Melawan Dikte Pendanaan Parpol

Ilustrasi Dana Partai. Foto: cnnindonesia.com
Ilustrasi Dana Partai. Foto: cnnindonesia.com

PEMBIAYAAN politik merupakan persoalan pelik. Kegagalan partai-partai politik dalam menjawab persoalan tersebut, tak jarang, -jika tak mau disebut hampir selalu-, membenamkan partai ke dalam pertalian a simetris antara pendana dan penerima dana.

Sebuah relasi menjebak yang lambat laun menempatkan partai  pada ketergantungan, kehilangan banyak otonomi, bahkan terjerat pada dikte politik pihak pendana.

Belakangan tahun, publik makin akrab dengan term 'oligarki'. Lewat praktik monopoli ekonomi yang dijalankan, mereka memiliki kuasa akbar atas tiap jengkal kehidupan rakyat. Kekuatan ini juga dipercaya mampu mengendalikan partai politik melalui sumber daya pendanaan berukuran jumbo. Imbasnya sangat serius. Kontrol kebijakan ada di tangan blok yang punya uang besar. Omnibus law salah satu contoh yang paling telanjang.

Ada seloroh banal, juga sinis, dari Robert de Niro pada sebuah film. "Kata siapa uang tidak bisa membeli segalanya? Jika ada yang bilang begitu, dia belum memiliki cukup uang," ujar de Niro di satu adegan.

Kekuatan uang memang terbukti dalam sejarah peradaban mampu berbuat banyak. Tanpa kecuali, uang berbicara lebih keras dari hati nurani di lapangan politik. Itu fakta yang tak menyenangkan, sayangnya yang tak menyenangkan eksis adanya.

Sementara di Indonesia ongkos politik tidak dibiayai negara seperti di Eropa Barat semisal, sebagian orang lantas mengajukan proposal luhur. Mereka menawarkan jalan: bagaimana bila publik yang membiayai parpol? Crowdfunding.

Masyarakat menyumbang, dikelola secara terbuka, dipertanggungjawabkan seksama. Transparan dan akuntabel. Publik pun mempunyai hak kontrol terhadap kinerja partai karena turut membiayai.

Praktik ini sebenarnya lazim dilakukan oleh parpol-parpol di era lama, di masa awal republik berdiri. Saat sejumlah besar rakyat merasa terafiliasi kuat dengan parpol. Itu yang membuat mereka tak segan mengurun.

Warna ideologi parpol yang sangat terang, membuat mereka bergembira berkumpul di sekitar partai, dan tak segan-segan merogoh kocek. Pada era kemodernan, kisah Podemos di Spanyol juga memvalidasi fakta serupa.

Tetapi pemandangan itu berbeda sekali saat ini. Kini Party ID di Indonesia rendah. Menurut penilaian sebuah lembaga survei, cuma 6,8 persen penduduk Indonesia yang merasa memiliki ikatan dengan parpol tertentu. Sementara 92,3 persen bersikap sebaliknya.

Jadi, tidak mudah rasanya berharap publik mau berbandong-bondong menyumbang ke kas partai. Gagasan luhur tak serta-merta bisa dijalankan karena mengandung keluhuran belaka. Begitulah hidup kerap kali berbicara kepada kita.

Menurut studi Burhanuddin Muhtadi berjudul 'Money Politics and Electoral Dynamics in Indonesia: A Preliminary study of The Interaction Beetwen “PARTY-ID” and Patron-Client' praktik patron-klien lekat sekali dalam politik 'negeri-negeri gelombang demokrasi ketiga'.

Patron-klien dinilai sebagai produk sosial-budaya dimana kelompok yang mempunyai keistimewaan tertentu (patrons), memberikan uang atau keuntungan sebagai imbalan atas loyalitas pengikutnya (clients).

Banyak ahli ilmu politik percaya bahwa patron-klien adalah (salah satu) penyebab merebaknya praktik money politics di negara-negara berkembang. Alih-alih menyumbang untuk partai, sebaliknya sebagian publik merasa harus menerima imbalan atas kesetiaan yang diberikan. Ditambah lagi dengan tabiat buruk politikus selama berkuasa, mereka merasa merugi bila menyokong kandidat secara cuma-cuma.

Tetapi bila kita menengok ke sisi lain, ada secercah sinar harapan yang menyala. Bahwa perilaku menyumbang sesungguhnya merupakan budaya populer di Indonesia. Belum lekang dalam ingatan, kasus yang melilit sebuah lembaga filantropi kondang di Indonesia.

Kasus itu menguak fakta, masyarakat sudi menyumbang dana hingga ratusan miliar. Orang rela menghibahkan sebagian hartanya untuk nilai-nilai kebaikan yang diyakini. Jika hatinya terketuk, beramal untuk kebajikan akan senang dilakukan.

Sayangnya, partai politik masih jauh dari kualifikasi sebagai entitas dimana kebaikan layak disokong. Belum sanggup membuat orang banyak bersedia mengulurkan rupiah untuk membantu. Ini harusnya menjadi oto kritik besar bagi semua partai dan kader-kadernya.

Upaya crowdfunding tanpa menjawab ini, akan kuncup sebelum mekar. Bagai badan tanpa tulang, ia tak bisa berdiri, tak panjang hidupnya.

Partai Buruh sebagai partai yang mengklaim sebagai partai gerakan menghadapi tantangan ini. Bagaimana mendobrak semangat solidaritas sosial yang termanifestasikan dalam bentuk aktivitas filantropi, bisa dikonversikan menjadi sokongan politik.

Pertama-tama Partai Buruh harus menyakinkan rakyat luas, bahwa politik ialah hal mulia. Ia tentang memperbaiki kehidupan rakyat, dijalankan dengan jujur serta amanah, dan berguna secara langsung bagi pri kehidupan massa.

Pada akhirnya crowdfunding adalah antitesa dari dikte kekuatan uang kaum super kaya. Melawan kekuatan uang oligarki dengan kekuatan partisipasi publik. Mungkin ini tak bisa segera mewujud lekas-lekas, tetapi ia tak boleh dihapus dalam agenda partai.

Jika ia dihapus, partai bukan hanya akan ikut tercebur pada budaya pendanaan politik yang buruk, pun tidak ada kebaruan yang dihadirkan. Bukankah Partai Buruh hendak membawa kebaruan dalam banyak hal? Saya kira kelas pekerja berhimpun di Partai Buruh karena itu. Elan perubahan yang dijanjikannya.

Dana Partai, Partai Buruh, Burhanuddin Muhtadi, Adityo Fajar, Pembiayaan Politik,