Mafia Pajak

Ilustrasi. Foto: ist.
Ilustrasi. Foto: ist.

JUDUL tulisan ini terkesan bombastis, sekalipun masih ada pegawai pajak yang bekerja dan memiliki integritas dan profesionalisme tinggi, telah terbukti  masih ada kelompok pegawai pajak (fiskus) dan senior (mentor) atau mantan pegawai yang berkolaborasi dalam sebuah kantor konsultan pajak.

Sesungguhnya setiap orang termasuk mantan pegawai pajak berhak atas suatu pekerjaan yang layak dan memperoleh hasil yang diterima sebagaimana dijamin dalam konstitusi UUD 45. Akan tetapi, pekerjaan yang layak digeluti telah terbukti dijadikan sarana untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi secara melawan hukum.

Tiga serangkai mafia pajak dalam praktik, wajib pajak (WP), fiskus, dan konsultan pajak yang bergerak secara terang-terangan dibungkus ketentuan tata cara perpajakan, menghalalkan negosiasi antara WP yang mengajukan keberatan atas nilai pajak yang harus dilunasi, mulai petugas fiskus terendah sampai pada level eselon 2 atau eselon 1 Direktorat Jenderal Pajak baik di tingkat pusat maupun sampai di kantor pajak daerah.

Dalam negosiasi itulah terjadi “permufakatan jahat” di antara ketiga pihak tersebut. Dilihat dari sisi praktik tampak tidak ada yang keliru akan tetapi dengan terbangunnya jaringan tiga pihak tersebut yang diketahui beberapa diantaranya lulusan pendidikan akuntan; telah menjalin kerjasama sejak masa pendidikan, maka terjadi konflik kepentingan (conflict of interest).

Implikasi “permufakatan jahat” tiga pihak tersebut dipastikan telah menimbulkan berkurangnya pemasukan negara bersumber dari pajak secara signifikan; kasus ART tidak lain disebabkan karena hal tersebut apalagi telah terjadi sejak tahun 2011 yang lampau. Di sisi lain dengan “permufakatan jahat” tersebut tiga pihak telah memperoleh dan menikmati keuntungan finansial yang signifikan pula.

Dalam konteks kerugian keuangan negara tersebut, maka sayap ketentuan UU Tipikor dapat menjangkau kasus tersebut. Fakta praktik pajak curang tersebut memerlukan peraturan perpajakan yang memadai. Di dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 177 /PMK.03/2022 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; terdapat ketentuan mengenai penyelidikan dan penyidikan yang berbeda rumusannya dibandingkan dengan ketentuan yang sama di dalam UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Di dalam Peraturan Menteri Keuangan Tahun 2022 tersebut dinyatakan bahwa, bukti permulaan tindak pidana pajak adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Sedangkan apa yang dimaksud dengan pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Definisi bukti permulaan tindak pidana pajak mensyaratkan bukan saja harus terjadi tindak pidana pajak yang sedang atau telah terjadi akan tetapi juga adanya kerugian pada pendapatan negara; pertanyaannya, bagaimana dalam pemeriksaan bukti permulaan, tidak terjadi kerugian pada pendapatan negara?

Bahwa, pemeriksa bukti permulaan adalah pejabat penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang selanjutnya disebut penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik (PPNS Pajak) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

Sehubungan dengan Peraturan Menteri aquo jelas bahwa fungsi penyelidikan disatukan dengan fungsi penyidikan. Sedangkan di dalam UU Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP), penyidikan dan penyelidikan dibedakan satu sama lain.

Menurut Permenkeu 2022, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya; dan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam UU ini.

Sehubungan dengan definisi menurut KUHAP dipastikan bahwa penetapan bahwa telah ditemukan adanya peristiwa pidana adalah pada akhir dari proses penyelidikan, dan penetapan seseorang sebagai tersangka berada pada akhir tahap penyidikan. Sedangkan menurut Permenkeu tersebut, tidak jelas bila sesuatu peristiwa terbukti memiliki bukti permulaan cukup dan bila seseorang ditetapkan sebagai tersangka.

Implikasi negatif dari rumusan Permenkeu mengakibatkan tidak ada sama sekali perlindungan hak hukum seseorang wajib pajak untuk memperjuangkan hak hukum sebagai wajib pajak yang tengah diperiksa penyidik pajak (PPNS).

Implikasi lebih jauh adalah Peraturan Menkeu Nomor Nomor 177 /PMK.03/2022 tersebut rentan terhadap ekses penyalahgunaan wewenang PPNS Pajak. Kerentanan tersebut merupakan celah hukum yang merugikan kepentingan hukum wajib pajak (WP) jika berjalan tanpa pengawasan ketat dari Komisi Pengawas Pajak (KPP), yang memang selama ini dalam praktik tidak terdengar gaungnya di masyarakat perpajakan.

Merujuk uraian mengenai mafia pajak dan mengingat betapa strategisnya pemasukan keuangan negara bersumber dari pajak maka pemberantasan mafia pajak bukan tugas Kemenkeu, khususnya Direktorat Jenderal Pajak, melainkan memerlukan kerjasama yang kokoh antara Komisi Pengawas Pajak, Inspektorat Kemenkeu, Bareskrim, dan KPK, serta mengevaluasi Kembali secara keseluruhan peraturan per-UU-an perpajakan, termasuk tata cara pemeriksaan pajak agar tidak terjadi tumpang tindih dan kesimpangsiuran peraturan perpajakan satu sama lain.

| Penulis adalah Gurubesar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran.