Membaca Nota Keuangan 2023, Konyol!  

ilustrasi
ilustrasi

PEMERINTAH telah menyampaikan nota keuangan dihadapan DPR. Seperti biasa nota keuangan yang disampaikan berisi asumsi-asumsi. Sepertinya semua asumsi yang disampaikan keliru alias jauh panggang dari api. Ini kata peramal, maka gelar pemerintah bisa dikatakan peramal palsu. Karena sebenarnya tidak punya kemampuan meramal, namun memaksakan diri. 

Misalnya tahun 2022 pemerintah buat asumsi harga minyak US$ 60 per barel, faktanya harga minyal tembus US$ 120 per barel. Demikian juga asumsi nilai tukar, juga salah. Akibatnya yang lain ikut salah. Nilai subsidi BBM salah, nilai subsidi listrik salah, dan lain sebagainya.

Ini asumsi Pemerintah untuk APBN tahun 2023. Diantaranya ICP diperkirakan berada dikisaran US$ 90 per barel, dimana hal ini sejalan dengan harga minyak mentah global. Untuk nilai tukar Rupiah tahu  2023 dengan berbagai tantangan dan peluangnya, pemerintah memprediksi dikisaran Rp 14.750 per dolar AS.

Begitupun dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 5,2 persen. Terakhir, pemerintah juga elajukan estimasi laju infasi pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 3.3 persen (YoY), yang dengan berbagai faktor-fatir berada dalam rentang sasaran infasi 3,0 ± 1,0 persen.

Dengan asumsi di atas maka hal tersebut tampak sebagai karangan bebas. Bagaimana mungkin, saat ini keadaan sangat dinamis dan fluktuatif, namun asumsi pemerintah terkait indikator makro menggunakan standar normal normal saja. Seolah-olah dunia tidak sedang perang, tidak ada isu transisi energi, tidak ada climate change, semua normal wajar.

Jika dilihat seharusnya asumsi tersebut tidak usah dibuat karena hanya mengacaukan pikiran mereka sendiri.

Sejak semula pemerintah membuat asumsi, maka setelah itu langsung membuat kesalahan. Kesalahan pertama adalah menghitung subsidi BBM. Dikatakan bahwa perhitungan anggaran subsidi jenis BBM tertentu dan LPG tabung 3 kg tahun 2023 tersebut menggunakan asumsi dan parameter, antara lain nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan ICP dan subsidi terbatas minyak solar.

Sehingga Kalimat berikutnya langsung salah. Membuat parameter subsidi terbatas terhadap solar. Nilainya sebesar Rp 1.000/liter. Pembuat angka subsidi solar Rp 1.000/liter pasti tidak tau dari mana angka Rp 1.000 per liter tersebut.

Kalau menetapkan nilai subsidi Rp 1.000/liter, buat apa bertele telah membuat asumsi harga minyak mentah dan nilai tukar. Berapapun harga minyak mentah dan nilai tukar tetap saja subsidinya Rp 1.000/liter. Hampir pasti ini linglung.

Di atas kesalahan itu lalu dijalankan aksi lain yang lebih konyol adalah menghitung nilai subsidi yang diberikan. Mulai dari asumsi bahwa harga minyak naik menjadi aUD$90 per barel, nilai tukar Rp 14.750/USD.  Tapi subsidi BBM malah menurun dari Rp 149 triliun menjadi Rp 138 triliun. Sementara volume distribusi BBM meningkat.

Analoginya seperti ini, misal volume BBM jenis solar ditetapkan sebanyak 17,0 juta kiloliter dan minyak tanah sebesar 0,5 juta kiloliter dan volume LPG tabung 3 kg sebesar 8,0 juta metrik ton. Semuanya naik dibandingkan tahun 2022. Tetapi anggaran subsidi jenis BBM tertentu dan LPG tabung 3 kg dalam RAPBN tahun 2023 direncanakan hanya sebesar Rp 138 triliun atau lebih rendah 7,4 persen apabila dibandingkan dengan outlook tahun 2022 sebesar Rp 149 triliun.

Ini sebetulnya bahasa sederhananya adalah mengurang subsidi cukup besar. Jadi dari sisi volume saja sudah ngaco.

Jika tahun 2022 subsidi Rp 149 triliun untuk 70 juta KL BBM pada tingkat harga minyak US$ 62 dolar per barel dan nilai tukar Rp 14.000/USD. Sekarang sisa subsidi Rp 138 triliun untuk subsidi 75 juta KL BBM pada tingkat harga US$ 90 dolar per barel dengan kurs Rp 14.750/USD. Hal ini seolah-olah menimbulkan kesan bahwa ini pengurangan subsidi hanya Rp 11 triliun. Padahal di satu sisi Pertamina  digenjet menjual BBM lebih banyak. Padahal faktanya sekarang saja  sudah over kuota: Kuota BBM jebol.

Sebenarnya ini adalah pengurangan subsidi yang sangat besar, namun tidak mau dinyatakan secara terus terang. Kesan yang timbul subsidi turun 11 persen, faktanya subsidi turun 14 persen.  Jika dihitung berdasarkan harga minyak dan nilai tukar maka akan terjadi pengurangan subsidi BBM yang lebih besar lagi dalam APBN 2023 tersebut.

Jadi sebetulnya percuma juga pake sistem subsidi, toh nantinya kompensasi BBM bisa berlipat ganda dibandingkan subsidi itu sendiri. Jadi ini APBN konyol-konyolan.

| Penulis adalah peneliti Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).