Koalisi Jokowi-Makruf Hanya Butuh Tiga Kursi DPD untuk Amandemen Konstitusi RI

Pertemuan Presiden Joko Widodo dan sejumlah pemimpin partai politik Tanah Air di Istana Negara. Foto: dok setneg.
Pertemuan Presiden Joko Widodo dan sejumlah pemimpin partai politik Tanah Air di Istana Negara. Foto: dok setneg.

Keberadaan Partai Amanat Nasional dalam koalisi Joko Widodo-Maruf Amin di hadapan elite partai koalisi mengindikasikan banyak hal. Salah satunya, dikaitkan dengan isu mengamandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Wasekjen DPP Partai Demokrat, Jansen Sitindaon mengurai bahwa kehadiran PAN membuat koalisi pemerintah menjadi sangat tambun dengan hanya menyisakan Demokrat dan PKS di luar lingkaran kekuasaan.

Artinya, 82 persen suara di DPR dikuasai, yang jika dikonversi sama dengan 471 kursi DPR. Artinya lagi, untuk bisa mengubah konstitusi pemerintah hanya butuh 3 kursi DPD RI.

Dengan tambahan itu, suara menjadi 474 atau 2/3 dari total kursi MPR RI yang berjumlah 711 kursi.

“Jadi cukup tambahan 3 kursi DPD lagi, mau mengubah isi konstitusi yang manapun pasti lolos. Termasuk perpanjangan masa jabatan dan 3 periode,” ujar Jansen Sitindaon seperti dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL, Jumat, 27 Agustus 2021.

Jansen mengingatkan bahwa masa jabatan presiden 2 periode adalah hasil koreksi masyarakat atas masa lalu. Di mana para perumusnya masih banyak yang hidup.

“Jika ditelusuri sejarah pembahasan dan perubahan Pasal 7 UUD ini, tidak ada satupun fraksi/partai ketika itu yang menolak. Semua sepakat termasuk fraksi TNI/Polri,” kata Jensen.

Dalam sejarah ketatanegaraan di dunia, terbukti dalam banyak praktik termasuk di Indonesia habitusnya, semakin lama seorang berkuasa akan semakin sewenang-wenang.

Itu makanya, kata Jansen, pengawasan yang paling efektif bukan dengan check and balances, tapi dengan membatasi masa jabatan itu sendiri.

Dia mengingatkan bahwa saat ini belum ada urgensi UUD diamandemen. Sebab fungsi konstitusi adalah untuk tujuan jangka panjang bangsa.

“Bukan jangka pendek demi melanggengkan kekuasaan semata. Jika ini terjadi, kita bukan hanya mematikan semangat reformasi, tapi kembali ke zaman “kegelapan demokrasi”,” tekannya.

Jansen mengatakan jika amandemen terhadap perpanjangan dan/atau penambahan masa jabatan presiden ini dilakukan, sebagai politikus dan warga negara, dia akan berkeras untuk menolak rencana tersebut.

"Saya tidak ingin tercatat dalam lembar sejarah jadi bagian kembalinya zaman kegelapan demokrasi di Indonesia,” kata Jansen.