Memperbaiki Kesenjangan Sosial

Ilustrasi
Ilustrasi

BADAN Pusat Statistik melaporkan bahwa 20 persen penduduk teratas dalam distribusi pengeluaran mengalami kenaikan 46,13 persen menjadi 47,16 persen periode Maret 2021 dibandingkan Maret 2020 di perkotaan Indonesia.

Artinya, penduduk kaya mengalami peningkatan dan penduduk kelas menengah dan bawah mengalai penurunan. Kesenjangan sosial meningkat di perkotaan dan kesenjangan sosial antara perkotaan dibandingkan perdesaan juga meningkat dengan adanya pandemi Covid-19.

Masalah kesenjangan sosial akibat pandemi Covid-19 dipertajam oleh keberadaan pertumbuhan dari total nominal simpanan pada Bank Umum, yang semula tumbuh 6,5 persen per bulan Desember 2019 menjadi 10,2 persen per bulan September 2021.

Akibatnya, kritik lirik lagu berbunyi “yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin” kembali berbunyi sangat nyaring, sekalipun pemerintah menggelontorkan dana bantuan natura dan tunai, termasuk kartu pra kerja sebagai jaring pengaman sosial untuk meredam potensi gejolak gesekan sosial yang terjadi diantara postur distribusi pengeluaran

penduduk Indonesia. Juga sekalipun Komisi Pemberantasan Korupsi sedang memproses korupsi Bansos. Pemerintah berusaha mencegah amok massa.

Terakhir, UU Cipta Kerja kembali mendorong kegiatan kemitraan usaha di antara para pelaku usaha yang berbeda kelas. Ternyata persoalan kesenjangan sosial tetap tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan mekanisme pungutan pajak penghasilan.

Rasio pajak tetap semakin merosot turun dan APBN mengalami defisit anggaran dan defisit primer tetap defisit, yang tidak cukup ditutupi menggunakan pembelian Surat Utang Negara dari perbankan dan Bank Indonesia.

Ada tiga persoalan mendasar teridentifikasi, yang perlu dikaji ulang, supaya masalah kesenjangan sosial menjadi lebih baik. Pertama, pendekatan self assessment dalam pelaporan pajak dari wajib pajak memberlanjutkan persoalan kesenjangan sosial di atas.

Kedua, pendekatan tarif pajak progresif, justru masih mendorong semakin nyaring lirik lagu kritik tersebut di atas. Ketiga, perluasan sasaran wajib pajak secara progresif melalui mekanisme Nomor Induk Berusaha (NIB) kepada para pelaku usaha UMKM dengan adanya ketidaksempurnaan pendekatan self assessment dan tarif pajak progresif, yang dikonfrontasikan dengan keberadaan fakta data kuantitatif perkembangan pengukuran kesenjangan sosial di atas, kemudian mempunyai implikasi bahwa penduduk kaya semakin gerah oleh tuntutan pemerataan perekonomian, namun pelaku UMKM merasakan tekanan beban yang sangat besar untuk berhasil tumbuh dan berkembang secara instant untuk dapat cepat naik kelas ke status skala pelaku usaha, yang lebih tinggi.

Persoalannya ternyata, karena pelaku UMKM tidak sepenuhnya dengan mudah untuk masuk dan dapat diterima dalam jumlah secara massif ke dalam lingkaran terdekat secara langsung dalam jaringan kerjasama rantai pasok pemasaran global bangsa-bangsa. Kualitas kinerja dan kompetensi UMKM perlu naik masuk sertifikasi kompetensi global. 

| Penulis adalah peneliti Indef dan pengajar Universitas Mercu Buana.