Menambat Rindu di Amu Darya

Teguh Santosa bertugas di Uzbekistan, 20 tahun lalu. Foto: dok.
Teguh Santosa bertugas di Uzbekistan, 20 tahun lalu. Foto: dok.

Ingatan Teguh Santosa, Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia, tentang Termez masih sangat lekat. Dia sempat menetap beberapa pekan di kota yang berada di selatan Uzbekistan yang berbatasan dengan Afganistan


“Itu adalah perjalanan pertama saya ke luar negeri sebagai wartawan. Saat itu saya baru berusia 25 tahun. Masih muda. Sangat sehat. Juga tidak mengkhawatirkan risiko apapun,” kata Teguh, CEO RMOL Network, menceritakan pengalaman dua puluh tahun lalu saat berada di Uzbekistan, dalam diskusi RMOL World View bertema “Mengenal Tradisi Ramadhan di Uzbekistan”, kemarin. 

 Saat itu, Teguh baru bekerja sebagai wartawan. Dia ditugaskan meliput konflik di Afganistan. Langkahnya di Termez adalah sebuah pilihan tepat. Saat beberapa wartawan Indonesia berusaha masuk ke Afganistan dari Pakistan di selatan, Teguh masuk lewat Uzbekistan.

 Setelah mendarat di Ibu Kota Tashkent, Teguh melanjutkan perjalanan ke Kota Termez yang berada di tepi Sungai Amu Darya. Sungai ini memisahkan Uzbekistan dan Afganistan. Di kota kelahiran Imam Tarmizi itu, Teguh dan beberapa wartawan asing menunggu kesempatan menyeberangi Jembatan Persahabatan yang membentang di atas Amu Darya. 

Dalam diskusi yang dipandu redaktur Kantor Berita Politik RMOL, Amelia Fitriani, dan menghadirkan Second Secretary Kedubes Uzbekistan di Jakarta, Muzaffar Abduazimov, itu, Teguh mengatakan tugas itu diembannya tak lama setelah peristiwa 9/11 di New York.

Sebagai wartawan muda, Teguh benar-benar menikmati perjalanan itu. Selain meliput perang di Afganistan, di Uzbekistan, Teguh juga mempelajari negara-negara Asia Tengah, terutama Uzbekistan, setelah berpisah dengan Uni Soviet, sepuluh tahun sebelumnya.

“Itu pengalaman yang sangat luar biasa. Musim gugur yang indah. Udara cukup dingin. Saya menikmati kuliner Uzbekistan seperti plov, saslik, dan juga ayam yang yummy,” ujar Teguh.

Selama berada di Uzbekistan, setiap hari Teguh mengirimkan reportase baik mengenai perang yang berkecamuk di Afganistan maupun mengenai situasi di Uzbekistan dan negara-negara lain di kawasan. 

Namun, pemerintah Uzbekistan tak kunjung membuka Jembatan Persahabatan. Teguh bertahan sampai logistiknya mendekati titik nol. Dalam diskusi itu, Teguh mengaku memahami keputusan Uzbekistan untuk tetap menutup Jembatan Persahabatan. 

Saat itu, kata Teguh, Uzbekistan berusaha mencegah arus pengungsi dan juga kemungkinan Taliban, membonceng pengungsi, masuk ke Uzbekistan. Teguh akhirnya memutuskan angkat kaki kembali ke Tashkent dan kembali ke Tanah Air.

Namun tetap saja perjalanan itu menjadi pengalaman luar biasa. Umu Darya menempati ruang spesial di hatinya. Bahkan reportase selama berada di Uzbekistan itu diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Di Tepi Amu Darya” pada 2018. Buku ini dicetak ulang pada 2020 lalu. 

Teguh yang saat ini menyelesaikan studi doktoral di jurusan hubungan internasional Universitas Padjadjaran berharap suatu hari dia diizinkan kembali ke Uzbekistan.

“Entah kapan, saya bisa kembali ke Termez untuk menyelesaikan mimpi saya. Melanjutkan perjalanan ke Afganistan, menyeberangi Amu Darya menuju Hairaton lalu Mazar I Syarif, dan selanjutnya ke Kabul,” kata Teguh. Rindu itu ditambatkan Teguh di Amu Darya.