Kontras Pertanyakan Peran Pemerintah Selesaikan Konflik Pendirian Gereja di Aceh Singkil

Ilustrasi: net.
Ilustrasi: net.

KontraS Aceh Pertanyakan peran tim terpadu yang dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan tempat ibadah di Aceh Singkil. Hal ini terkait polemik yang muncul usai munculnya foto salah satu gereja di Aceh Singkil, beberapa waktu lalu.


“Tanpa peran aktif pemerintah untuk menyelesaikannnya, isu ini akan terus jadi bola liar yang memicu sentimen di tengah-tengah publik,” kata Koordinator KontraS Aceh, Hendra Sahputra, dalam keterangan tertulis, Jumat, 16 Jumat 2021. 

Dalam hal ini, Hendra menyoroti kinerja Pemerintah Aceh. Pasalnya, pada November 2020, Pemerintah Aceh bersama dengan Pemerintahan Aceh Singkil telah membentuk tim terpadu penyelesaian permasalah pendirian tempat ibadah di Aceh Singkil.

Tim ini dibentuk melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 451.2/1573/2020, perihal Pembentukan Tim Pembinaan dan Pengawasan Penanganan Perselisihan Tempat Ibadah di Kabupaten Aceh Singkil. 

Tim ini, kata Hendra, mengemban beberapa tugas. Salah satunya membangun kesepakatan dengan para pihak, menyusun kajian komprehensif terkait masalah ini, serta melakukan analisis alternatif solusi dan melakukan sosialisasi terhadap hasil kajian tersebut.

Namun hingga saat ini, kata Hendra, keberadaan dan kinerja tim tersebut tak menunjukkan hasil yang memadai. Sementara, KontraS Aceh menilai, umat Kristen di Aceh Singkil perlu dipenuhi hak mereka untuk beribadah dengan aman dan nyaman sebagaimana diamanahkan dalam kontitusi Republik Indonesia.

"Jadi foto yang beredar beberapa hari yang lalu, harusnya dilihat sebagai situasi dampak dari lalainya pemerintah Aceh melalui tim terpadu dalam upaya mendorong penyelesaian kasus rumah ibadah, sehingga membiarkan hal ini terus berpolemik," ujar Hendra. 

KontraS, kata Hendra, juga menilai seharusnya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh, sebagai koordinator tim lapangan dalam penyelesaian permasalah rumah ibadah di Aceh Singkil, lebih terlihat. Manfaat dari keberadaan forum itu, kata dia, harusnya dirasakan semua pihak.

“FKUB harus menjadi leading sector pertama dalam upaya mendorong penyelesaian kasus rumah ibadah di Aceh Singkil,” kata Hendra.

Hendra mengatakan FKUB juga harus mampu memfasilitasi pertemuan antar umat beragama, mendengar pendapat dari kedua pihak--baik muslim dan Kristen, serta menengahinya dengan solusi terbaik. 

Untuk menyelesaikan masalah ini, KontraS Aceh menekankan pemerintah perlu menempuh jalur dialog, ketimbang pendekatan hukum semata. Menurut Hendra, pemberlakuan syarat pendirian tempat ibadah mengacu pada Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah, akan sangat sulit dipenuhi oleh umat kristen.

"Karena itu pendekatan dialog harus ditempuh sebagai jalan yang terbaik di antara kedua pihak, FKUB harus berperan aktif," ujar Hendra.

Pendekatan kemanusiaan harus lebih diutamakan. Bagaimana pun, setiap umat beragama butuh beribadah dengan nyaman. Pemerintah harus melihat ini sebagai bagian dari pemenuhan hak warga negara, jadi tak melulu soal pemenuhan aturan hukum.

"Orang menjalankan ibadah itu adalah hal yang baik, bagaimana mungkin harus dibatasi? Mereka butuh tempat. Pemerintah harus bijak melihat ini," kata Hendra.