Masa Depan HAM Berada di Tangan Generasi Muda

Webinar tentang pelaksanaan HAM. Foto: Elza Putri Lestari
Webinar tentang pelaksanaan HAM. Foto: Elza Putri Lestari

Direktur Institut Ungu, Faiza Mardzoeki, mendorong generasi muda aktif mendiskusikan masalah hak asasi manusia. mereka juga diharapkan mau berpartisipasi memperjuangkannya.


Faiza menilai peran pemuda sangat penting untuk mendorong perkembangan pelaksanaan hak asasi manusia. Apalagi mayoritas penduduk di Indonesia merupakan generasi Z dan milenials yang dianggap mampu mendorong negara untuk lebih aktif dalam upaya pemenuhan HAM.

Hal ini terungkap dalam Webinar Human Rights Goes to Campus dengan tema "Generasi Muda Memandang Martabat Manusia dan Keindonesiaan" dalam rangka perayaan IWD dan Hari HAM internasional, yang dilaksanakan oleh Institut Ungu Kedutaan Norwegia bekerja sama dengan Flower Aceh serta Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Syiah Kuala mengadakan Jumat, 11 Maret 2021.

"Kegiatan HAM goes to Campus Aceh bertujuan untuk memperkenalkan dan mendiskusikan masalah-masalah Hak Asasi Manusia untuk generasi muda melalui webinar, aksi kampanye dan pentas budaya tentang pemenuhan HAM di Aceh. Kami ingin mahasiswa terlibat aktif bersama memahami kondisi pemenuhan HAM di Indonesia” kata Faiza.

Sementara  Profesor Taufik Fuadi Abidin, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat USK mengatakan pihaknya sangat mengapresisasi kegiatan ini. HAM, kata Taufik, merupakan hal yang sangat penting yang dapat membuat kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat .

"HAM sejak lama menjadi isu sangat penting di negara kita, terkhusus di Aceh dan secara umum di Indonesia, kita sangat membutuhkan pemikiran dan kontribusi kelompok muda," kata Taufik.

Penulis dan peneliti lepas, Raisa Kamila, menganggap anak muda bisa mendorong negara agar lebih aktif memperhatikan HAM. Pemahaman HAM yang mendasar adalah suatu konsep yang sangat penting untuk menciptakan dunia lebih adil dan aman.

Menurut Raisa persoalan HAM di Indonesia sangat kompleks, banyak catatan buruknya, mulai HAM di masa lalu yang tidak terselesaikan, pengabaian. Korban pelanggaran HAM banyak dari perempuan, anak-anak dan pekerja.

"Berbagai pelanggaran HAM terjadi di masa lalu karena dalih keamanan dan persatuan NKRI, termasuk pada masa orde baru dan masa peralihannya yang penyelesaiannya tidak benar-benar tuntas," kata Raisa.

Pengurus ALSA USK, Raudhatul Jannah, menjelaskan HAM merupakan seperangkat hak yang melekat dan wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi. HAM meliputi hak sipil dan politik, termasuk hak untuk hidup, berekspresi dan kebebasan berpendapat. Hak ekonomi, sosial dan budaya mencakup hak untuk tempat tinggal layak. HAM sangat urgen karena bersifat universal.

Kelompok muda harus berperan aktif, karena berdasarkn sensus Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 50 persen penduduk Indonesia merupakan generasi Z dan milenial sebanyak 25 persen. 

"Total sangat fantastis untuk menggerakkan masa dalam berpartisipasi. Yang dapat dilakukan oleh anak muda," kata Raudhatul

Direktur Eksekutif flower Aceh, Riswati menyoroti kondisi pemenuhan hak perempuan korban kekerasan di masa konflik dan damai Aceh. Menurut Riswati perempuan korban konflik masih ada yang belum mendapatkan hak-haknya, termasuk pemulihan sehingga masih traumatik dan tidak berdaya secara ekonomi.

Begitu pula kondisi perempuan korban kekerasan di masa ini. Bahkan pada kasus kekerasan seksual, ada yang penetapan hukuman pada pelaku berupa cambuk, sehingga mengganggu proses pemulihan korban karena korban dapat bertemu kembali dengan pelaku di komunitasnya.

"Hak restitusi juga jarang didapatkan korban," kata Riswati. "Bahkan, ada korban yang tidak mendapatkan dukungan dari keluarga atau komunitasnya sehingga harus berpindah tempat tinggal."

Riswati mengatakan kasus kekerasan seksual di Aceh masuk kategori darurat. Jadi sangat dibutuhkan implementasi kebijakan yang melindungi hak-hak korban, alokasi anggaran yang memadai, serta penaganan yang terintegrasi melibatkan multi pihak di tingkat pemerintahan dan non pemerintahan, termasuk tokoh-tokoh strategis di desa. 

Riswati menambahkan, perempuan Aceh di masa ini aktif berjuang memberdayakan diri serta berkontribusi dalam pembangunan perdamaian Aceh, termasuk beberapa penyintas korban kekerasan menjadi paralegal komunitas, kader desa, dan peran-peran strategis lainnya di tingkat desa, serta ranah sosial dan politik, namun pengakuan terhadap kiprah perempuan tersebut masih terabaikan.  

Sementara itu, Ketua Pusham USK, Khairani Arifin, menyampaikan persoalan HAM saat ini masih serius, ditambah dengan tidak banyaknya jumalah generasi muda yang peduli tentang isu human right. 

"Aceh punya banyak persoalan terkait human right, Aceh hari ini termiskin se-Sumatera, pendidikan rendah, angka stunting nomor tiga di Indonesia. Itu semua ada didekat kita, tapi ternyata tidak banyak yang peduli," kata Khairani.