Membangun Demokrasi Beradab

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

DEMOKRASI sebagai sistem kenegaraan yang diidealkan sampai saat ini tak kunjung keluar dari masa transisi pascareformasi yang sudah dilalui dua dekade.

Sejatinya demokrasi yang diharapkan untuk bisa menghadirkan kesejahteraan kini malah terdistorsi jauh dari harapan.

Sistem dan ketetapan-ketetapan tentang demokrasi sampai saat ini masih belum juga menemukan bentuknya dalam membangun demokrasi yang dicita-citakan bersama.

Demokrasi sebagai tools untuk harapan dan kehendak publik bukannya menghadirkan kesejahteraan, yang ada malah demokrasi selalu menjadi ladang garapan yang subur untuk para kaum oligarki dan para demagog untuk mendominasi kekuasaan.

Dalam pandangan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahwa demokrasi akan mati bila beberapa hal ini terjadi dalam proses berjalannya demokrasi.

Yang pertama adalah munculnya para demagog, kedua menangkap wasit, apa yang dikatakan oleh Steven bahwa untuk mensukseskan peran para demagog atau oligor, para penegak hukum harus dalam pengendalian mereka. Dengan hal tersebut para demagog akan leluasa dalam mengatur kekuasaan.

Ketiga menghabisi kompetitor dan keempat mengubah peraturan, selain penegak hukum atau wasit dalam kendali.

Yang perlu untuk dilumpuhkan lagi adalah kompetitor atau pesaing yang diangap menjadi ancaman.

Beberapa fenomena tersebut di atas merupakan penyebab terjadinya demokrasi yang busuk dan beku (frozen democracy), sehingga demokrasi menjadi tidak berkualitas yang tentunya menghasilkan produk-produk yang juga tidak berkualitas.

Perilaku-perilaku yang menyebabkan demoralisasi demokrasi oleh Steven dan Ziblat, direkam dan tercatat dengan baik oleh merek dalam bukunya "How Democracies Die".

Demagog merupakan salah satu sebab yang paling berpengaruh tentang terjadinya kemunduran demokrasi saat ini. Para demagog ini muncul karena disebabkan oleh beberapa hal. Di antaranya adalah, melemahnya sistem seleksi di beberapa lembaga, yang kedua populisme media sosial efek, yang ketiga adalah popularisme masyarakat yang ada.

Beberapa hal ini penyebab munculnya makhluk demagog. Kemunculan hal tersebut harus ditepis oleh semua pihak, agar demokrasi bisa terwujud secara ideal dengan mengkonsolidasi semua publik agar kehendak publik bisa dilaksanakan dan kesejahteraan bisa terealisasi.

Pemilu sebagai sarana demokrasi prosedural, telah kehilangan peran vitalnya untuk melahirkan rezim politik yang dapat membawa republik ini keluar dari transisi demokrasi.

Pasca-Pemilu 1999 demokrasi kita belum menemukan bentuknya yang sempurna dalam mewujudkan sebuah kesejahteran atau sebagai negara welfare state.

Selain demagog, demokrasi yang dibangun atau yang dicita-citakan oleh the founding fathers kita adalah demokrasi yang memiliki nilai dan etika yang tinggi.

Dalam pandangan Socrates bahwa negara adalah berkumpulnya kebijaksanaan-kebijaksanaan, karena kebijaksanaan inilah yang bisa mengantarkan kehendak publik pada kesejahteraan dan kemakmuran.

Maka prasyarat untuk menjadi para pemimpin negara yang utama adalah memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Karena mustahil keadilan sosial, keadilan ekonomi maupun keadilan apapun tidak akan bisa terwujud bila kebijaksanaan ini sendiri tidak terinternalisasi dalam diri para pemimpin negara.

Begitu pula jika kita mengutip beberapa pernyataan para tokoh bangsa kita, seperti apa yang dikatakan oleh almarhum Cak Nur bahwa mustahil demokrasi akan berjalan dengan baik apabila demokrasi ini tanpak dibarengi dengan moralitas yang tinggi.

Begitu juga yang dikatakan oleh almarhum KH Abdurrahman Wahid, bahwa di atas politik atau demokrasi adalah kemanusiaan. Ini menunjukkan bahwa semua apa yang menjadi aktivitas demokrasi yang berkembang saat ini adalah yang perlu untuk diutamakan adalah kebijaksanaan, kesantunan dan etika yang beradab.

Pernyataan para tokoh bangsa ini merupakan manifesto dari nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, mustahil prinsip demokrasi Jurdil akan berjalan dengan baik, jika nilai kemanusian yang adil dan beradab itu sendiri tidak tereksistensi dalam masing-masing individu penghuni Nusantara ini.

Demokrasi juga tidak akan menemukan kesempurnaan jika tidak dijalankan dengan kesantunan dan adab yang baik.

Kesantunan dan keadaban menjadi penting untuk diejawantahkan dalam berdemokrasi, karena sebagai nilai yang paling rasional dalam membangun demokrasi yang lebih baik. Jika nilai tersebut terkikis dan hilang maka yang terjadi adalah demokrasi akan menuju kematian.

Menjadi tidak logis apabila demokrasi dibangun hanya didasarkan pada kepentingan “politik interest” maka yang terjadi adalah destruktifikasi demokrasi atau demokrasi tidak memiliki kualitas.

Hipotesisnya jelas bahwa sudah banyak terbukti di berbagai bidang kehidupan, bahwa banyak perpecahan akibat dari demokrasi yang tidak berkualitas atau model demokrasi yang mengindahkan nilai-nilai luhur bangsa kita sendiri.  

Dampak dari demokrasi yang tak bernilai, mengakibatkan struktur masyarakat sosial yang ada sekarang ini menjadi tidak jelas stratifikasinya, pranatanya juga menjadi absurd. Yang ada adalah egosentrisme yang mengatakan kelompoknya lah yang paling baik (etnosentrisme) hal ini mengakibatkan munculnya konflik horisontal atau disparitas sosial.

Untuk itu mari kita semua anak bangsa dalam menjakankan demokrasi, prinsip adil dan beradab harus dijunjung setinggi-tingginya, dan tetap santun serta menjaga persatuan Indonesia. dengan itu. Mari kita jemput negara yang sejahtera baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.

| Penulis adalah Dosen Universitas Billfath.