Menakar Transisi Energi Pertamina 

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

INDONESIA sebagai Pimpinan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang akan mengelola dana awal $20 miliar, telah mengambil langkah percepatan mencapai NZE (Net Zero Emision) sampai 2030. Ini langkah ambisius untuk menekan emisi di semua lini mulai dari hulu sampai hilir, mulai dari scope 1 sampai dengan 3, menyeluruh. 

Target pemerintah ini dari semua masalah, ini merupkan tantangan paling serius bagi pertamina sebagai perusahaan energi terbesar di Tanah air. Memang bukan hanya bagi Pertamina, scope 3 ini adalah pekerjaan paling berat bagi semua perusahaan penghasil Bahan Bakar Minyak (BBM). 

Scope 3 menyumbang 80 hingga 95 persen dari total emisi karbon dari perusahaan minyak dan gas. Tetapi hanya sejumlah kecil dari perusahaan-perusahaan ini yang telah menetapkan ambisi bersih scope 3. Sampai sekarang, hanya 10 perusahaan minyak dan gas besar yang berkomitmen pada scope 3 net zero. 

Perusahaan paling ambisius menargetkan Net Zero Scope 3 pada 2030. Mayoritas menargetkan 2050. Demikian disebutkan dalam sebuah laporan lembaga investasi. Ini tentu tidak termasuk Indonesia dan perusahaan minyak Pertamina. 

Cakupan 1 dan 2 nol bersih sekarang menjadi standar industri, tetapi scope 3 net zero membutuhkan penyusutan dramatis minyak dan gas yang merupakan ancaman mendasar bagi keberlanjutan tanpa strategi untuk membangun pusat laba yang baru, yang rendah karbon.

Para analis menganalisis bagaimana mencapai nol emisi scope 3 membutuhkan perubahan struktural yang besar. Perusahaan mengambil taruhan yang berbeda untuk mengelola tantangan keberlanjutan. Tujuannya untuk memanfaatkan area kekuatan kompetitif. Mereka harus bersaing dengan ketat untuk menghasilkan portofolio NZE. 

Sementara bagi perusahaan minyak memasuki area ini ibarat ikan lele berlomba dengan paus di laut. Belum. Sempat berenang banyak yang akan mati duluan. Bahkan dengan ikan kakap pun, tidak akan bisa menang.

Namun bukan berarti tidak ada jalan keluar, ada beberapa peta jalan yang dapat dibuat. Berikut beberapa model bisnis yang telah muncul yakni;

Pertama, perusahaan energi besar, melakukan diversifikasi agresif ke energi terbarukan. Bahan bakar rendah emisi akan menopang bisnis dan arus kas minyak dan gas, hal ini harus terlihat mengalami penurunan.

Kedua, melakukan ekspansi agresif penangkapan dan penyimpanan karbon untuk mengimbangi emisi scope 3. Model ini memungkinkan penurunan minyak dan gas yang lebih lambat dan berpotensi menimbulkan jejak emisi negatif.

Ketiga, memproduksi bahan bakar berkelanjutan, transisi ke pengembangan bahan bakar rendah emisi dan solusi bisnis sirkular untuk mengimbangi penurunan produksi minyak dan gas serta pemrosesan minyak mentah.

Apakah semua dapat dilakukan atau sudah dilakukan oleh Pertamina? Prasyarat utamanya adalah inclusive dan inovatif. Melibatkan komunitas seluruh konsumen minyak dan mendorong inovasi bersama untuk menekan emisi.

Dalam hal ini, tentu saja Pertamina yang harus membangun inisiatif lebih awal, untuk membangun peta jalan yang dapat diterima oleh JETP. Itu kalau mau agar agenda presiden Jokowi di JETP tidak ambyar. 

Harus diakui telah ada yang dilakukan Pertamina sebelum JETP. Program yang paling mengemuka adalah bio energi, pencampuran minyak sawit dengan solar, yang telah memicu pertengkaran dengan konsumen minyak goreng. Namun program ini pun tidak dianggap sebagai transisi energi oleh Uni Eropa.

Langkah yang lebih kontroversial yang dilakukan Pertamina adalah gasifikasi batubara, yang menjadi blunder di mata internasional, sehingga menjadikan pukulan keras ke batubara. Padahal batubara yang hendak disuntik mati oleh komunitas internasional, malah disuntik vitamin oleh Pertamina. 

Namun terlepas dari dua kekeliruan ini, masih ada jalan membenahi dan membangun ulang. Pertamina konon telah menjadikan NZE sebagai prioritas kerja. Mereka sadar transisi energi bukan pilihan, tapi to be or not to be, melaksanakan hidup berkelanjutan atau tidak melaksanakan, maka akan sekarat. 

Mengurangi emisi di scope 3 itu sebetulnya bagian paling mudah. Hanya butuh sedikit inovasi dengan sedikit berfikir membangun program yang melibatkan banyak kalangan secara luas. Ini tentu bisa dilakukan Pertamina.

| Penulis adalah Peneliti pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).