Kolonialisme Digital

Scroll.in
Scroll.in

PROGRAM “Literasi Digital Nasional” diluncurkan menandai peringatan “Hari Kebangkitan Nasional” tahun 2021, Kamis 20 Mei 2021.

“Saya harap gerakan ini menggelinding dan terus membesar, bisa mendorong berbagai inisiatif di tempat lain, melakukan kerja-kerja konkret di tengah masyarakat agar makin cakap memanfaatkan internet untuk kegiatan edukatif dan produktif,” kata Presiden Jokowi melalui sambutan virtual, sambil merinci barisan “musuh” bangsa yang harus diperangi lewat maraknya konten-konten negatif dan eskalasi kejahatan di ruang digital seperti: hoaks, penipuan daring, perjudian, eksploitasi seksual pada anak, perundungan siber, ujaran kebencian, dan radikalisme berbasis digital.

Mengutip sejarah, Hari Kebangkitan Nasional 113 tahun yang lalu pada 20 Mei 1908, dipelopori Dr Wahidin Soedirohoesodo bersama tiga mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) mendirikan organisasi Boedi Oetamo, ketiga mahasiswa itu adalah Soetomo, Gunawan Mangunkusumo, dan Suraji yang telah lama mengagumi dr Wahidin melalui majalah Retno Dumilak.

Embrio pergerakan perjuangan menjadi bangsa itu, berlanjut dengan peristiwa “Hari Soempah Pemoeda” 28 Oktober 1928 dan mencapai puncaknya  pada “Hari Proklamasi Kemerdekaan RI-17 Agustus 1945”.

Jejak rangkaian narasi “kebangkitan” nasional itu, adalah embrio konsolidasi kesadaran berbangsa. Di dalamnya sarat semangat anti penjajahan, kolonialisme dan imperliasme Belanda yang selama kurang lebih 350 tahun telah menjajah dan memangsa mentah-mentah SDA Indonesia melalui kekerasan, perbudakan, dan bahkan penghinaan dalam bentuk kerja paksa di negeri sendiri.

Di tengah ketidakpastian tampang regulasi saat ini, ancaman imperialisme digital sudah di depan mata. Salah satu contohnya persekutuan raksasa start up Gojek dengan raksasa lainnya Tokopedia.

Telusurilah “riwayat hidup” keduanya di mesin pencari “Google”. Akan ditemui fakta kedua raksasa kapitalisme yang berjubah imperialisme digital tersebut, memosisikan rakyat Indonesia yang berjumlah ratusan juta hanya sebagai “mesin” pencetak uang triliunan tiap bulan secara digital untuk kantong mereka di luar negeri.

Memang benar menjanjikan kemudahan di semua bidang. Namun pada saat yang sama menyembunyikan “bencana yang tertunda" (delayed disarter) jangka panjang, dalam arti pergeseran budaya pekerja keras aktif menjadi mentalitas konsumerisme pasif, komentar seorang pakar komunikasi.

Artikel dekan Fakultas Hukum UI, Dr. Edmond Makarim, (Kamis, 14 Januari 2021) yang mengutip Data Digital Economy Report 2019 dari United Nations Conference (UNCTAD, 2019), menarik dicermati. Secara gamblang menunjukkan bahwa perusahaan teknologi digital terkonsentrasi secara geografis di AS dan Tiongkok.

Meskipun terdapat perusahaan-perusahaan digital yang berasal dan beroperasi di pasaran negara berkembang, mereka tampaknya hanya menjadi porsi marjinal dalam ekonomi digital.

Meskipun saat ini tengah semarak hadirnya aplikasi nasional, sebagaimana dijelaskan di atas, saat ini penguasaan infrastruktur digital tidak berada di tangan bangsa.

Dengan pemanfaatan cloud computing, justru data diunggah dan ditampung ke dalam suatu sistem akuarium informasi global yang dapat dilihat oleh pihak yang menguasainya.

Kepercayaan pengguna terhadap produk teknologi seharusnya tidak lepas dari sejauh mana pengetahuan mereka akan risiko kerentanan kegagalan teknologi tersebut dan bagaimana hal itu telah dikelola dan/atau dimitigasi dengan baik. Tidak ada kesempurnaan dalam teknologi sehingga seharusnya ada kepastian prosedural untuk mitigasi.

Sehingga, hal tersebut tentu tidak terlepas dari kewenangan administratif terkait, tidak hanya dilepaskan kepada kompetisi pasar saja. UU PDP itulah sesungguhnya bentuk nyata mitigasi verbal yang harus menjadi domain negara.

Baru saja di pertengahan Desember lalu, pengguna di dunia dikejutkan dengan gangguan layanan Google selama satu jam. Bahkan raksasa teknologi ternyata tidak bisa mencegah 100% terjadinya kerusakan atau gangguan teknologi dan menjamin keandalan sistem elektroniknya.

Imperialisme sejatinya tidak benar-benar hilang dari kehidupan manusia. Dan, di zaman now dunia digital pun tidak benar-benar lepas dari yang namanya imperialisme. Inilah yang selanjutnya disebut dengan imperialisme digital (digital imperialism).

Dengan kata lain, ini bukanlah istilah baru. Ada diksi yang sejenis dengan itu, misalnya digital colonialism (kolonialisme digital). Keduanya merujuk pada makna yang sama, yaitu penjajahan digital.

Percaya atau tidak, kita sejatinya berada dalam jebakan batman. “Terjebak” dalam berbagai tawaran yang menggiurkan dari revolusi digital tersebut. Padahal, setiap aktivitas kita, saat tersambung dan terhubung dalam jaringan digital, semua itu ada cost-nya. Dan, biayanya itu, bukan hanya sekadar berbentuk uang atau pun pulsa yang disedot.

Tetapi lebih dari itu. Ada social cost yang harus dibayar, dimana ini yang kerapkali kita lupakan atau mungkin tidak kita sadari.

“Social Cost inilah yang kemudian akan dikapitalisasi oleh penyedia layanan, baik sosial maupun bisnis, menjadi kekuatan mereka, untuk dalam beberapa waktu ke depan, mendikte bahkan 'memperkuda' kita dalam setiap aktivitas kehidupan. Dengan demikian sudah semestinya kita aware tentang hal ini,” tulis Makarim.

Berdasarkan hasil penelitian, dengan hadirnya ekonomi digital dan teknologi digital pada umumnya, menjadilah Indonesia pasar besar sambil memproduksi kekhawatiran. Start up lokal yang membesar merangsang injeksi modal venture capitalist asing sebagai pintu masuk modal asing untuk  “mencaplok” Indonesia.

Meluapnya demam venture capitalist berburu start up Indonesia yang rindu biaya peningkatan, mengubah status kepemilikan start up pindah ke tangan investor asing.

“Menempatkan founder dipinggiran dengan saham minimal. Mereka bukan lagi pemilik. Tetapi sudah berubah menjadi pekerja. Banyak contoh soal nasib kelam start up lokal. Sebutlah: Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, Lazada dan lain lain, yang telah diambil alih oleh asing dan aseng," tulis Asih Subagyo, Sekjen Muslim Information Technology Association (2017).

Program gerakan “Literasi Digital Nasional” menjadi rahmat dan sekaligus elemen  bencana baru bagi bangsa. Dominasi modal asing akan mengangkangi perekonomian nasional arus utama bangsa. Meniscayakan hadirnya pagar beton regulasi nasional yang tangguh.

Keperkasaan regulasi nasional adalah harga mati. Gunanya untuk menangkal ancaman imperialisme digital yang membawa dinamika, penetrasi maupun invasi taring raksasa kapitalisme global yang menjadi mesin penggerak “budaya” pencaplokan terselubung melalui layanan cepat virtualisasi.

Yang jelas sampai hari ini, DPR belum juga berhasil menerbitkan UU PDP (Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi) bagi 279 juta orang penduduk negeri ini. Meskipun RUU PDP itu telah berkali-kali direncanakan dibahas, sampai sekarang belum berwujud.

Sebuah berita buruk saat ini meledak di semua media: terjadi kejahatan digital peretasan data pribadi 279 juta penduduk yang berasal dari kantong BPJS Kesehatan.

RUU PDP disusun Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo) tahun 2014. Pemerintah bersama-sama DPR telah mengupayakan agar disahkan menjadi undang-undang pada priode 2014-2019.

Hingga berakhir masa legislasi 2014-2019, UU itu tidak diapa-apain juga. Pada periode legislasi 2019-2024, RUU PDP kembali diusulkan oleh pemerintah pada 17 Desember 2019 dan masuk dalam jajaran Prolegnas Prioritas tahun 2020.

Namun sampai hari ini tidak ada kabar berita. Sumber di DPR menyebutkan penyebab tersendatnya pembahasan RUU itu, karena ada perbedaan persepsi yang prinsipil antara pemerintah dengan legislator.

Eksekutif menghendaki dirinya sebagai “agen tunggal” pengelolaan sanksi-sanksi UU itu kepada operator aplikasi digital yang beromzet trilunan itu. Tapi pihak legislatif  agaknya kurang setuju dengan diksi “tunggal” itu dengan alasan-alasan tertentu.

Sebuah pesan WhatsApp melesat ke dalam HP saya dengan tulisan yang mengusik: “Satu-satunya kesalahan kalian, karena kalian tidak bersalah”. Itu potongan dialog drama kolosal kelas dunia berjudul “Montserrat” karya Emanuel Robles (1948). Diterjemahkan sastrawan papan atas Indonesia, almarhum Drs Asrul Sani. 

| Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.