Melampaui Kuasa Pencitraan Politik

Ilustrasi. Foto: Net.
Ilustrasi. Foto: Net.

 

DI ERA digital saat ini, citra-visual memiliki pengaruh dominan membentuk penilaian kita terhadap berbagai peristiwa politik. Begitu pula sebaliknya, penilaian kita terhadap peristiwa politik memengaruhi dinamika politik yang bekerja.

Apalagi dengan semakin maraknya peran media sosial, kontestasi pencitraan melalui medium visual menjadi arena yang semakin signifikan membentuk kesadaran publik dalam menentukan pilihan politik.

Persoalannya, realitas digital-virtual bukanlah arena yang kedap kontestasi kekuasaan, kuasa dominan berpijak pada kemakmuran berlimpah memiliki potensi terbesar untuk membentuk citra yang memengaruhi persepsi publik dibandingkan kuasa nalar publik.

​Pertautan antara kontestasi dalam membentuk pencitraan pada arena politik digital, dan pengaruhnya bagi preferensi politik warga penting kita refleksikan dengan matang.

Apalagi saat ini ketika kita hendak menyongsong ajang pertarungan politik nasional menuju Pemilihan Presiden 2024, beserta proses-proses politik yang menyertainya.

Diskusi publik terkait dengan kontestasi politik menuju Pilpres 2024 saat ini sepertinya terpusat pada aktivitas pencitraan publik, khususnya di media sosial.

Problemnya muncul ketika pertarungan politik dalam kancah proses pencitraan politik yang berlangsung, hanya memancing emosi publik dengan menampilkan sensasi afiliasi identitas, citra orang baik yang ramah, maupun distorsi atas sejarah dan mengabaikan edukasi nalar yang menyentuh isu-isu fundamental.

Berbagai isu krusial menyangkut rasionalitas publik seperti penegakan demokrasi dan masalah ketimpangan sosial, rekam jejak prestasi dan platform programatik rasional serta kompetensi kepemimpinan harus digelar diruang publik digital.

Ketika citra sensasional hadir minus literasi rasionalitas publik, pencitraan politik mewujud menjadi proses manipulasi kesadaran publik.

Manipulasi Pencitraan

​Pakar studi komunikasi digital dari Westminster University, Christian Fuchs (2021) dalam Foundations of Critical Theory, menyulut kembali api dari kajian Mazhab Frankfurt generasi awal untuk menerangi kesadaran kritis warga dunia yang tengah dikepung oleh politik sensasi pencitraan berbasis media digital pada abad ke-21.

Dalam bingkai analisis kritik ideologi, bagi Fuchs warga negara harus secara kritis mempertimbangkan tendensi kuasa dari berbagai citra yang hadir dalam jagad politik digital.  

Tendensi kuasa dalam realitas digital yang dimaksud oleh Christian Fuchs di atas, ketika setiap teks, imaji, citra-visual yang ditayangkan dalam media sosial tidak steril dari tindakan politik misrepresentasi maupun distorsi realitas dalam representasi simbolik digital bagi yang terhubung dengan kuasa serta kepentingan dari kekuatan dominan pemegang kemakmuran (oligarch) dalam pertarungan politik melalui media digital.

Sebagai ilustrasi dari analisis kritis Christian Fuchs di atas, kita dapat mengambil pelajaran berharga dari pemilihan presiden Filipina 2022. Kemenangan Bongbong Marcos Jr (anak Mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos), dalam Pilpres Filipina lalu mengagetkan warga dunia.

Masih teringat dalam memori masyarakat generasi paruh baya dunia, pada 1986 kekuatan rakyat yang dikenal sebagai people power menumbangkan rezime dictator korup Ferdinand Marcos.

Dalam kampanye yang bertumpu pada media sosial, Bongbong Marcos Jr tidak menyembunyikan dirinya sebagai penerus dinasti Marcos, strategi pencitraan yang ia lakukan adalah mendistorsi sejarah dengan menunjukkan citra keberlimpahan, stabilitas dan pertumbuhan pada masa rezim Marcos bersanding dengan program propekerjaan, pembangunan dan rayuan kesejahteraan dengan jargon,”Together we will rise again”.

​Seperti diutarakan Frank Bruni dalam opini di New York Times 12 Mei 2022, tidak ada yang mengingatkan publik Filipina misalnya bahwa ruang koleksi sepatu dari mantan ibu negara Imelda Marcos melebihi luas apartemen mapan di kalangan kelas menengah di Manhattan New York City.

Korupsi dan penjarahan uang negara yang berlangsung pada rezim Marcos terbenam dalam manipulasi kejayaan masa lalu.

Ketika media sosial maupun gelombang pencitraan politik sunyi dari literasi nalar politik keadaban yang memadai untuk menavigasi preferensi politik, maka sebagian khalayak dan terutama kalangan millennial dengan yakin memilih Bongbong Marcos Jr sebagai presiden.

Masih teringat dalam memori kita pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016. Kandidat yang kemudian menjadi presiden terpilih Donald Trump, pada saat itu secara lihai menggunakan media sosial sebagai sarana manipulasi kesadaran publik.

Jargon, tagline dan hastag Make America Great Again dalam panggung realitas virtual digunakan untuk mengambil hati kalangan pekerja dan kelas menengah kulit putih yang mengalami degradasi posisi sosial akibat hantaman krisis ekonomi semenjak tahun 2008.

Politik misrepresentasi dan distorsi realitas dimainkan oleh tim pemenangan media Donald Trump.

​Catatan historis Amerika Serikat yang ditandai oleh gerakan liberatif hak-hak sipil anti diskriminasi ras, tidak hadir dalam kampanye citra politik Trump yang bertendensi rasis dan xenophobic, namun gambaran keluarga konservatif kulit putih yang tampil dalam masa lalu keemasan Amerika Serikat yang tampil dalam kampanyenya.

Representasi simbolik selektif tersebut untuk menggiring opini publik AS bahwa kambing hitam dari krisis adalah kaum imigran dan minoritas.

Seperti kita saksikan, Trump berhasil menjadi Presiden Amerika Serikat dengan strategi manipulasi realitas digital.

Literasi Digital

​Uraian umum tentang bagaimana politik pencitraan digital manca negara di atas bukan berarti bahwa kita menolak aktivitas politik di panggung realitas digital. Namun seperti telah disebutkan di atas, bagaimana arena ruang publik baru dalam ranah digital tidak menjadi ajang manipulasi kesadaran kolektif warga.

Agenda publik ke depan yang harus dilakukan mengintervensi politik di panggung digital dengan kesadaran literasi dan nalar publik.

​Narasi dalam panggung-panggung digital tidak hanya diisi histeria dukungan atas figur-figur publik yang berhasrat menjadi presiden.

Lebih luas dari itu, horizon digital harus dibentangkan dengan membongkar persoalan sosial yang hadir di hadapan kita.

Berbagai partisipasi publik dalam proses literasi digital melalui aksi kritik konstruktif harus dikemukakan bagi para calon kandidat presiden.

Mengingat hal ini terkait dengan arah masa depan negeri kita. Kalau tidak demikian, maka sesungguhnya kita tidak belajar apa-apa dari peristiwa-peristiwa yang telah kita saksikan dari politik manca negara, dan rakyatlah yang akan menangung kerugiannya. 

 

| Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga.