Lockdown: Bumi Nir Manusia dan Bumi Nir Kegiatan Manusia

Ilustrasi: science file.
Ilustrasi: science file.

SEGALA kepandaian dan kecerdasan manusia yang telah “menaklukkan”  alam selama berabad-abad akhirnya ditundukan dan harus mengaku kalah dengan alam, terutama planet bumi. Narasi yang sering diterangkan dalam kehidupan religius, bahwa  ini adalah  peringatan dan ujian dari pemilik tunggal alam semesta, bahwa hukum kehidupan itu adalah keseimbangan. Narasi lain yang juga memperingatkan tentang  manusia sebagai khalifah namun berpotensi menjadi “makhluk perusak” bumi, sehingga akan ada konsekwensinya.

Peringatan itu telah terbukti berkali-kali dalam sejarah, dan kali ini terjadi ketika manusia bahkan hendak menjadikan dirinya sebagai mahluk tak terkalahkan di alam semesta. Manusia merusak kesimbangan alam, dan ketika keseimbangan kehidupan alam terganggu-terutama karena ulah manusia, maka alam akan mencari jalan  dan caranya sendiri. Ketika alam “meluruskan” ketidakseimbangan yang semakin parah, maka akan ada korban.

Sama halnya ketika manusia mengorbankan alam untuk mencapai tujuannya, alam juga akan mengorbankan mahluk paling betanggung jawab-manusia, untuk mencapai tujuan penyembuhan dirinya. Ketika manusia menggunakan akal budi untuk memanfaatkan alam, tanpa peduli kepada keseimbangan dengan kelestarian, maka alam membalas dengan caranya sendiri.

Mahluk halus dengan nama virus, mempunyai dampak yang lebih hebat dari bom nuklir sekalipun, membunuh perlahan, kemudian cepat dan pasti ,dengan sangat selektif, hanya manusia. Kemampuan perjalanannya juga sangat pasti, dimana ada manusia, dan tersambung sesamanya, disitu pula akan ada virus mematikan itu.

Kepandaian manusia mempercepat konektivitas fisik-laut, darat, dan udara, adalah fasilitas utama yang menjadi tumpangan virus untuk berkelana kemana-mana. Perjalanan virus keseluruh penjuru bumi dimana ada manusia hanya dengan satu tugas, mencari korban, untuk disakitkan, dan atau dimatikan.

Istilah “kunci”-kata benda  atau “mengunci”-kata kerja yang sebelum Covid-19 hanya berurusan dengan pintu-pintu, pagar, dan brankas, dengan sangat tiba-tiba menjadi alat untuk mengurung manusia. Sekalipun istilah “mengunci” digunakan dalam imajinasi strategi pekerja politik dan perang, mengunci manusia dalam arti yang sebenarnya untuk sebuah kawasan administratif atau geografis. Namun ketika Covid-19 datang, tiba-tiba saja kata lock down menjadi kata keramat, dan kota-kota besar di dunia dikunci, dan terkunci, dan manusiapun menjadi terkunci, dipaksa oleh mahluk halus itu.

Pada 2007, Profesor Alan Weinsman, pengajar di Universitas Arizona, wartawan, dan pengarang terkenal, menulis sebuah buku kontroversial: The World Without Us, Dunia Tanpa Kita. Sebuah skenario ketika manusia tidak ada atau hilang secara tiba-tiba dari muka bumi. Dalam buku itu, Ia membayangkan persis seperti imajinasi pembuat film  fiksi di mana kota-kota besar di dunia akan hancur lebur ditandai dengan rontoknya gedung pencakar langit, berikut dengan infrasruktur perkotaan, dan semua terowongan akan banjir besar, meluluh lantakkan kehidupan perkotaan.

Weinsman tak mampu memberikan gambaran detail tentang bagimana manusia akan musnah dari muka bumi secara jelas dan detail,  tetapi yang pasti manusia tak ada lagi. Satu-satunya  cara yang ia gambarkan tentang kemungkinan musnahnya manusia adalah kemungkinan hadirnya  semacam virus yang hanya relevan dengan kematian manusia secara total, yang disebutnya sebagai virus spesifik homo sapiens. Virus itu hadir baik secara alami maupun hasil rekyasa  manusia, dan dengan sangat selektif membiarkan mahluk lain tetap hidup, sementara manusia dijadikan korbannya.

Dalam gambaran Weinsman, ketika manusia sudah punah, alam  akan bangkit kembali dan mengambil alih kepemimpinan planet bumi. Kota-kota besar akan ditumbuhi tumbuhan secara perlahan, untuk kemudian berkembang menjadi hutan. Berbagai burung dan beragai makhluk liar lain akan menjadi penghuni mantan kota.

Weinsman juga membayangkan tentang benua Afrika yang telah kehilanggan banyak satwanya, akan kembali tumbuh dan berkembang seperti sedia kala. Jumlah gajah dan singa akan bertambah secara cepat. Kecuali spesies yang telah punah, tidak mungin akan kembali lagi, semua spesies yang tertinggal, walaupun dalam ancaman, akan kembali tumbuh dan berlanjut.

Kini kesulitan membayangkan dunia tanpa manusia sudah mendapatkan kisi-kisinya melalui ledakan pandemi yang membuat masyarakat global pontang-panting. Memang yang ada bukan dunia tanpa manusia, tetapi dunia dimana manusia yang terkunci, bahkan mengunci diri di rumah masing-masing.

Untuk menghadapi ledakan virus, cukup banyak negara di dunia yang menerapkan lockdown, membuat penduduk hanya tinggal di rumah. Segala bentuk kegiatan sosial dan ekonomi seperti turis, pertemuan sosial, transportasi, dan kegiatan pabrik nyaris total berhenti. Akibatnya, hanya dalam beberapa waktu saja telah terjadi peningkatan kualitas udara, sungai bersih, polusi berkurang, dan mahluk-mahluk liar hutan mulai memasuki kota-kota.

Yang terjadi adalah pengurangan drastis mobilitas dalam kota, dalam negara, dan bahkan mobilitas global. Bayangkan saja puluhan juta, bahkan mungkin ratusan juta kendaraan roda empat, roda dua, dan berbagai angkutan umum tidak bergerak. Bayangkan juga ratusan maskapai penerbangan menghentikan, paling kurang mengurangi secara drastis dari frekwensi penerbangan rutin nya kesemua tempat.

Kalaupun alat angkut manusia itu bergerak, maka akan sangat minimal, dibandingkan dengan masa sebelumnya. Karena tidak ada mobilitas manusia, maka tidak ada energi yang habis untuk mobilitás itu. Dengan merujuk kepada kaitan pembakaran energi-terutama energi fosil untuk trasnsportasi, maka yang terjadi dalam satu setengah tahun  terakhir ini adalah pengurangan polusi yang sangat luar biasa.

Tidak hanya itu karena dampak pandemi yang sangat dalam dan luas, banyak proses produksi yang menggunakan bahan bakar fosil  yang juga produsen penting polusi. Kesulitan ekonomi telah membuat permintaan barang-barang menjadi turun drastis. Kata kunci, kontraksi pertumbuhan ekonomi adalah penjelasan dalam bentuk lain, tentang polusi yang juga nyaris berhenti, paling kurang menurun dengan sangat kentara.

Tidak cukup dengan emisi dan polusi, kehidupan binatang liar juga muncul tidak biasa dan berkeluaran di kota-kota mulai Mumbai di India, Bosphorus di Turki, Santiago di Chili, Albania, Haifa di Israel, dan berbagai tempat lain di Afrika, Amerika, di Asia.

BBC, misalnya, melaporkan kemunculan lumba-lumba dekat pantai di Selat Bosphorus, Ankara Turki, adalah sesuatu yang sangat tidak biasa. Dengan lenggangnya kesibukan selat itu dari iringan kapal peti kemas selama 24 jam, telah memberi peluang kepada makhluk itu untuk hidup lebih bebas dan leluasa.

Di Venesia Itali, lumba-lumba berenang di sepanjang kanal yang airnya telah sangat bersih dari biasa. Kanal itu telah tenang sepi dari lalu lalang perahu turis Gondola. Kerabat lumba-lumba di Thailand, yang disebut dugong-sari laut, juga muncul dalam bentuk kawanan, di Taman laut nasional Hat Chao Mai, akibat absennya kunjungan turis.

Kejadian di Ankara itu juga terjadi dengan berkeliarannya babi liar di ibu kota Israel Haifa. Burung Falminggo merah jambu juga dilaporkan bertambah drastis selama setahun lockdown di Albania. Tidak hanya di Albania, di kota Mumbay India, juga terjadi hal yang sama. Cougar, sejenis harimau atau Singa di Amerika Selatan berkeliaran ketika lockdown  di kota Santiago, Chili.

Dampak positif lain dari lockdown, cukup banyak kota-kota besar di dunia “terbersihkan”, Kabut kota 24 jam yang menyelimuti kota-kota seperti Bejing, Jakarta, Mumbay, New York, Buenes Aries, Johanesburg, telah hilang. Langit biru kembali dapat dilihat oleh warga kota dengan baik.  Kabut kota yang ada selama ini bukanlah kabul alami, akan tetapi kabul ciptaan manusia yang membakar fosil untuk hidup, kehidupan, dan mesin ekonomi kota dan negara.

Angka-angka statistik yang ada memang memberikan bukti nyata keampuhan lockdown untuk pemulihan kehidupan bumi. Di AS emisi gas rumah kaca turun 10 persen ( Rhodium Group 2021). Sumbangan terbesar angka itu datang sektor tarnsportasi  yakni 14,7 persen. Pada tingkat global emisi  gas CO2 itu mencapai 2,6 milyar metrik ton, atau turun 7 persen dari tahun-tahun sebelumnya.

Inilah angka yang disepakati oleh  konvensi iklim Paris 2016 yang ditandatangani oleh 200 negara, dan kemudian digagalkan setelah Trump terpilih menjadi persiden AS. Uniknya angka itu dicapai bukan karena kepatuhan pemangakasan emisi oleh negara-negara peserta konvensi itu, tetapi karena dipaksa oleh alam, tepatnya virus Covid-19. Itu artinya jika angka pengurangan emisi karbon tahunan sekitar 7 persen pertahuan sampai dengan tahun 2050, beginilah gambaran skenario kegiatan ekonomi dunia yang harus diterapkan. Sesuatu yang terbayangkan dan sangat mustahil dicapai dalam keadaan normal.

Hanya dalam tempo 14 tahun semenjak  Profesor Alan Weinsman menuliskan buku itu, tanpa kejelasan imajinasi tentang bagimana bumi tanpa manusia, Covid-19 telah memperjelas apa dan bagaimana itu terjadi. Jangankan bumi tanpa manusia, bumi tanpa kegiatan manusia saja sudah jelas gambarannya.

Berbagai pengurangan polusi dan emisi yang mengotori bumi dan sekitarnya hanya dalam tempo setahun mulai berubah. Demikian juga dengan kehidupan berbagai mahluk liar.  Ketika manusia tidak berkeliaran, apalagi merusak, alam menyembuhkan dirinya. Kalau berbagai bentuk pemulihan bumi seperti uraian diatas hanya baru setahun, bayangkan kalau sepuluh tahun, satu abad, apalagi satu milenia.

Pandemi ini banyak memberi pesan dan penegasan kepada manusia. Salah satu pesan kuatnya adalah jaga keseimbangan alam, jangan merusak. Pesan yang lain, kalau sudah dirusak, bumi akan meluruskannya dengan caranya sendiri. Ini artinya bumi punya mekanisme tersendiri untuk mengurus dirinya. Bukti kecilnya, lihatlah baru setahun saja bumi mengurus dirinya, berbagai mahluk liar telah berkeliaran di berbagai kota di dunia.

| Penulis adalah sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala.