Mat Solar dan Digitalisasi Pertamina

Ilustrasi: Prolab system.
Ilustrasi: Prolab system.

KELANGKAAN solar di stasiun pengisian bahan bakar belakangan ini menjadi berita heboh karena puluhan ribu lebih pengemudi angkutan darat dan laut di Sumatera dan Sulawesi, juga beberapa daerah di Jawa, tak bisa mendapatkan bahan bakar itu. Mereka sudah mengibarkan bendera putih, "menyerah Pak Jokowi."

Solar selalu jadi masalah. Mulai dari subsidi, pencurian, peredaran solar gelap. Bahkan saat ini, banyak solar dijual secara online. Solar menjadi bahan bakar yang memberikan banyak kenikmatan hidup pada sekelompok tertentu karena dikelola tidak transparan.

Pemberian nama bahan bakar untuk mesin diesel ini aneh bahkan cenderung salah. Solar bisa menipu bule-bule karena menyamakan artinya dengan cahaya matahari sebagai energi terbaharukan. Bule-bule menganggap Indonesia hebat karena menjadi pengguna solarnya banyak. Mereka tidak tahu cerita bahwa nama ini ditabalkan sesuai dengan nama pejual bahan bakar ini pertama kali: Mat Solar.

Di dalam negeri, pencurian solar dilakukan menggunakan kapal besar langsung dari pipa Pertamina di dasar laut dalam jumlah besar. Kasus ini diungkap oleh Polri. Mereka juga sudah menetapkan banyak tersangka dalam kasus ini. Hanya menunggu pemilik kapal besar yang dipakai mencuri solar, konon katanya buron.

Sedangkan solar gelap merupakan tanggung jawab besar pemerintahan Presiden Joko Widodo. Di tengah upaya pemerintah mengurangi polusi, sebagai bagian dari kampanye perubahan iklim, peredaran solar gelap hasil curian ini menyulitkan pemerintah untuk menghitung polusi yang dihasilan dari pembakaran bahan bakar itu. 

Lalu masalah subsidi solar, ini juga akan jadi masalah bagi pemerintahan Jokowi mengigat solar satu kelompok dengan urusan tambang batubara. Ini adalah bahan bakar utama kendaraan yang mengangkut batubara. Demikian juga dengan pengusaha sawit yang mengangkut sawit dengan bahan bakar solar, dan pengangkut hasil hutan kayu, baik legal maupun ilegal, juga menggunakan solar. Kegiatan penambangan lain juga menggunakan solar. 

Jadi, solar bukan sekadar bahan bakar yang kurang ramah lingkungan. Tapi juga digunakan, sebagian besar, untuk urusan tidak ramah lingkungan. Solar yang disubsidi adalah solar dengan kualitas paling buruk dan ditengarai menjadi bancakan kelompok yang berurusan dengan hutan, tambang dan perkebunan.

Masalahnya banyak lagi adalah sejauh mana Pertamina selaku penjual solar memastikan subsidi itu digunakan sesuai peruntukan. Seharusnya pembeli solar ini diumumkan oleh Pertamina, by name by address

Jadi seharusnya subsidi yang tidak berlaku untuk semua warga negara ini diumumkan nama penerima dan alamatnya sesuai KTP. Apalagi ini era online ini seharusnya Pertamina bisa memanfaatkan digitalisasi SPBU menyongsong era transparasi dalam rangka membersihkan solar gelap.

Itulah mengapa digitalisasi Pertamina harus berhasil. Apalagi digitalisasi Pertamin ini dibiayai oleh negara dalam jumlah yang besar. Tugas pertama digitalisasi adalah mengatasi pencurian solar, mengatasi solar gelap, dan mengatasi kelangkaan solar bagi. Kalau ini juga gagal, harus ada pihak yang rela ditunjuk hidungnya. Tidak terkecuali Presiden Jokowi.

| Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia.