Memaknai Bencana 

Ilustrasi: APA
Ilustrasi: APA

DI kalangan umat Islam, selalu saja ada silang pendapat tentang makna bencana setiap kali terjadi peristiwa gempa bumi dan tsunami. Persis seperti yang terjadi di Aceh pada akhir 2004 atau Palu, Sulawesi Tengah. Sebagian orang memaknainya sebagai azab dari Allah SWT. Sebagian lain memaknainya sebagai ujian. Perbedaan memaknai itu berimplikasi pada sikap mereka terhadap para korban bencana.   

Adalah George W Bush, Presiden ke-43 Amerika Serikat, salah seorang yang melontarkan kritikannya kepada pemerintah negara-negara Arab pada awal tahun 2005 karena mereka dinilainya lamban merespons bencana Tsunami di Aceh pada akhir Desember 2004. 

Kelambanan ini bisa jadi karena para pemimpin negara-negara petrodolar itu masih mempertanyakan apa makna bencana tsunami itu sebelum akhirnya mengirimkan bantuan kepada para korban di Aceh. Sikap seperti itu memang berbeda dengan sikap para pemimpin negara-negara Barat yang dengan cepat memberikan bantuan kepada pemerintah Indonesia guna mengatasi banyaknya persoalan kemanusiaan. Saat itu, di Aceh, ratusan ribu jiwa manusia jadi korban. Air laut meluluhlantakkan hampir seluruh kawasan pesisir yang padat pemukiman dan penduduk.    

Ada kecenderungan orang-orang yang memaknai bencana sebagai azab dari Tuhan lebih sulit diharapkan solidaritas sosialnya terhadap para korban. Seringkali mereka malahan menyalahkan para korban. Misalnya mereka mengatakan bencana itu terjadi sebagai hukuman dari Tuhan akibat mereka berbuat banyak dosa. Beberapa tokoh di Indonesia masih saja ada yang memegang makna ini termasuk yang terkait dengan gempa bumi dan tsunami di Palu pada 28 September lalu.  

Sikap seperti itu berbeda dengan mereka yang memaknai bencana sebagai ujian dari Allah SWT. Umumnya, mereka lebih berempati dan mudah mengulurkan bantuan-bantuan yang diperlukan para korban. Mereka juga mendoakan yang baik-baik bagi para korban yang meninggal dunia seperti memohonkan husnul khatimah dan kesabaran bagi korban yang selamat.

Paradoksnya, mereka yang tidak mengaitkan bencana dengan agama terkadang lebih cekatan dalam merespons para korban dengan mengirimkan apa saja yang diperlukan dalam rangka meringankan beban mereka. Mereka ini umumnya melihat para korban bencana semata-mata dari kacamata kemanusiaan tanpa dipusingkan dengan persoalan-persoalan teologis yang sebetulnya memang bisa dipilahkan dan bukan merupakan urusan mereka.    

Seharusnya memang, para korban bencana segera kita bantu tanpa mempersoalkan apa makna bencana itubagi para korban di hadapan Tuhannya. Hal ini untuk menghindari jangan sampai mereka mengalami apa yang disebut sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mereka sudah kehilangan harta benda dan bahkan nyawa, mengapa masih dituding sebagai manusia yang diazab Tuhan.    

Sikap seperti itu tidak etis dan tidak sesuai dengan petunjuk di dalam Al-Qur'an, surat Al-Baqarah, ayat 156, yang mengisyaratkan bahwa ketika sebuah musibah menimpa orang-orang mukmin maka hendaklah mereka bersabar dan mengembalikan permasalahannya kepada Allah SWT. “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali’.” 

Ayat di atas seharusnya menjadi rujukan bahwa sebagai sesama manusia dan mukmin hendaklah kita memiliki solidaritas kepada mereka yang tertimpa bencana, dan mengembalikan makna bencana itu kepada Allah Yang Maha Menghendaki dan Maha Tahu, dan bukan malah sok tahu tentang maknanya. Apalagi jika hanya bermaksud menghakimi para korban sebagai orang yang diazab Tuhan. 

Hal seperti ini sudah pasti amat menyakitkan tidak saja bagi korban itu sendiri tetapi juga bagi orang-orang yang menaruh hormat dan cinta mendalam kepada mereka. Kita patut belajar dari sikap yang ditunjukkan KH Husein Muhammad dari Cirebon ketika ditanya tentang kenapa bencana sebagai hukuman Tuhan tidak melanda daerah-daerah yang dikenal banyak maksiat atau negeri-negeri kafir. 

Pertanyaan itu tentu terkait dengan bencana yang melanda Palu yang mayoritas berpenduduk Muslim. Buya Husein Muhammad menulis singkat, “Aku tidak menjawab.” Artinya dia menghindari sikap sok tahu terkait makna bencana dengan tidak memberikan jawaban kecuali kalimat singkat itu.      

| Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama .