LBH Banda Aceh Sebut Jual Beli Pasal hingga Pelaku HAM Berat Masih Terjadi di Aceh

Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul, (Kiri), Koordinator MaTA, Alfian (Kanan). Foto: Merza/RMOLAceh.
Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul, (Kiri), Koordinator MaTA, Alfian (Kanan). Foto: Merza/RMOLAceh.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, menilai penegakan hukum di Aceh masih lemah. Salah satunya terjadi jual beli pasal yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH).


"Jual beli pasal ini benar terjadi, jaksa kerap meminta uang kepada terdakwa sebagai jaminan penangguhan,” kata Syahrul dalam konferensi pers ‘Pokja Lima Masyarakat Sipil Aceh’ Selasa, 17 Januari 2023.

Syahrul menjelaskan, hal itu terjadi tanpa ada surat dan berita acara. Peristiwa ini, kata dia, juga terjadi saat pelimpahan ke pengadilan. “Metode yang dipakai sama," sebut Syahrul. 

Syahrul mengatakan, pasca damai, Pemerintah Aceh bisa langsung berkomunikasi dengan APH secara langsung. Dengan tujuan untuk memangkas ketidakadilan dan kekerasan yang terjadi.

"Iya memang berkomunikasi tapi malah yang terjadi jual beli kepala kepolisian dan kejaksaan jembatan untuk korupsi, hal ini harus diintervensi," ujar dia.

Di samping itu, Syahrul menilai Pemerintah Aceh memanipulasi tanggung jawab dalam mengatasi pelanggaran korban Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Hal tersebut dilihat tidak terpenuhi lima unsur layanan yang telah di rekomendasikan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.

"Tapi pemerintah memanfaatkan kondisi ketidakberdayaan korban dengan hanya memberikan uang 10 juta terhadap korban dengan alasan daripada tidak ada sama sekali, padahal lima layanan itu yang dibutuhkan yang telah di rekomendasikan," kata dia.

Kelima layanan mendesak tersebut, Syahrul menyebutkan seperti bantuan medis, psikologi, bantuan usaha, jaminan hidup dan layanan kependudukan. Bantuan tersebut dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan korban HAM berat, artinya pemerintah menyamakan mereka dengan korban bencana alam dan para fakir miskin.

"Pelaksanaan reparasi mendesak ini tidak sesuai dengan rekomendasi KKR Aceh," sebutnya.

Selain itu, Syahrul juga menyinggung tiga kasus HAM berat yang masuk Kepres nomor 17 tahun 2022 tersebut padahal dalam ranah Yudisial. Namun presiden membawa kasus tersebut keranah non yudisial agar tidak dapat ditindak lanjuti oleh pengadilan.

“Ada upaya Jokowi memberi impunitas terhadap pelaku HAM dibukti rendam yang baru, apa yang dikerjakan tim TPPHAM punya agenda politik bagi pemilu dan memulihkan nama baik pelaku," ujarnya.