Kisah Sepatu Kickers Firli Bahuri

Firli Bahuri. Foto: net.
Firli Bahuri. Foto: net.

Mata Firli Bahuri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, berkaca-kaca saat bercerita tentang sepasang sepatu yang sempat dia kenakan, hanya beberapa jam, saat bersekolah dulu. Sepatu bekas merek Kickers itu dia temukan dan ambil dari tong sampah di sekolahnya. 


Firli Bahuri menceritakan kepada penjaga sekolah tentang “penemuan” itu. Si penjaga sekolah berkata, “Jika di tempat sampah, berarti sudah dibuang pemiliknya.”

Dengan perasaan senang dia membawa sepatu itu pulang ke rumah. Membersihkan sepatu itu dan memperbaiki bagian-bagian sepatu yang rusak. Setelah sempurna, keesokan hari, sepatu itu dia pakai ke sekolah.

Setibanya di sekolah, seorang siswa mendatanginya. Siswa itu berkata bahwa sepatu yang dipakai Firli Bahuri adalah sepatunya. Firli Bahuri melihat sepatu itu untuk terakhir kali dan menyerahkan kepada siswa tersebut. 

“Saya ikhlas,” kata Firli Bahuri saat berbicara pada forum "Indonesia 3rd ICEP Annual Conference (IAC) 2021" yang diselenggarakan secara virtual, Sabtu, 4 Desember 2021. “Saya kenakan kembali sepatu merek BM 2000 list biru saya yang beberapa kali jebol, namun masih layak pakai setelah saya perbaiki.” 

Masa kecil Firli Bahuri tidak semudah anak-anak lain. Dia adalah bungsu dari enam bersaudara. Masa kecil dihabiskannya di gubuk sederhana di Dusun Lontar, Kecamatan Muara Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Perlu waktu sekitar enam dari Palembang, lewat jalur darat, untuk sampai ke sana. 

Pada usia enam tahun, ayah Firli Bahuri meninggal dunia. Ibunya lah yang berjuang keras untuk menghidupi keluarga ini. Firli Bahuri melukiskan sosok sang ibu sebagai wanita yang santun, teduh dan menyejukkan hati anak-anaknya, lazimnya sosok seorang ibu. 

“Tetap kami rasakan dan rindukan selalu, hingga saat ini," cerita Firli Bahuri.

Sang ibu, kata Firli Bahuri, berusaha agar masa depan anak-anaknya lebih baik, meski harus mengorbankan kebahagiaan yang mungkin bisa dia dapatkan sepeninggalan sang suami. 

Sang ibu memastikan seluruh anak-anaknya terdidik dan dididik dalam lingkungan yang kental dengan agama dan nilai-nilai perjuangan hidup. Firli Bahuri mengatakan pendidikan sang ibu membentuk karakternya untuk senantiasa berperilaku jujur, sederhana dan menjadi pekerja keras.

Sejak duduk di sekolah dasar, Firli Bahuri tak pernah meminta uang jajan. Dia juga tidak merecoki ibunya untuk membeli mainan seperti anak-anak lain. Untuk memiliki sepeda, Firli Bahuri hanya mampu membeli sebuah sepeda bekas dengan uang hasil menyadap karet dan memetik cabai selama dua bulan.

Saat SMP, Firli terbiasa berjalan kaki sejauh 16 kilometer pulang-pergi dari rumah ke SMP Bhakti Pengandonan OKU. Dalam perjalanan, Firli Bahuri lebih senang menundukkan kepala, menatap langkah kaki agar perjalanan tak terasa jauh dan melelahkan. “Tahu-tahu sudah sampai rumah.”

Terkadang, Firli Bahuri membonceng sepeda seorang polisi yang sering membantu warga desa untuk memperbaiki jembatan atau jalan yang rusak. Polisi itu juga kerap melerai keributan di kampung saat ada hajatan. Setiba di rumah, usai beristirahat, Firli Bahuri bergegas menuju kebun untuk membantu sang ibu.

Selama menempuh pendidikan di SMA 3 Palembang, Firli Bahuri tidak pernah mengganti seragamnya selama tiga tahun. 

"Ini kebetulan ada sahabat saya di SMA 3 Palembang, Bapak Eddy Iskandar. Silakan tanya Pak Eddy, saya tidak pernah ganti seragam selama tiga tahun," ujar Firli Bahuri. Pak Eddy yang dimaksud adalah Eddy Iskandar, pendiri EFT Center Indonesia, yang menjadi penyelenggara kegiatan ini.

Firli Bahuri melakukan banyak hal untuk bertahan saat muda. Dia kerap pergi ke Pasar Cinde untuk membeli spidol seharga Rp 25. Lantas spidol itu dia jual kembali dengan harga Rp 50 di Taman Ria Sriwijaya.

Ada kala Firli Bahuri menjadi tukang cuci mobil atau penjual kue untuk membiayai sekolah dan hidup di Kota Palembang. Dia juga lebih suka beristirahat sambil menyantap bekal di kelas lalu beranjak ke musala sekolah untuk salat dan berdiskusi dengan guru yang dia jumpai di sana.

Usai salat, Firli Bahuri mengisi waktu di perpustakaan. Melahap buku-buku yang dia suka. Firli Bahuri mengaku betah berlama-lama di perpustakaan sekolah. Di sana, dia mendapatkan ilmu dan pengetahuan lebih dari sekadar buku bacaan di kelas.