker,” ujarnya.