Krisis Afganistan dan Proyek Gagal Amerika

Ilustrasi
Ilustrasi

JATUHNYA ibukota Kabul ke tangan kelompok pemberontak Taliban menandai berbaliknya situasi pasca invasi AS ke Afganistan tahun 2001 silam. Kini, mereka telah memegang kendali sepenuhnya atas kekuasaan yang sebelumnya dipegang Presiden Ashraf Ghani.

Dunia jelas prihatin dengan situasi di Afganistan. Bayangan kengerian akan sistem hukum Islam yang ditegakkan dengan keras oleh Taliban kini membayangi negeri itu. Dunia mungkin berharap ada perlawanan untuk mencegah Taliban berkuasa kembali.

Akan tetapi, skenario itu agaknya sangat kecil kemungkinannya. Pertama, militer Afganistan telah menyerah dan melarikan diri. Padahal secara kuantitas pasukan keamanan Afganistan jauh melampaui kekuatan inti kelompok Taliban, yaitu 300.000 berbanding 60.000. Ini menunjukkan bahwa secara moral tempur gerilyawan Taliban jelas mengungguli militer pemerintah. Tak mengherankan apabila ibukota Kabul bisa jatuh hanya dalam tempo kurang dari dua pekan.

Kedua, menggantungkan harapan pada kekuatan internasional jelas sulit. NATO sudah menghentikan operasi militer di Afganistan sejak 2014. Sementara tidak ada indikasi pakta militer terkuat di dunia itu akan kembali terjun ke medan tempur Afganistan. AS juga sepertinya enggan mengirim pasukan ke sana untuk misi tempur. Presiden AS Joe Biden mengatakan penambahan 6.000 pasukan AS dimaksudkan untuk menjamin keamanan di jalur-jalur evakuasi dan pengiriman bantuan.

Blunder Amerika

AS memang negara yang hobi memporakporandakan dunia tanpa sanggup mengembalikan situasi seperti semula. Pasca serangan 11 September 2001 ke WTC yang menewaskan 3.000 orang, Presiden AS waktu itu, George W. Bush dengan kalap bersumpah akan membalas dendam kepada pihak yang dianggap bertanggungjawab atas tragedi terburuk sepanjang sejarah Amerika itu. Ia bahkan mengancam menempatkan negara yang tak mau bekerjasama dengan AS sebagai pendukung teroris.

Begitu tuduhan mengarah ke kelompok Al Qaida pimpinan Osama bin Laden, Bush segera menabuh genderang perang melalui kampanye “perang global melawan terorisme” (global war on terror). Kurang dari sebulan pasca peristiwa 11 September, AS melancarkan serangan militer besar-besaran ke Afganistan di bawah tajuk “Operation Enduring Freedom” untuk memburu Osama bin Laden dan kelompoknya.

Hasilnya, pada bulan Desember 2001 Afganistan berhasil jatuh ke tangan AS. Pasca memperoleh kemenangan atas Taliban, AS tak segera hengkang dari Afganistan. Ada misi lain yang jauh lebih penting. AS kemudian mencoba menanamkan demokrasi di negara itu dengan menggelar pemilu dan pada 2004 Hamid Karzai terpilih menjadi presiden. Ia kemudian digantikan Ashraf Ghani pada 2014.

AS mempromosikan demokrasi di Afganistan dengan laras senapan, bukan atas dasar kehendak rakyat. Ini adalah tipikal kebijakan luar negeri AS di mana-mana. Di Irak, AS melakukan hal yang sama dengan maksud “melindungi rakyat Irak dari rezim tiran Saddam Hussein.” Invasi AS ke Irak juga diberi nama yang hampir mirip dengan invasi ke Afganistan, “Operation Iraqi Freedom.” Perhatikan kata “freedom” yang digunakan AS untuk menjustifikasi invasi itu. Hal ini seolah-olah AS ingin mengelabui dunia internasional bahwa perang itu sah karena bertujuan baik.

Ilusi Liberal

Dalam paradigma politik luar negeri AS, filosofi liberalisme sangat kuat pengaruhnya. Aliran liberalisme cenderung berkeyakinan bahwa misi AS adalah menyebarluaskan demokrasi ke seluruh dunia. Demokrasi dianggap jalan mulia menuju perdamaian sementara otoriterisme adalah sumber ketidakstabilan dunia. Karena keyakinan itu, AS bertekad membuat negara-negara non-demokratis menjadi demokratis, sekalipun menggunakan sarana militer. Strategi “perubahan rezim” (regime change) dianggap sejalan dengan prinsip liberalisme ini.

Selain Irak, Afganistan adalah bukti kegagalan liberalisme politik luar negeri AS. Alih-alih menciptakan sistem demokrasi yang kokoh, AS justru menggiring negara itu menjadi negara gagal (failed state). Kegagalan AS bukan lantaran perjanjian damai dengan Taliban pada awal tahun 2020 silam. Salah satu poin kesepakatannya adalah AS akan menarik mundur pasukannya dari Afganistan. Kegagalan AS dikarenakan blunder masa lalu yaitu menginvasi negara itu pada 2001. Perang tak pernah bisa menjadi solusi untuk perdamaian dan demokrasi.

Dalam buku berjudul The Great Delusion, pemikir realis kenamaan AS John Mearsheimer mengingatkan bahwa politik luar negeri liberal itu sungguh berbahaya dan menjadi sumber masalah. Hal ini dikarenakan kaum liberal selalu berpikiran hitam-putih terhadap realitas internasional. Akan selalu ada pertarungan sengit antara “kekuatan baik melawan kekuatan jahat” dimana AS mewakili “kekuatan baik” itu. Kekuatan baik mencerminkan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi, sedangkan kekuatan jahat mencerminkan tirani dan non-demokrasi.

Di samping menciptakan instabilitas, kebijakan luar negeri liberal juga menguras anggaran. AS memberikan bantuan finansial dan material yang tak tanggung-tanggung ke Afganistan demi proyek demokrasi semunya. Menurut data USAID, AS telah menghabiskan anggaran US$ 4.2 milyar untuk menyokong pemerintahan Afganistan pasca invasi. Dari jumlah itu, US$ 3.6 milyar telah dihabiskan untuk membiayai aparat keamanan pemerintah. Dengan jatuhnya Kabul ke tangan Taliban, dana sebesar itu tampaknya sia-sia belaka.

AS tampaknya harus mengubah haluan kebijakan luar negerinya. Keterlibatan militer AS yang begitu besar di luar negeri kelihatannya malah menciptakan lebih banyak masalah. Saran John Mearsheimer agaknya perlu didengarkan elit-elit di Gedung Putih; bahwa AS harus menahan diri untuk terlibat dalam urusan-urusan internal negara lain apabila itu tidak memberi keuntungan bagi AS. Kalau tidak, AS akan mirip tukang amatiran yang hanya terima bongkar tapi tidak terima pasang.

| Penulis adalah dosen di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Diponegoro