Mencegah Kecacatan Demokrasi 

Ilustrasi: moment magazine.
Ilustrasi: moment magazine.

PADA 4 Februari lalu, detik.com memublikasikan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) tentang Laporan Indeks Demokrasi 2020. Dalam laporan itu, Norwegia meraih skor tertinggi yakni 9,81 (terdemokratis di dunia). Di posisi kedua ada Islandia (skor 9.37), disusul Swedia (9.26), Selandia Baru (9.25), dan Kanada dengan skor 9.24. Adapun negara dengan indeks demokrasi paling rendah adalah Korea Utara, dengan skor 1.08.

Secara global, lapor EIU,  indeks demokrasi dunia memang menurun dibandingkan tahun lalu (2019). Rata-rata skor indeks demokrasi dunia tahun ini tercatat 5.37, menurun dari yang sebelumnya 5.44. Angka ini pun tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU merilis laporan tahunannya pada 2006 silam. Berdasarkan skor yang diraih, EIU akan mengklasifikasikan negara-negara ke dalam empat kategori rezim: demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter.

Indonesia bagaimana? EIU menyebut Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dengan skor 6.3. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Di kawasan Asia Tenggara, indeks demokrasi Indonesia sendiri ada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Oleh EIU, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.

Di antara berbagai hal yang jadi indikator, maka pemilu adalah salah satu diantaranya. Mau tidak mau, jika indeks tersebut ingin ditingkatkan, kualitas pemilu juga harus ditingkatkan, baik segi pelaksanaan dan pengawasannya maupun segi politik uang. Dalam konteks ini, pemilu legislatif. Presiden, dan DPD pada April 2019 tentu menjadi tolok ukur, apa saja best dan bad practice yang perlu ditingkatkan dan diperbaiki pada 2024 nanti. 

Proses berikutnya, setelah pesta demokrasi itu, adalah melihat kembali struktur relasi kuasa antara penguasa negara dan masyarakat yang “dikuasai” oleh negara. Hal ini nantinya akan berujung tidak cacat atau cacatnya demokrasi di negeri ini sebagaimana termaktub dalam laporan EIU. 

Pertanyaannya kemudian, bagaimana kekuasaan itu dibentuk, karena proses pembentukan itu akan menentukan kualitas, watak, dan pola hubungan yang akan terbangun. Untuk sementara, pemilu dipercayai sebagai instrumen paling penting untuk memungkinkan berlangsungnya proses pembentukan pemerintahan yang baik. 

Pertanyaan berikutnya adalah dasar kekuasaan negara. Misalnya negara berhadapan dengan suatu persoalan, bagaimana negara mengambil tindakan atas persoalan tersebut. Apa dasar atas tindakan yang diambil? Apakah kekuasaan negara boleh melakukan apa saja? Ataukah ada suatu rujukan sebagai dasar dalam bertindak?  Lalu bagaimana dengan susunan kekuasaan negara? Bagaimana memastikan bahwa kekuasaan yang terbentuk memiliki garis kekuasaan yang jelas dan tidak berjalan di atas kemauan yang subjektif? 

Berikutnya adalah masalah kontrol masyarakat yang sudah memberi suara dalam pemilu. Dengan sudah berlangsungnya pemilu, akankah berjalan suatu proses yang memungkinkan terbangunnya sebuah relasi yang baik, yang simetris, yang memiliki sambungan yang jelas, dan adanya bukti nyata bahwa penyelenggaraan kekuasaan bergerak mengikuti arus aspirasi rakyat? Dapatkan kemudian kontrol masyarakat berlangsung lancar tanpa hambatan?

Last but not least, dalam suatu negara demokrasi, fokus terpenting juga diarahkan kepada hak asasi manusia (HAM). Jika kontrol berjalan efektif, maka akan ada jaminan dan perlindungan bagi rakyat ketika hendak menjalankan fungsi kontrol tersebut. Tetapi pertanyaannya kemudian, apakah penyelenggaraan kekuasan akan dengan sendirinya memberikan hak-hak dasar rakyat?Bagaimana perlindungan terhadap rakyat yang merupakan suatu perintah kepada penyelenggaraan kekuasaan? 

Seluruh pertanyaan tersebut sesungguhnya hendak memperlihatkan titik rawan dalam proses pembentukan kekuasaan pascapemilu di negara demokrasi. Di sini, demokrasi itu kemudian tidak lebih dan tidak kurang daripada jawaban atas berbagai pertanyaan di atas. Sebuah negara yang demokratis, akan memberi jawaban penuh atas seluruh pertanyaan tersebut. Dan sekaligus dengan mendasarkan kepada pertanyaan-pertanyaan itu, maka kita dapat “menemukenali” ciri-ciri negara demokrasi yang sudah banyak ditulis dan dibahas orang. 

Pertama, adanya pemilu yang terbuka, tidak diskriminatif, dan tidak ada intimidasi, dan bebas dari manipulasi. Pemilu adalah sarana untuk melakukan kompetisi secara terbuka. Dengan demikian kesempatan bagi rakyat untuk menentukan pilihan, khususnya untuk memilih mereka yang memegang kekuasaan negara, haruslah terbuka lebar dan tidak dibatasi.  Sistem pemilu yang digunakan haruslah yang memungkinkan rakyat untuk memilih langsung, dan mengembangkan kontrol terhadap penyelenggaraan pemilu. Syukur bahwa di Indonesia ada yang Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai manifestasi pengawasan oleh masyarakat. 

Kedua, proses pemilu yang demokratis pada dasarnya mengandaikan adanya kapasitas kritis dan kapasitas partisipasi rakyat. Dengan demikian, negera demokrasi tidak mungkin atau tidak boleh memberikan pembatasan terhadap kehendak rakyat untuk berkumpul, berserikat,  dan menyatakan pendapat. 

Ketiga, adanya sistem hukum yang baik dan ditegakkan tanpa pandang bulu. Sistem itu akan menjadi koridor dari semua peraturan yang ada. Hukum itu sendiri tak boleh hanya dipakai untuk menghukum rakyat yang bersalah, namun juga mampu menyeret pejabat publik untuk mempertanggung jawabkan kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya.   Juga, hukum bukan dipakai untuk membatasi gerak rakyat melainkan sebaliknya; memfasilitasi gerak rakyat, serta memberi ketegasan tentang apa yang boleh dan tidak boleh. 

Keempat, adanya mekanisme kontrol yang jelas dan terlindungi. Kontrol di sini tidak saja dalam konteks parlemen, namun juga kontrol langsung dari masyarakat. Dalam konteks ini di butuhkan lebih banyak lagi arena yang memungkinkan rakyat untuk ikut ambil bagian dalam proses, terutama proses penyusunan kebijaksanaan publik. Bahkan rakyat perlu memiliki hak penuh untuk melakukan perlawanan pada negara jika negara telah nyata-nyata melakukan penyimpangan.

Kelima, adanya perlindungan HAM, yang tidak lagi menjadi bagian lain dari hukum positif, melainkan telah terintegrasikan. Perlindungan terhadap hak bukan saja hak-hak politik, melainkan juga hak-hak sosial ekonomi, terutama dalam memastikan masyarakat bisa hidup dalam martabatnya sebagai manusia.

Keenam, perlindungan terhadap HAM, termasuk hak rakyat untuk ikut serta dalam pembentukan pemerintahan, dan prinsip partisipasi terbuka, tidak dengan sendirinya membuka jalan bagi suatu anarkisme. Berbagai perbedaan yang ada, warna warni dalam masyarakat, tentu saja tidak boleh menghalangi suatu proses pengambilan keputusan. Oleh sebab itu suara mayoritas haruslah tetap dihormati dan dijadikan dasar dalam proses penyelenggaraan kekuasaan.

Demikian kira-kira pemahaman tentang demokrasi dan ciri-ciri demokrasi. Tentu saja bahwa ciri-ciri yang demikian adalah situasi dalam keadaan yang normal. Situasi akan berbeda jika masyarakat hidup dengan berbagai masalah yang akut semisal kesenjangan, kemiskinan, angka kejahatan yang tinggi, pemerintah yang tidak responsif, dan berbagai keadaan lainnya. Tetapi, setidak-tidaknya kita harus percaya bahwa memiliki sepenuhnya ciri-ciri demokrasi di atas akan dapat membuat negeri ini berada dalam kecatatan demokrasinya. 

| Penulis adalah dosen fakultas hukum Universitas Indonesia, e-mail: [email protected].