Langgar HAM Muslim Uighur, Kanada dan Inggris Larang Impor dan Ekspor Barang ke Cina

Sejumlah warga Uighur dipaksa bekerja memetik kapas untuk dijual pada perusahaan fashion terkemuka di dunia. Foto: ist
Sejumlah warga Uighur dipaksa bekerja memetik kapas untuk dijual pada perusahaan fashion terkemuka di dunia. Foto: ist

Pemerintah Kanada dan Inggris memberlakukan langkah-langkah terbaru terhadap Cina. Ini terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara tersebut terhadap populasi Uighur dan minoritas lainnya.


"Kanada sangat prihatin tentang penahanan sewenang-wenang massal dan penganiayaan terhadap Uighur dan etnis minoritas lainnya oleh Pemerintah Cina," kata Menteri Luar Negeri, Francois-Philippe Champagne, dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL, Rabu, 13 Januari 2021.

Tujuan utama kerja sama tersebut adalah untuk mencegah impor barang yang mereka sebut diproduksi oleh tenaga kerja paksa di wilayah otonomi Uighur Xinjiang. Bersama Inggris, Kanada mengambil langkah untuk memastikan mereka tidak terlibat dalam pelecehan Muslim Uighur di Xinjiang.

Artinya, barang yang diproduksi dengan kerja paksa dilarang masuk ke Kanada dan Inggris. Begitu juga sebaliknya, perusahaan di Kanada dilarang keras mengekspor produknya ke Cina jika ada kemungkinan produk tersebut digunakan oleh otoritas China untuk pengawasan, penindasan, dan penahanan sewenang-wenang atau kerja paksa.

Kanada melarang impor barang yang diproduksi melalui kerja paksa sebagai bagian dari kewajibannya berdasarkan Perjanjian Kanada-AS-Meksiko (CUSMA), seperti yang disebutkan dalam rilis Urusan Global Kanada.

Peraturan baru tersebut juga mengharuskan perusahaan Kanada di pasar Xinjiang menandatangani deklarasi yang mengakui bahwa mereka mengetahui situasi mengenai hak asasi manusia di provinsi tersebut. 

Dalam sebuah investigasi oleh BBC, terungkap bahwa Pemerintah Cina memaksa ratusan ribu warga etnis Uighur dan orang-orang dari kelompok minoritas lainnya untuk bekerja di ladang kapas di kawasan Xinjiang. Berdasarkan sejumlah dokumen penelitian yang ditemukan di internet itu, terlihat gambaran jelas tentang skala 'kerja paksa' memetik tanaman kapas tersebut.

Hasil dari ladang kapas di Xinjiang itu berkisar satu perlima produksi kapas dunia dan digunakan banyak pelaku industri fesyen global. Selain berbagai kamp penjara untuk menahan sekitar jutaan warga etnis Uighur, dugaan 'kerja paksa' kelompok minoritas itu di sejumlah pabrik tekstil di Xinjiang juga terdokumentasi.

Pemerintah Cina membantah berbagai tuduhan tersebut. Cina menyatakan kamp-kamp itu adalah lokasi 'pendidikan ulang' warga Uighur. Adapun sejumlah pabrik teksil di Xinjiang tersebut, klaim mereka, adalah bagian dari "program besar pengentasan kemiskinan" yang diikuti secara sukarela.

Namun beberapa bukti baru mengungkap hal berbeda. Setiap tahun sekitar setengah juta pekerja dari kelompok minoritas diduga digiring ke ladang kapas secara paksa untuk memanen tanaman kapas. "Menurut saya, dampak dari kebijakan ini sangat masif," kata Adrian Zenz, peneliti senior di Victims of Communism Memorial Foundation kepada BBC.

Lembaga tempat Zen bekerja bersifat non-profit dan dibentuk berdasarkan undang-undang Amerika Serikat. Merekalah yang menerbitkan penelitian terbaru tentang dugaan 'kerja paksa' warga Uighur ini.