Membangun Ekosistem Halal di Aceh

Masjid Raya Baiturahman, Aceh. Foto: RMOLAceh.
Masjid Raya Baiturahman, Aceh. Foto: RMOLAceh.

 

INDRUSTRI halal menjadi tema popular dan trend terkini dalam bisnis international, tidak hanya di Indonesia, namun juga di belahan negara lain. Industri Halal global secara keseluruhan diperkirakan bernilai sekitar USD2,3 triliun (tidak termasuk keuangan syariah) per tahun dan menjadi salah satu pasar dengan pertumbuhan tercepat. Berdasarkan Indonesia Halal Market Report 2020/2021 oleh Dinar Standard, negara Indonesia berpeluang menambah 5, 1 miliar dolar AS atau Rp. 72,9 triliun terhadap produk domestic bruto (PDB) dari industry halal.

Halal berasal dari bahasa Arab yang berarti "diperbolehkan" dan sering digunakan untuk merujuk pada makanan dan minuman yang dapat dikonsumsi oleh umat Islam berdasarkan hukum Islam. Konsep halal merupakan bagian dari ajaran Islam (syariah) dan juga sebagai konsep Islam yang Rahmatan Lil Alamin (rahmat bagi alam semesta), Islam telah mengatur kehidupan pemeluknya tidak hanya tentang ibadah tetapi mencakup seluruh bagian kehidupan seperti pemenuhan kebutuhan hidup umat Islam. Misalnya, dalam makanan, umat Islam hanya diperbolehkan mengkonsumsi produk halal. Selain itu, proses produksinya harus berdasarkan prinsip syariah dan itu termasuk juga dalam kriteria halal.

Halal ecosystem (ekosistem halal) adalah seluruh suasana/kondisi industri halal yang terdiri dari produksi (makanan, obat-obatan, kosmetik, pakaian, bahan dasar produksi, dan lain-lain), layanan (logistik dan rantai pasokan, pariwisata, perbankan dan takaful), dukungan pemerintah, dan sumber daya manusia (auditor & eksekutif halal, akademisi, pekerja pengetahuan halal, silabus di universitas dan perguruan tinggi).

Indonesia sebagai negara mayoritas penduduk muslim memiliki potensi dan peluang yang sangat besar dalam mengembangkan industri halal. Alasan utamanya adalah sumber daya alam dan jaminan ketersediaan pasar bagi industri halal di Indonesia. Menurut Global Islamic Economy dalam State of the Global Islamic Economy (SGIE) Report 2022 oleh Dinar Standard, Indonesia menempati peringkat ke empat dalam perkembangan industri halal, masih tertinggal dari Malaysia, Arab Saudi dan Uni Emirate Arab yang masing-masing menempati  posisi pertama, kedua dan ketiga dari berbagai indikator yang ada. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk mengembangkan industri halal, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Perkembangan ekosistem halal di Indonesia dimulai setelah pemerintah kawasan industry halal dengan menertbitkan peraturan khusus Jaminan Produk Halal (JPH) pada tanggal 17 Oktober 2014 diikuti peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor 33 tahun 2014. Peraturan dengan 68 klausul ini menegaskan bahwa berbagai produk yang masuk dan diperdagangkan diwilayah Indonesia harus bersetifikat halal. Dengan peraturan tersebut pemerintah bertanggung jawab dalam melakukan Jaminan Produk Halal. Namun, implementasi JPH tersebut belum memberikan dampak yang maksimal untuk perkembangan industry halal. Selain itu, masih banyak produsen dan beberapa instansi pemerintah yang masih belum bisa melihat potensi industri halal sebagai peluang bisnis yang menjanjikan kedepan.

Di Aceh, perkembangan industri halal sudah diamanatkan oleh Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2013 tentang kepariwisataan serta diperkuat lagi dengan lahirnya Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Sistem Jaminan Produk Halal dan pemerintah Aceh berkewajiban melaksanakan sistem jaminan halal terhadap barang dan jasa yang diproduksi dan beredar di Aceh. Maka dari itu, industri halal di Aceh harus berjalan selaras dengan yang diamanatkan qanun tersebut.

Potensi industri halal di Aceh sangat besar, baik dari segi makanan dan minuman, pakaian, pariwisata, kosmetik, pharmacy dan keuangan. Potensi tersebut jika dimaksimal dapat mendongkrak perekonomian sekaligus memajukan industri halal di Aceh. Pariwisata halal, halal foods, pakaian (fashion) dan kosmetik dapat menjadi item-item prioritas yang bisa diandalkan dalam mamjukan ekosistem halal di Aceh. Masyarakat Aceh yang masih bersifat konsumerisme, dapat dijadikan peluang bagi UMKM untuk mendesain produk-produk halal yang style nya kekinian. Disamping itu, pemanfaatan halal tourism (pariwisata) berpotensi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh bila dikelola dengan baik dan professional. Pembentukan zona-zona (kawasan ekonomi khusus) halal di tiga kawasan stategis di Aceh dari pantai timur, pantai barat dan zona tengah.

Beberapa isu penting terkait perkembangan ekosistem halal di Aceh yaitu, pertama, kebijakan (policy), yang dimaksud kebijakan disini adalah isu terkait kebijakan penyediaan atau pemenuhan produk halal di Aceh. Aceh melalui Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) bertanggung jawab atas proses sertifikasi tersebut. Sebagai daerah yang bersyariat dan mayoritas penduduknya muslim, sertifikat halal merupakan hal yang penting dan melabelkan sertifikasi setiap produk-produk yang berasal dari Aceh suatu keharusan. Sertifikasi halal sangat perlu untuk produk-produk di Aceh yang sangat bermanfaat dalam menunjang promosi ke tingkat pengguna (consumers) dari luar Aceh, terutama wisatawan mancanegera yang tiap tahun berkunjung ke Aceh, serta juga untuk memasarkan produk Aceh untuk dipasarkan ke luar daerah. Bank Indonesia Perwakilan Aceh dalam hal ini berkerja sama dengan Dinas Koperasi dan UMKM Aceh bisa berkolaborasi mengambil peran dalam mendorong dan membimbing UMKM mendapatkan sertifikat halal produknya serta membantu promosi/marketing produk-produk dipasaran, baik offline maupun virtual dalam bentuk event-event ekonomi kreatif.

Menjadi pertanyaan, saat ini, proses sertifikasi di Indonesia halal dilaksanakan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Halal) melalui sinergi dan kolaborasi dengan LPPOM MUI. Sedangkan di Aceh dengan kekhususan yang dimiliki, proses sertifikasi halal dapat dilaksanakan oleh LPPOM MPU Aceh, apakah aturan adanya dualisme?. Menurut kami, ada dua segi pandangan yang perlu diperhatikan, (1) dari segi positif, sertifikasi lokal sangat bagus untuk mempercepat kemajuan pariwisata halal di Aceh dan sekaligus salah satu challenges untuk memajukan Aceh sebagai daerah syariah Islam dan mempermudah UMKM lokal dalam mendapatkan sertikat halal serta memasarkan produk lokal. (2) dari segi negatif mungkin kekuatan sertifikat halal lokal belum memiliki kekuatan di luar daerah seperti pengakuan sertifikat di luar Aceh. Selanjutnya, adanya dualism aturan ini bukan menjadi suatu kelemahan, tapi ini merupakan tantangan bagi kedua lembaga sertifikasi tersebut dalam hal komunikasi dan sinergisitas, juga kolaborasi. Karena kedua lembaga tersebut mempunyai kelebihan masing-masing dalam proses sertifikasi dan Aceh merupakan daerah khusus/istimewa, jadi peran LPPOM MPU Aceh lebih mampu melihat peluang untuk memajuan pariwisata halal di Aceh yang sesuai dengan syariah dan adat istiadat atau budaya yang berlaku.

Kedua, sumber daya manusia (SDM), sebagai provinsi yang mengimplementasikan syariah Islam, industry halal dapat dikembangkan tanpa kendala, idealnya dengan mayoritas penduduk beragama Islam menjadi factor pendukung dalam memajukan industry halal. Namun, permasalahan yang menjadi tantangan adalah ketersedian dan keterbatasan sumber daya manusia yang paham akan halal industry dan juga kurangnya pengetahuan industry kecil (UMKM) terkait produk halal. Ketiga, keterbatasan infrastruktur, perlunya peningkatkan pelayanan infrastruktur dari pemerintah daerah maupun swasta. Kendalanya masih kurangnya koordinasi instansi (dinas) yang menangani peningkatan infrastruktur dan keterbatasan ketersedian infrastruktur yang memadai. Keempat, sosialisasi, untuk mendukung terselengarana industry halal di Aceh, pelaku usaha, regulator, dan masyarakat perlu memahami urgensi produk halal, tidak hanya terkait dengan makanan dan minuman, namun apapun yang menyangkut dengan industry halal sangat perlu perhatian yaitu perlu adanya sosialisasi khusus untuk memperkenalkan industry halal. Namun, masih adanya tantangan dalam isu sosialisasi seperti kurangnya promosi (marketing) halal dan kurangnya edukasi sosialisasi serta informasi.

Kelima, produksi, dalam membangun industry halal diperlunya tingkat kepercayaan oleh masyarakat atau consumer, untuk itu perlunya peningkatkan perhatian terhadap kualitas produk. Bukan hanya terfokus pada pelabelan halal saja, tetapi juga perlu adanya kejelasan dalam proses produksiyang dijamin oleh sertifikasi halal untuk bersaing dan memberikan nilai tambah pada produk. Penyempurnaan atau peningkatan kualitas produk dapat memberikan stimulus dalam meningkatkan produktivitas. Ada beberapa isu dalam produksi halal, seperti terbatasnya pasokan bahan baku yang memenuhi kriteria halal, masih ada beberapa sektor yang bergantung pada impor seperti sektor farmasi, kosmetik dan belum adanya standar definisi produk halal. Wallahu’alam.

| Penulis adalah Alumni S2 Islamic Banking and Finance di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan Ketua Indonesian Forum for Sustainable Islamic Economics and Finance (INFoSIEF) dan Alumni S2 Halal Industry Management (MAHIM) dan Kandidat Doktor Halal Industry di International Institute for Halal Research and Training (INHART) IIUM Malaysia.