Korupsi, Cara Hebat Merusak Demokrasi

Askhalani Bin Muhammad Amin. Foto: ist.
Askhalani Bin Muhammad Amin. Foto: ist.

KORUPSI di Indonesia terus menggurita. Penyakit ini merusak semua tatanan demokrasi yang seharusnya menjadi pondasi kuat dalam bernegara dan berbangsa. Tak ada celah yang tak dirusak dan digerogoti virus korupsi, mulai dari tingkat elite sampai pada tatanan terendah; pemerintahan desa.

Perilaku ini semakin parah seiring melemahkan kinerja lembaga penegakan hukum. Semua lembaga-lembaga yang seharusnya bersikap netral begitu mudah dirasuki kepentingan politik yang cenderung korup. 

Dan kini, kepercayaan publik semakin lemah kepada lembaga yang sempat menjadi satu-satunya harapan dalam pemberantasan korupsi: Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepercayaan itu digerogoti lewat penetapan komisioner dengan rekam jejak buruk, revisi Undang-Undang KPK, dan pemecatan 58 orang personel KPK yang selama ini menjadi figur penting--kalau tak mau dikatakan hebat--dalam mendorong kerja-kerja pemberantasan korupsi.

Kepercayaan publik kepada dua institusi lain, yaitu kejaksaan dan kepolisian, dalam memberantas korupsi tak berkembang. Bahkan semakin menurun. Laporan publik atau fakta temuan korupsi yang dilaporkan pada institusi ini tidak mendapat perhatian. Kerugian negara hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan seperti tak cukup bagi penyidik di dua lembaga itu untuk meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan. 

Mudahnya pihak luar memengaruhi keputusan lembaga penegakan hukum ini jelas berkelindan dengan korupsi. Tak terkecuali di Aceh; terutama di Aceh. Sepanjang 2020-2021, di tengah wabah Covid-19, korupsi di Aceh semakin menggila. Nyaris tak ada institusi yang bebas dari korupsi.

Gerakan Anti Korupsi Aceh mendapati bukti korupsi di sektor dominan, yakni pengadaan barang dan jasa, kesehatan dan belanja sosial, serta dana desa. Anehnya, praktik-praktik tersebut tak ditanggapi serius oleh aparat penegak hukum. Kepolisian dan kejaksaan tak segera menetapkan para tersangka meski mengantongi hasil audit BPKP yang mencatat kerugian negara akibat praktik itu. 

Lihat saja betapa mudahnya aparat hukum menggantung nasib kasus dugaan korupsi beasiswa Pemerintah Aceh, kasus Cunda Meuraxa di Lhokseumawe, kasus OTT dana desa di Aceh Barat. Padahal publik begitu menaruh perhatian besar dalam kasus-kasus ini. 

Berangkat dari rangkaian cerita buruk pemberantasan korupsi itu, negara perlu membenahi hal ini agar isu pemberantasan korupsi kembali menimbulkan semangat publik terhadap upaya pemberatasan korupsi. Di antaranya reformasi sektor hukum, terutama untuk menjadikan lembaga institusi kejaksaan dan kepolisian terbebas dari belenggu kepentingan politik yang menyandera para pejabatnya. Langkah Kepala Kepolisian RI dan Jaksa Agung saat ini adalah cara tepat untuk menjadikan dua institusi ini kembali mendapatkan perhatian publik dan kepercayaan publik. 

Kemudian, khusus di Aceh, KPK yang beberapa waktu lalu memeriksa sejumlah pejabat di Aceh perlu segera mengumumkan hasil kerja mereka selama berada di Aceh. Mudah-mudahan hasil pemeriksaan itu dapat menjadi terapi kejut untuk menahan laju praktik korupsi yang terus menggurita, bak jamur di musim hujan.

Dan cara paling efektif untuk menekan laju korupsi ini adalah mengembalikan demokrasi dan partisipasi publik. Keterlibatan publik lewat transparansi penanganan perkara adalah cara jitu untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada pemerintah dan institusi aparat hukum. Dan itu belum terlalu terlambat untuk dilakukan.  

| Penulis adalah Koordinator Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh.