Memaknai Tangis Megawati

Ilustrasi: Orasnap.
Ilustrasi: Orasnap.

"COBA lihat Pak Jokowi. Saya suka nangis lho. Beliau itu sampai kurus. Kurus kenapa, mikir kita, mikir rakyat. Masa masih ada yang mengatakan Jokowi kodoklah. Orang itu benar-benar tidak punya moral. Pengecut, saya bilang."

Kalimat itu tertutur dari Megawati, orang nomor satu di tubuh ‘The Ruling Partai' alias Partai Penguasa.

PDI Perjuangan sebagai pengusung dan pendukung Jokowi pantas terusik kader terbaiknya –Joko Widodo yang kini menjadi presiden dihujat seperti itu. Apalagi sebelumnya Jokowi juga dikritik oleh pihak yang tidak jelas identitasnya, karena anonim dan disampaikan dalam bentuk mural. Ya, mural #404# yang beberapat waktu sempat viral.

Kritik di era demokrasi, apalagi di tengah euforia kebebasan pers seperti sekarang ini bukanlah sesuatu yang asing. Menengok ke belakang SBY ketika menjadi presiden meski tak bisa dibandingkan secara langsung, juga mengalami hal yang sama.

Ada kerbau diberi nama SBY. Konon Ibu Negara Ani Yudhoyono sempat shock dengan kritik yang tak lazim itu. Bukan hanya shock, Ibu Ani bahkan kemudian sakit karena segitu berdukanya diperlakukan tak bertata krama.

Karenanya, kini ketika Joko Widodo diperlakukan demikian, wajarlah Sang Patron berang. Tidak biasa juga Megawati bereaksi cukup keras seperti ini. Pembelaannya begitu mendalam, tidak sekadar simpati yang muncul, namun ada empati juga.

Dalam tayangan video yang saya cermati khusus, Mega tampak sungguh kecewa hingga raut mukanya beku, menahan tangis. Suaranya bergetar ada kesedihan tergurat begitu nyata.

Mengapa Megawati, Srikandi, Patron hebat dan juga Ketua Umum –Partai Banteng ini terantuk marah atas kritik serupa. Kepada si pengkritik Mega bahkan sampai mengatakan, tidak punya moral, dan pengecut.

"Saya suka nangis lho. Beliau itu sampai kurus. Kurus kenapa, mikir kita, mikir rakyat," begitu kalimat yang membingkai sebagai pembelaan, sekaligus dukungan morilnya untuk 'petugas partai'.

Ya, istilah petugas partai sempat disampaikan Mega ketika itu. Di awal kiprahnya memimpin negeri ini Joko Widodo sempat ‘diusik’ dengan sebutan itu. Entah, bagaimana suasana kebatinan yang terjadi ketika itu, yakni hubungan Mega dengan mantan Walikota Solo ini?

Tidak ada yang tahu persis kondisi riilnya, publik hanya meraba sepertinya Megawati memang sedang menguji loyalitas sang kader, untuk tidak mengatakan belum percaya penuh.

Namun kini setelah lewat periode pertama, dan Joko Widodo terpilih kembali dengan legitimasi penuh, legacy dari ketua umum yang notabene memimpin PDI Perjuangan selaku pemangku kebijakan utama di partai pengusung, sekaligus pendukung kepercayaan itu nyata digenggamnya.

Reaksi Mega atas kritik tersebut secara simbolik dalam konteks kultur timur muaranya ke sana. Artinya Mega tak terima orang yang dipercaya dizalimi begitu rupa.

Nah, sampai di sini, mencoba menggali asbabun nuzul, sesungguhnya apa yang melatari sikap Megawati seperti itu? Beberapa kalkulasi dapat dikuak setidaknya memijakkan pada tren yang terjadi mencermati konstelasi politik secara makro dan juga mikro.

Secara makro, terlepas dari kekurangan kekurangan yang ada, harus diakui prestasi Jokowi layak mendapatkan apresiasi. Kinerjanya sebagai tokoh sipil, yang di awalnya pemerintahnya banyak diragukan justru sebaliknya.

Saya pernah mendengar komentar sinis dari ekonom yang pernah menjadi Menteri Kabinet Mega ketika itu, begini katanya, "Indonesia terlalu sayang dipercayakan kepada seorang Joko Widodo".

Ahh ternyata penilaian itu keliru. Terbukti apa pun yang terjadi di bawah kepempinan Joko Widodo pembangunan infrastruktur berjalan paling sukses.

Dalam hal komunikasi politik Joko Widodo telah teruji kematangannya. Ketika menjadi Walikota Solo bersama Hadi Rudyatmo, mereka sukses melakukan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima. Saya katakan bukan hanya penataan, karena PKL di Kota Bengawan ini juga diberdayakan eksistensinya.

Data dan fakta menunjukkan Solo menjadi satu satunya kota di Indonesia yang mampu memberdayakan pasar tradisional. Kalau di kota lain, pasar tradisional mengalami sandyakala, dan kemudian gulung tikar, hal itu tidak terjadi di Kota Solo.

Prestasi serupa juga dicapai ketika Joko Widodo menjadi Gubernur DKI. Diakui atau tidak, Jokowi sukses juga menata Tanah Abang. Kawasan itu bisa tumbuh suasananya tetap tertib. Maaf, sekarang coba tengoklah ke sana, apa yang terjadi?

Faktor faktor itulah yang menjadi portofolio dari pemerintahan Jokowi. Apalagi menilik konfigurasi Kabinet Kerja jilid II yang dipimpin ayah dari Gibran Rakabuming ini harus diakui elok mengelola komunikasi politiknya.

Bagaimana Prabowo Subiyanto seteru, ketika Pilpres dapat dirangkul menjadi bagian dari kabinet dan pada posisi yang begitu sentral. Inilah pelajaran yang begitu penting dan berharga untuk kita semua.

Terhadap hal ini, maka pantas jika sang patron, yakni Megawati Soekarno Putri lantas menaruh trust dan simpati. Sebelumnya Mega telah memberikan teladan ketika dia merelakan Jokowi menjadi ‘petugas partai’ untuk menjadi RI 1.

Tanpa jiwa besar dan restu Mega, alur sejarah bisa jadi berbeda. Karenanya tangis Mega ketika kadernya diperlakukan sebagaimana yang diungkapkan di atas bukanlah sandiwara.

Mega tulus, trenyuh melihat kerja keras, dan totalitas Joko Widodo dipandang nyinyir mereka yang bisa saja tidak suka dengan kepemimpinannya. Maka selain memberikan simpati, Mega tegas menyatakan mendukung dan ada di belakangnya. Artinya secara obyektif sebagai tokoh sentral di tubuh Partai Moncong Putih sikap semacam itu penting, apalagi melihat dinamika yang berkembang saat ini.

Turbulensi politik, resesi akibat hantaman pagebluk Covid-19 harus disikapi secara terang. Mengambil sikap yang tak jelas akan merugikan PDI Perjuangan sendiri. Apalagi momentum momentum krusial memerlukan kebersamaan utuh dan total dari semua eksponen partai.

Pertama suksesi 2024 pasca Jokowi lengser mutlak adanya dukungan dari rezim yang notabene terepresentasikan pada sosok mantan Ketua Asmindo Solo ini.

Faktor lain yang juga perlu menjadi perenungan serta kearifan menyikapi dinamika ini adalah suksesi di tubuh PDI Perjuangan itu sendiri. Waktu telah menguji sekaligus memberikan pelajaran berharga siapa yang layak atau bisa dipercaya.

Pembelaan Mega kepada Jokowi adalah testemoni atas sesungguhnya siapa kader yang layak dipercaya? Diakui atau tidak karena friksi internal Megawati sering dibenturkan dengan loyalis loyalisnya oleh mereka yang notabene petualang poltik.

Faktor idelogis, dan kesejarahan tanggal karena manuver manuver yang demikian itu. Nah, testemoni Mega atas Jokowi sesungguhnya menjadi kristalisasi sekaligus pelajaran pada mereka agar sadar menyelamatkan marwah partai.

Siapa sesungguhnya yang akan menjadi penerus Moncong Putih? Estafet akhirnya harus terjadi dan Mega harus melakukan itu? Apakah Jokowi, Puan Maharani, atau Prananda Prabowo?

Siapa yang akan mendapat restu Mega untuk mendapatkan mandat di kancah suksesi nasional menjadi RI 1. Benarkah Mega akan memberikan restu itu kepada Prabowo? Bagaimana dukungan akar rumput pada Ganjar Pranowo yang sekarang ini bertambah signifikan? Lalu, bagaimana dengan Puan Maharani sebagai Kepak Sayap Kebhinekaan?

Pelik memang memberi jawab sederet pertanyaan di atas. Namun kembali pada kithah dan ikhtiar mengembalikan marwah partai, yakni sebagai partainya wong cilik, maka jawabnya adalah kembalikan pada hati nurani.

Di manakah hati nurani itu sekarang, jawabnya ada di hati rakyat. Amanat dan aspirasi rakyat tetaplah menjadi jiwa partai. PDI Perjungan tetaplah menjadi Partai Demokrasi Indonsia Perjuangan, bukan Partai Demokrasi Indonesia Palsu. Merdeka! 

| Penulis adalah Pemimpin Umum RMOL Jateng, staf pengajar dan mahasiswa program S3 Unnes.