Memeras Rakyat lewat Pertamina

Ilustrasi: net.
Ilustrasi: net.

PEMERINTAH saat ini menjadikan PT Pertamina hanya dijadikan alat untuk mengeruk pajak dan pungutan. Bayangkan saja, di tengah pandemi Covid 19, Pertamina digencet dengan berbagai pungutan oleh pemerintah. 

Lebih dari Rp 110 triliun yang harus dibayarkan Pertamina kepada negara; kepada pemerintah. Dua pertiga dari yang dibayar Pertamina tersebut adalah pajak dan pungutan yang diambil Pertamina dari rakyat. Sepertiga adalah bagi hasil atas minyak mentah yang digali Pertamina.

Sementara keuntungan Pertamina makin menipis. Pada saat yang sama, pajak pungutan pemerintah makin berjibun. Tidak ada ruang bagi Pertamina untuk lebih fleksibel dalam menghadapi badai Covid 19. Bahkan di tengah menurunnya angka penjualan BBM Pertamina yang mencapai lebih dari 25 persen. Ini adalah penurunan angka penjualan terbesar sepanjang sejarah Pertamina. 

Keuntungan Pertamina sendiri hanya hitungan ratusan juta dolar. Untuk sebuah perusahaan dengan belanja atau pengeluaran lebih dari Rp 1.200 triliun, keuntungan sebesar itu sangatlah minim. Tidak sebanding dengan keuntungan para penyuplai minyak impor.

Beban pungutan yang begitu besar, PPN, PPH, PBBKB, dan bernagai pungutan lainnya, termasuk bagi hasil grossplit yang dibebankan kepada Pertamina, membuat perusahaan ini meradang. Kondisi keuangan perusahaan memaksa mereka memotong belanja hingga Rp 80 triliun tahun ini. Di saat yang sama, beban operasional meningkat, beban bunga meningkat. 

Berbagai kecelakaan kerja yang dialami Pertamina yang begitu banyak belakangan ini, mulai dari kebakaran 3 kilang berturut-turut, yakni di Balikpapan, Balongan dan Cilacap. Kebocoran ONWJ yang berlanjut dan kebocoran Rokan setelah beberapa hari Pertamina mengambil Rokan dari Chevron. 

Semua insiden itu patut dilihat sebagai hukum sebab akibat. Belanja kurang onderdil bisa jadi malah mengorbankan aset-aset dan mendatangkan kerugian lebih besar bagi Pertamina. Dan yang paling merugikan adalah saat Morgan Indeks mengeluarkan Pertamina dari daftar perusahaan yang aman untuk investasi.

Rakyat pun, yang sangat tergantung pada hasil produksi Pertamina, tak lebih baik nasibnya. Rakyat harus menerima dampak pungutan Pertamina lewat pembelian BBM, gas, dan lain sebagainya. 

Pajak dan pungutan ini tidak kembali kepada Pertamina apalagi kepada rakyat. Pajak dan pungutan yang habis buat bayar utang luar negeri. Kata Sri Mulyani, utang Pemerintah bisa dibayar asalkan rakyat bayar pajak. 

Seharusnya di tengah pandemi ini pemerintah berhenti memungut pajak dan pungutan seabrek atas barang barang publik, barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak, barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dasar rakyat. Pajak dan pungutan semacam itu adalah berwatak kolonial yang bertentangan semangat kemerdekaan dan keadilan sosial.

| Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia.