Luka Rohingya, dari Rakhine Berlabuh ke Aceh

Kapal etnis Rohingya yang terdampar di Pantai Gampong Baro, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Foto: Helena Sari/RMOLAceh.
Kapal etnis Rohingya yang terdampar di Pantai Gampong Baro, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Foto: Helena Sari/RMOLAceh.

ETNIS Rohingya kembali terdampar di pesisir pantai Aceh. Kejadian ini sudah berulang kali terjadi. Seperti pendaratan terakhir di Pantai Gampong Baro, Aceh Besar, Ahad, 8 Desember lalu.


Sejarawan Aceh, Tarmizi Abdul Hamid alias Cek Midi, menjelaskan Rohingnya adalah sekelompok muslim wilayah bagian Rakhine (Arakan) di Myanmar Barat, tepatnya pada perbatasan Bangladesh. Sebelum dinamai Rakhine, daerah itu disebut Rohai atau Roshangee.

“Artinya penduduk muslim Rohang,” kata Cek Midi kepada Kantor Berita RMOLAceh, Senin, 9 Januari 2023.

Diusir sejak tahun 1942, kata Cek Midi, nasib Rohingya sudah menderita. Mereka diberlakukan tidak adil, seperti saat terjadinya pembantaian muslim oleh pasukan pro Inggris, di Rakhine.

Dalam tragedi itu, setidaknya ratusan muslim Rohingya tewas serta ribuan desa hancur. Saat itu, mereka menyambung hidup dengan mental ketakutan.

Cek Midi menyebutkan, muslim Myanmar tidak menduduki wilayah Rakhine. Mereka terpisah berdasarkan keturunan dan suku bangsa.

Cek Midi menjelaskan, ada empat komunitas besar Muslim Myanmar. Yakni komunitas Islam keturunan Birma, komunitas Islam keturunan India, komunitas Islam keturunan Rohingya, serta komunitas islam keturunan Cina.

 “Karakteristik Rohingya sendiri memiliki mata tak begitu sipit, hidup mancung, tubuh tinggi berwarna gelap,” sebut Cek Midi. 

Pembataian Rohingya

Pada tahun 1784, Rakhine dikuasai oleh Raja Myanmar. Sehingga tahun 1824 wilayah tersebut menjadi Koloni Inggris. Saat itu, populasi Islam di kawasan tersebut, perlahan mulai berkurang.

Situasi terburuk dialami umat Islam khususnya Rohingya pada perang dunia ke II, lalu pada tahun 1942, pasukan Jepang kembali menyerang Bima dan sejak itu Inggris mundur. Hingga terjadilah kekosongan besar dalam kekuasaan.

“Sejak itu kekerasan terjadi antara Rakhine dan Rohingya. Pembantaian besar-besaran terjadi hingga akhirnya muslim Rohingya migrasi ke Bengal,” kata Cek Midi.

Manusia Tanpa Negara

Politik dan gerakan bersenjata terjadi, bahkan terus berlanjut antara muslim Rohingya dan pemerintah setempat. Sekitar 13 ribu masyarakat mencari perlindungan di pengungsian Pakistan dan India.

“Mereka ditolak hak warganya, mereka tak diizinkan kembali ke Birma,” kata dia. “Saat itu terjadi penolakan terhadap Rohingya, dan sejak itu. Rohingya dijuluki manusia tanpa negara.”   

Muslim Rohingya alami banyak sekali pengucilan terlebih dalam pembangunan bangsa. Sejak tahun 1962, Jenderal Ne Win secara sistematis melakukan penindasan terhadap mereka dengan membubarkan yayasan politik dan sosialnya. 

Tercatat, lebih dari 200 ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh saat pasukan Birma mengusir mereka dengan pembakaran mukim, pembunuhan hingga kekerasan seksual. “Muslim Rohingya di Arakan terus terusir, mereka diusir oleh Birma yang kini disebut Myanmar,” kata dia. 

Cek Midi mengatakan ratusan ribu Rohingya lari dan mengungsi ke beberapa negara. “Sangat disayangkan. Tidak semua negara mau menerimanya,” ujar Pahlawan Manuskrip Kuno Aceh asal Pidie itu.

Kini, sebagian dari mereka sudah berlabuh di Aceh. Sepanjang tahun lalu, mereka yang terdampar di Aceh berjumlah 574 orang.

Pada Maret 2022 etnis Rohingya itu terdampar di Bireuen, jumlahnya 114 orang. Lalu, pada November 2022 sebanyak 229 orang di Aceh Utara.

Kemudian, pada 25 Desember 2022 sebanyak 57 orang di Aceh Besar. Terakhir di Pidie, jumlanya 174 orang.

Untuk awal tahun ini, 184 muslim Rohingya kembali lagi di Aceh. Mereka berlabuh di pesisir pantai Gampong Baro, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar.