KPK Bantu Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh Tuntaskan Pengalihan Aset

Penandatanganan pengalihan aset oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh. Foto: Dok BPPA.
Penandatanganan pengalihan aset oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh. Foto: Dok BPPA.

Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh berkomitmen menuntaskan kepemilikan delapan aset yang selama ini tumpang tindih antara keduanya.  Penyelesaian itu ditandai dengan penandatanganan berita acara kedua belah pihak yang dilakukan oleh Gubernur Aceh Nova Iriansyah dan Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman.  


Penandatanganan ini disaksikan oleh perwakilan Komisi Anti Korupsi yang diwakili oleh Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry Muryanto dan Direktur Koordinasi dan Supervisi Brigjen Polisi Didik Agung Widjanarko.  

Nova berterima kasih dan mengapresiasi gagasan KPK dalam mendorong penyelesaian aset tumpang tindih antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kota Banda Aceh. Nova mengatakan sejak awal, dia menilai penting bagi Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh untuk menuntaskan hal ini. 

“Sehingga dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Aceh, sebagaimana ketentuan yang berlaku," kata Nova di Ruang Kolaborasi Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis, 11 Februari 2021.  

Nova mengatakan kedelapan aset yang ditertibkan itu adalah Gedung Banda Aceh Madani Education Center (BMEC), tanah dan bangunan Rumah Budaya, tanah Stadion Haji Di Murthala, tanah SD Negeri 47 Banda Aceh, tanah Rumah Dinas Wali Kota Banda Aceh, tanah Pasar Al Mahirah Lamdingin, tanah bangunan Cold Storage Lampulo, dan Pelabuhan Penyeberangan Uleu Lheue.  

"Untuk percepatan penyelesaiannya, Nova juga menginstruksikan Sekretaris Daerah Aceh untuk melakukan upaya konkrit penyelesaian aset-aset tersebut dengan Pemerintah Kota Banda Aceh. Adapun upaya yang dilakukan, kata Nova, telah disampaikan kepada Aminullah melalui Surat Nomor 118/2338 tanggal 10 Februari 2020 Tentang Tindak Lanjut hasil temuan BPK RI sebagaimana amanat Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana Pelabuhan penyeberangan Uleu Lheue menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi.  

"Beberapa aset lainnya telah ditindaklanjuti penyelesaiannya melalui rapat, pada 2 Juli 2020 lali di kantor Gubernur Aceh yang dipimpin oleh Sekda Aceh dan turut dihadiri Sekda Kota Banda Aceh beserta sejumlah pejabat lainnya," kata Nova.

Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa pihak Pemerintah Kota Banda Aceh segera menyampaikan rencana pemanfaatan dan pengelolaan aset tumpang tindih tersebut. Dalam perkembangannya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.  

Selanjutnya, kata Nova, pada 9 Februari 2021, dilaksanakan pula pertemuan lanjutan yang yang dipimpin oleh Sekda Aceh dan turut dihadiri Wali Kota Banda Aceh beserta Sekda Kota Banda Aceh dan pejabat lainnya.  

Dalam pertemuan ini, disepakati bahwa lima dari delapan aset diserahkan kepada Pemerintah Kota Banda Aceh, yaitu tanah Stadion Haji Di Murthala, tanah SD Negeri 47 Banda Aceh, tanah rumah dinas Wali Kota Banda Aceh, tanah pasar Al Mahirah Lamdingin dan tanah bangunan cold storage Lampulo.  

Sedangkan tiga aset lainnya, seperti Gedung BMEC, Rumah Budaya dan Pelabuhan Penyeberangan Uleu Lheue diserahkan kepada Pemerintah Aceh. Nova mengatakan kesepakatan ini tertuang dalam Berita Acara. Sehingga Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh telah memperoleh titik temu dan berkomitmen untuk menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku, akhir Maret ini diperkirakan tuntas.  

Sementara Aminullah juga mengapresiasi KPK yang berinisiatif menyelenggarakan acara tersebut. Namun Aminullah memastikan tidak ada masalah dalam proses pengalihan aset tersebut karena dua pihak, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh memiliki kesamaan pandangan. 

“Dengan adanya KPK sebagai mediator penyelesaian, maka kita yakin masalah ini akan segera selesai," kata Aminullah. Aminullah juga mengatakan dalam rapat yang dihadirinya pada 9 Februari lalu, sudah dirumuskan apa yang mesti dilakukan. Urutannya juga sudah sangat jelas. 

Namun, kata Aminullah, perlu pengawasan dari KPK. Begitu pula dengan Gubernur Aceh yang telah menetapkan tim Adhoc antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kota Banda Aceh untuk penyelesaian masalah tersebut. Aminullah yakin dalam waktu satu bulan, serah terima aset ini dapat diselesaikan. 

Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi, Herry Muryanto, mengatakan permasalahan aset daerah ini juga terjadi di daerah lain di Indonesia. "Jadi kami coba menengahi. Kami tidak mengambil keputusan. Kita coba berdiskusi dan kami berdiri di tengah untuk mendorong," katanya.  

Menurutnya, aset ini sebenarnya harus dimanfaatkan masyarakat. Namun tata kelola administrasi saat ini masih amburadul. Untuk itu, kata Herry, harus dilakukan dari sisi pengamanan aset.