Membaca Ulang Sumpah Pemuda

Naskah Sumpah Pemuda. Foto: net
Naskah Sumpah Pemuda. Foto: net

SUMPAH pemuda adalah rangkaian panjang dari perdebatan ide dan gagasan. Ia adalah kristalisasi pemikiran yang berpandangan bahwa perjuangan yang didasarkan pada suku, ras atau agama tertentu sudah tidak lagi relevan dalam menghadapi kekuatan kolonialisme.

Lebih dari itu, sumpah pemuda sekaligus menjadi manifestasi dari besarnya kontribusi pemuda terhadap penguatan pondasi kebangsaan di Indonesia.

Bennedict Anderson dalam bukunya “Nasionalisme Indonesia Kini dan di Masa Depan” memberikan pemaparan bahwa Sumpah Pemuda disertai dengan penuh pengorbanan dan pertaruhan.

Kaum muda secara sukarela mengorbankan atribut kedaerahan demi mempertaruhkan common project di masa depan.

Anderson mengatakan: “Lebih jauh lagi, para pemuda pada masa itu menggunakan identitas kedaerahan mereka bukan atas nama nasionalisme lokal yang separatis, namun sebagai penanda akan komitmen kedaerahan mereka terhadap kebersamaan sesama koloni dan proyek bersama untuk pembebasan. Mereka tak terlalu lagi mempedulikan bahwa dulu raja Aceh pernah “menjajah“ wilayah pesisir Minangkabau, bahwa raja orang Bugis pernah memperbudak orang-orang di perbukitan Toraja, bahwa bangsawan-bangsawan Jawa pernah mencoba untuk menaklukan dataran tinggi Sunda, atau maharaja Bali yang pernah dengan sukses menundukan Pulau Sasak” (Anderson, 1999:6).

Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa nasionalisme Indonesia merupakan proyek bersama untuk kini dan masa depan. Ia tak akan pernah mengenal garis final dan harus diperjuangkan dalam setiap generasi. Maka kaum muda tidak boleh berhenti bergerak dan berinovasi dalam upaya memajukan bangsa Indonesia.

Setiap generasi memikul tanggungjawab dan tugas masing-masing. Jika pada tahun 1928 pemuda berhasil merumuskan Sumpah Pemuda, 1945 pemuda turut mendorong proklamasi kemerdekaan, dan 1998 pemuda memperjuangkan reformasi, maka tugas kaum muda sekarang ialah mengisi kekurangan pada setiap lokus di era reformasi.

Tantangan Baru di Era Disrupsi

Saat ini kita dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih kompleks. Selain mengalami bonus demografi, era disrupsi menuntut kaum muda beradaptasi dengan cepat. Perkembangan teknologi yang makin tak terbendung mendorong arus pertukaran informasi semakin cepat, serta mengaburkan batas-batas wilayah.

Kita pun patut bertanya, apakah sumpah pemuda masih relevan dengan perubahan zaman?

Robert Elson dalam bukunya berjudul The Idea of Indonesia: A History menjabarkan secara komprehensif permasalahan mengenai Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa.

Ia merangkum segala problematika tersebut dengan mengatakan bahwa perjuangan bangsa Indonesia tidak berhenti pada era sebelumnya. Perjuangan pemuda jauh lebih berat namun tetap memberikan ruang inovasi sebagai langkah menghadapi moderenitas.

“Penentuan hakikat negara dan bentuk bangsa adalah tugas kemerdekaan, dan pekerjaan itu panjang, berat dan sering diwarnai kekerasan, dan masih belum tuntas sampai sekarang. Biarpun ada kesepakatan primordialitas harus memberi jalan kepada modernitas. Primordialitas masih tetap muncul dan menganggu. Biarpun ada kesepakatan pentingnya bersatu dalam keberagaman, tidak ada kesepakatan bagaimana negara bisa menangani keragaman itu” (Elson, 2008: 317).

Digitalisasi menjadi peluang sekaligus tantangan dalam konteks menjaga keberagaman. Peradaban ini menuntut kemampuan berpikir kritis dan bernalar.

Menghadapi kemajuan yang pesat ini generasi muda perlu mempersiapkan banyak hal secara matang. Tanpa ditopang oleh kekuatan rasionalitas, generasi muda akan mudah diombang-ambingkan dan juga dipecah-belah oleh perubahan zaman yang cepat.

Sebagaimana riset Setara Institute tahun 2019 menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 10 kampus besar terpapar paham radikalisme. Kelompok keagamaan ekslusif ini menjadikan masjid dan musholla kampus sebagai basis kaderisasi.

Mereka mendengungkan wacana keagamaan yang kebenarannya diyakini sendiri dan cenderung intoleran terhadap kelompok yang lain. Kelompok ini juga cukup massif menyebarkan paham yang diyakininya di berbagai kanal media sosial.

Di tengah upaya menjaga eksistensi kebangsaan, ada kelompok-kelompok tertentu dengan sengaja merongrong kebhinekaan. Sangat disayangkan kelompok ini justru tumbuh subur di dalam kampus, tempat yang semestinya menjunjung tinggi tradisi berfikir kritis dan terbuka.

Lebih jauh dari, akhir-akhir ini primordialisme kembali menguat yang berpotensi merusak nilai kebangsaan. Kelompok mayoritas di berbagai tempat dengan semena-mena menindas kelompok minoritas.

Sebagaimana data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) setidaknya dalam waktu lima tahun terakhir terdapat 1384 kasus pelarangan buku dan pelamnggaran hak berekspresi.

Menyikapi hal tersebut tentu pemuda menjadi salah satu aktor yang harus berkontribusi untuk mengurangi dekadensi (kemunduran) nilai kebangsaan tersebut

Sumpah Pemuda Riwayatmu Kini

Kembali pada pertanyaan “Apakah semangat Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak sejarah persatuan Bangsa Indonesia akan punah di kemudian hari dan hanya akan menjadi dongeng bagi generasi Bangsa Indonesia kedepannya?”

Melihat kondisi Indonesia saat ini, saya agak meragukan konsistensi serta keberhasilan para pemuda milenial atau pemuda Indonesia masa kini untuk tetap menyalakan obor semangat persatuan dan kebangsaan para pemuda hasil Kongres Pemuda II.

Kita akan secara mudah berkata bahwa “Semua ini akibat dari era globalisasi yang terus menerus menggerus identitas sebuah bangsa, utamanya Bangsa Indonesia.”

Namun di balik itu semua ada banyak faktor yang menyebabkan semangat Sumpah Pemuda menjadi redup.

Kita sering secara ‘serampangan’ mengatakan bahwa era globalisasi adalah faktor utama dari meredupnya semangat Sumpah Pemuda, namun kita tidak seharusnya menyalahkan secara penuh era globalisasi sebagai penyebab meredupnya semangat Sumpah Pemuda.

Ada banyak faktor yang saling berkaitan dan saling memengaruhi satu sama lain sehingga membuat Sumpah Pemuda menjadi redup akhir-akhir ini.

Salah satunya adalah hilangnya minat para ‘Indonesia Muda’ akan pelajaran sejarah. Saya memiliki anggapan bahwa belajar sejarah berarti belajar tentang segala hal dari masa lalu, salah satunya peristiwa.

Dari peristiwa masa lalu itulah akan mulai terbentuk identitas suatu objek (dalam hal ini adalah Indonesia sebagai sebuah bangsa).

Jika kita tidak dapat meminati pelajaran Sejarah, utamanya Sejarah Indonesia, lantas bagaimana kita bisa tahu sejarah dan identitas bangsa kita?

Semangat persatuan dan kegotong-royongan adalah kunci menghadapi era globalisasi. Bangsa kita dituntut untuk siap dalam bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain.

Perpecahan yang justru terjadi akhir-akhir ini dapat memperlemah kekuatan bangsa Indonesia. Sehingga kita sebagai generasi yang bertanggung jawab atas masa depan bangsa harus memiliki kesadaran tinggi permasalahan ini.

Generasi muda hari ini dituntut produktif dalam upaya menghasilkan inovasi dan usaha memajukan perekonomian berbasis pengetahuan. Produktif bermakna sifat sekaligus mampu menghasilkan sesuatu dan atau mendatangkan manfaat secara terus menerus.

Generasi muda harus mampu menghasilkan karya yang punya nilai kebermanfaatan secara nyata.

Pada kondisi persaingan pasar kerja yang begitu ketat, kita harusnya dapat memaknai ulang semangat sumpah pemuda. Dalam dunia yang semakin tidak bersekat, mau tidak mau kita juga akan kedatangan begitu banyak orang yang berbeda dari berbagai belahan dunia.

Jika kita menerapkan mode berkompetisi, hanya akan ada kalah dan menang. Maka yang harus dilakukan hari ini adalah berkolaborasi.

| Penulis adalah Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.