Kopiah Lusuh

HASVI HARIZI
HASVI HARIZI

DI negeri ini, santri adalah aset yang tak ternilai. Kemajuan agama, pendidikan, politik dan budaya dapat dikatakan bertumpu di tangan mereka Berbekal keilmuan dan kultur di pesantren, mereka mampu membuat sejumlah terobosan yang membawa perubahan dalam masyarakat.

Sejarah membuktikan bahwa di Indonesia, dan Aceh khususnya, santri selalu menjadi ikon bagi perubahan keadaan. Santri juga merupakan yang paling banyak menjadi agen perkembangan dalam pendidikan. Penghargaan dari tingkat lokal, nasional, internasional kerap kali diraih.

Di pesantren, para santri ditempa menjadi insan yang ilmiah dan amaliah dan amaliah ilmiah, berilmu dan diamalkan, mengamalkan dengan mengetahui ilmunya. Untuk menempa mereka, dibutuhkan waktu dan proses panjang. Ibarat menempa besi menjadi pedang yang tajam, mereka dipanaskan, dipukul, didinginkan, dipanaskan lagi, terus menerus, hingga menjadi sebilah pedang yang tajam. 

Di balik semua kemampuan itu, ciri khas mereka adalah peci alias kopiah. Saat menjalani kehidupan sebagia santri, mereka tetap mengenakan peci. Kecuali ke kamar mandi. 

Mulanya, peci hanya diartikan sebagai penutup kepala berbahan beludru warna gelap dan berbentuk lancip di kedua ujungnya, Pemakaian peci ini lumrah dijumpai di kehidupan para santri yang mondok di pesantren/dayah. Hingga akhirnya, peci (dan juga sarung) menjadi identitas mutlak dalam kehidupan pesantren, terutama pesantren-pesantren bernuansa salafi atau yang disebut dengan dayah.

Lambat laun, pemaknaan yang bersifat harfiyah tersebut, mengalami pergeseran makna. Saat santri menyelesaikan pendidikan di dalam pesantren, dan berbaur dengan dunia di luar pesantren, mereka tetap mengenakan kopiah yang kini menjadi identitas nasional. Pejabat tanpa melihat suku, agama, ras ternyata juga memakai peci dalam menjalani tugas mereka.

Peci mencirikan sebuah kebaikan. Karena itu kita juga sering melihat para tersangka, terutama koruptor, mengenakan peci saat menjalani persidangan. Sama seperti kita melihat jilbab dan cadar yang digunakan para koruptor perempuan. Di tangan mereka juga terselip tasbih. Entah apa yang mereka dengungkan dalam hati, Allahu a’lam

Peci, dan jilbab, menjadi alat untuk berharap belas kasih dari majelis hakim dan publik untuk menunjukkan mereka tidak bersalah. Menjadi topeng. Padahal peci yang dikenakan oleh para santri adalah simbol kerendahan hati, ganjal kepala saat tertidur di lantai masjid atau menjadi simbol kezuhudan. 

Dengan beragam penyimpangan makna peci ini, para santri mendapatkan satu pembelajaran lain, bahwa kita tidak boleh terjebak dalam simbol-simbol dan atribut. Kesucian hati itu tidak muncul dari pakaian. Karena itu, santri harus benar-benar berpegang pada keilmuan dan sikap yang sederhana. 

Rasulullah Muhammad saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” 

Peci hanyalah lambang. Namun sikap dan perbuatan para santri adalah jutaan sel ilmu pengetahuan yang berbaur dengan alam. Menebarkan rahmat. Memberikan kesejukan bagi umat. Mungkin semakin kusam dan rontok beludru di peci, akan semakin jelas sikap kita, sebagai santri, memandang dunia yang penuh tipu daya dan senda gurau ini. 

| Penulis adalah santri Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyah Pango Raya.