Melihat Rosneft di Kilang Tuban, Semoga Bukan Ilusi

Ilustrasi: shutterstock.
Ilustrasi: shutterstock.

SEMUA perusahaan minyak mengerti bahwa Covid-19 adalah pukulan buat mereka. Ditempeleng agar segera berubah, begitu juga Rosneft Oil Rusia. Mereka kehilangan banyak investor jika tetap ngotot tidak tunduk pada protokol iklim. Itu artinya, perusahaan ini bakal gulung tikar. 

Bayangkan lima perusahaan raksasa Bp Exxon, Chevron, Shell, Total, merugi hingga USD 77 miliar sepanjang tahun 2020. Kalau tidak ada yang mau investasi lagi, perusahaan raksasa itu semua bisa tutup. Sementara investasi hanya mau masuk lewat jalur isu iklim.

Untuk memulihkan, terutama ebitda mereka yang telah parah, dan memastikan perusahaan tidak bangkrut dihantam pandemi, maka perusahaan migas meningkatkan perburuan sumber uang. Perlu dicatat bahwa dalam satu dekade terakhir perusahaan minyak lebih fokus memburu uang ketimbang memproduksi minyak. Ini mengaitkan fokus keuangan mereka secara mendasar.

Sekarang mereka menyisakan sedikit harapan. Para investor hanya akan membiayai investasi iklim. Dalam hal ini perusahaan minyak harus mengikat diri secara penuh dalam COP 21.

Bagaimana caranya? Apa yang harus dilakukan PT Pertamina? atau Sinuhun? 

Hingga saat ini belum terdengar dengan jelas apa yang akan dilakukan Pertamina dan Sinuhun merespons patahan sejarah ini. Semua janji mengenai penurunan emisi dan bauran energi Indonesia ambyar. Indonesia dapat dicap membuat janji palsu pada dunia. Pada umat manusia.

Lalu apa yang akn dilakukan Rosneft Mener? Rosneft yang dikendalikan negara menandatangani perjanjian kolaborasi dengan British Petroleum untuk mendukung pengelolaan karbon. BP adalah pemegang saham asing terbesar di Rosneft dengan 19,75% saham. 

Perusahaan industri Rusia telah berebut untuk meningkatkan skor ESG (Environmental, Social and Good Governance) mereka atau menghadapi risiko kehilangan investor yang semakin berhati-hati dengan strategi lingkungan jangka panjang.

Pada tingkat kebijakan negara bagian, ESG juga menjadi fokus saat Rusia terlambat bersiap untuk menangani pengenalan pajak karbon UE dan tantangan "hijau" lainnya. Laporan terbaru menunjukkan beberapa inisiatif sedang dikembangkan pada saat yang sama, seperti sertifikat hijau, strategi pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), dan kebijakan efisiensi energi.

Rosneft sendiri berada di peringkat ke-16 dalam peringkat ESG perusahaan RA Expert Rusia terbaru, daftar baru yang menggambarkan skor ESG dari perusahaan besar Rusia. Ini peringkat terbaik di lingkungan (7) dan terburuk dalam tata kelola perusahaan (27).

Dalam isu lingkungan ini, agenda komprehensif merupakan langkah logis berikutnya bagi Rosneft, yang telah bekerja keras untuk meningkatkan daya tarik investasinya. Pada 2018, perusahaan mendorong perubahan investasi yang luas, ketika berjanji untuk memotong utang, mengendalikan program investasinya, dan melepaskan aset yang tidak menguntungkan. Perusahaan juga menaikkan pembayaran dividen menjadi 50 persen dari laba.

Sekarang Rosneft dan BP telah sepakat untuk bekerja sama dalam mengidentifikasi dan mengembangkan solusi dan program rendah karbon baru yang akan mendukung tujuan keberlanjutan bersama mereka. Perusahaan minyak juga akan bersama-sama mengevaluasi proyek baru yang mempertimbangkan penggunaan energi terbarukan, peluang untuk penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon, serta pengembangan hidrogen.

Penilaian ESG adalah bagian yang semakin penting dari proses pengambilan keputusan investor. Oleh karena itu, kesepakatan strategis antara Rosneft dan BP tentang pengelolaan karbon harus dianggap positif bagi Rosneft.

Rosneft juga mengingatkan bahwa mereka telah mengadopsi Rencana Manajemen Karbon 2035 yang menampilkan target yang jelas untuk mengurangi emisi GRK, yang diperbarui oleh dewan pada Desember 2020.

Sasaran yang diuraikan dalam rencana tersebut mencakup pencegahan emisi GRK langsung dan tidak langsung sebesar 20 juta ton setara CO2, pengurangan intensitas emisi langsung dan tidak langsung sebesar 30 persen dalam produksi minyak dan gas, laju emisi metana di bawah 0,25 persen, dan nol rutinitas. pembakaran gas ekstraksi terkait.

Adapun BP, dalam 10 tahun bertujuan untuk meningkatkan investasi rendah karbonnya 10 kali lipat menjadi sekitar USD 5 miliar per tahun, sambil mengembangkan sekitar 50 GW kapasitas pembangkit bersih terbarukan, meningkat 20 kali lipat.

Lalu bagaimana dengan rencana kerja sama Rosnetf dengan Pertamina. Apakah hal ini dapat merusak komitmen mereka terhadap COP 21? Apakah Pertamina punya rencana mengurangi emisi langsung dan  tidak langsung? Atau apa rencana Sinuhun?

Pertamina sudah pasti rugi. Tak mungkin untung. Semua klaim keuntungan adalah berupa pergantian subsidi oleh pemerintah. Belum tentu pemerintah bisa kasih uang. Karena pemerintah sendiri sedang cekak.

Pertamina harus putar otak, cari uang. Mencari uang dengan mencari minyak adalah dua hal yang berbeda.  Cari uang bisa dari jual minyak, bisa juga jual dari menimbun obligasi. Itulah yang dilakukan Pertamina dalam tiga tahun terakhir. Menimbun utang.

Uang hasil timbunan obligasi bisa mengalahkan kemampuan perusahaan dapat uang lewat jual minyak. Pertamina bisa dapat uang hasil jual obligasi tahun 2020 senilai USD 2,9 miliar atau lebih dari Rp 40 triliun. Tapi dalam waktu yang sama, Pertamina, katanya, hanya dapat untung Rp 14 triliun. Itu pun belum tentu karena uang masih berupa janji atau piutang pada pemerintah.

Hasil jual oblogasi, katanya berkali-kali lipat lebih besar dari kemampuan mendapatkan untung, itu adalah cara Pertamina cari-carai uang. Dan ini adalah cara yang mahal karena menyisakan beban besar untuk bunga dan pembayaran pokok utang. Pertamina pasti bangkrut kalau melanjutkan cara seperti ini.

Dalam jangka pendek jual minyak masih bisa, makin banyak di ecer-ecer di jalan-jalan. Tapi cari uang dari minyak sudah tidak bisa lagi. Lalu bagaimana Pertamina akan membayar utang-utangnya. Perusahaan ini harus siap disita oleh pemberi utang.

Kesalahan terbesar yang dilakukan Pertamina adalah tidak memiliki rencana sama sekali untuk menjalankan agenda penurunan emisi karbon. Malah sebaliknya mau melakukan gasifikasi batubara dan menggunakan minyak sawit. Padahal dua hal ini musuh bebuyutan COP 21. 

| Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).